Caleg Stress: Ekses Atau Produk Demokrasi?

Berbagai berita yang kita ikuti mengenai perilaku para caleg yang gagal meraih suara cukup untuk menjadi aleg sungguh membuat kita semua harus mengelus dada. Prihatin sangat. Bayangkan, ada di antara mereka yang mendatangi konstituennya untuk menagih kembali berbagai benda yang telah ia hadiahkan, ada yang seharian dicari oleh keluarganya lalu akhirnya ditemukan di pinggir jalan sedang meminta-minta kepada setiap orang yang lewat sambil berkata: ”Kembalikan uang saya. Kembalikan uang saya.” Ada yang menutup jalan umum sehingga orang tidak bisa melewatinya dengan alasan bahwa jalan itu membentang di atas tanah milik keluarganya. Ada yang bahkan ditemukan mengakhiri hidupnya alias bunuh diri dengan cara mengenaskan. Sungguh suatu parade perilaku ganjil yang amat menyedihkan.  Ada apa dengan masyarakat kita? Benarkah kesalahan patut dilayangkan kepada para caleg gagal itu sendiri?  Benarkah orang lain, terutama yang dekat dan kenal kepada para caleg gagal itu, tidak punya andil dalam segenap ”sinetron” ini? Benarkah sistem Demokrasi tidak punya andil dalam melahirkan masalah ini? Apakah para caleg stress ini hanya sekedar ekses sistem demokrasi? Atau malah mereka merupakan produk logis sistem buatan manusia tersebut?

 

Menurut Wikipedia Demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan dimana kedaulatan berada di tangan rakyat. Ia berasal dari bahasa Yunani ”demokratia” yang berarti ”pemerintahan populer”. Ia berasal dari kata ”demos” yang berarti rakyat dan kata ”kratos” yang berarti ”kuasa, kekuatan.”

 

Lalu masih menurut Wikipedia: Even though there is no universally accepted definition of ‘democracy’, there are two principles that any definition of democracy includes. The first principle is that all members of the society (citizens) have equal access to power and the second that all members (citizens) enjoy universally recognized freedoms and liberties.” ("Meskipun tidak ada definisi ‘demokrasi’ yang diterima secara universal, terdapat dua prinsip yang mencakup definisi manapun tentang demokrasi. Prinsip pertama adalah bahwa semua anggota masyarakat (warga negara) memiliki akses yang sama kepada kekuasaan/kedaulatan dan yang kedua bahwa semua anggota (masyarakat) secara universal menikmati kebebasan dan kemerdekaan.")

 

Ada dua kata kunci di sini: kekuasaan/kedaulatan dan  kebebasan/kemerdekaan.  Mari kita coba sedikit dalami kedua kata kunci ini.

 

Islam memandang bahwa kekuasaan/kedaulatan pada hakikatnya berada di dalam genggaman Allah Yang Maha Kuasa. Manusia pada kenyataannya tidak benar-benar kuasa, siapapun dia. Sebagaimana langit dan bumi dengan segenap isinya tunduk pada kekuasaan Allah, maka manusiapun tunduk kepada kekuasaan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.  Siapa sih sebenarnya manusia sehingga ia merasa berhak meng-claim bahwa dirinya boleh berkuasa/berdaulat di muka bumi ini? Apalagi jika dalam menampilkan kekuasaannya ia mengabaikan dan sengaja melupakan kekuasaan/kedaulatan Allah swt. Sungguh zalim Fir’aun tatkala ia diizinkan Allah mencicipi sedikit kekuasaan atas sejengkal bumiNya bernama Mesir lalu ia menjadi melampaui batas sehingga memproklamasikan dirinya sebagai Tuhan yang maha tinggi dari segenap rakyat Mesir.

 

فَكَذَّبَ وَعَصَى ثُمَّ أَدْبَرَ يَسْعَى فَحَشَرَ فَنَادَى فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى

 

”Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakai. Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya. (Seraya) berkata: "Akulah tuhanmu yang paling tinggi". (QS AnNaziat ayat 21-24)

 

Inti faham demokrasi yang menekankan bahwa manusialah yang berdaulat atau berkuasa sangat berbeda (baca: bertentangan) dengan faham Islam yang berulangkali di dalam Al-Qur’an menekankan bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk lemah sedangkan yang sejatinya berkuasa di langit maupun bumi ialah Allah swt. Sedemikian pentingnya memastikan bahwa manusia selalu perlu untuk berusaha tunduk kepada kekuasaan Allah sehingga Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengajarkan doa yang berbunyi:

 

ياَ حَيُّ ، يَا قَيُّومُ ، بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ ، أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلِّهِ ،

 وَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ ، وَلَا إِلَى أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ

 

“Wahai Allah Yang Maha Hidup, wahai Allah Yang Senantiasa Mengurusi, tidak ada tuhan selain Engkau, dengan rahmatMu aku memohon pertolongan, perbaikilah keadaan diriku seluruhnya dan jangan Engkau serahkan aku kepada jiwaku (walau) sekejap mata, tidak pula kepada seorang manusiapun.” (HR Thabrani 445)

 

Dienul Islam (sistem ajaran Islam) sejak hari pertama menekankan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Ia tidak akan pernah menjadi kuat bila ia menyerahkan dirinya kepada sesama makhluk (ciptaan) lainnya, termasuk dirinya sendiri. Ia baru menjadi bernilai saat dirinya –melalui iman– menjalin hubungan yang kuat dengan Allah swt. Ia baru menjadi agak kuat saat dirinya tersambung dengan Allah Yang Maha Kuat. Ucapan yang menghubungkan dirinya dengan Allah Yang Maha Kuat disebut Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam sebagai harta dari harta kekayaan surga.

 

فَقَالَ لِي يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ مِنْ كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَدَاكَ أَبِي وَأُمِّي قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam kepadaku: ”Hai Abdullah ibn Qayis.” Aku menjawab: “Aku penuhi panggilanmu.” Beliau bersabda: ”Maukah kamu aku tunjukkan suatu kalimat yang termasuk harta dari harta kekayaan surga?” Aku menjawab: ”Tentu.” Beliau bersabda: ”Katakanlah Laa haula wa laa quwwata illa billah (Tiada daya dan tiada kekuatan selain bersama Allah ta’aala).” (HR Al-Bukhari 13/105)

 

Jangan-jangan para caleg gagal yang kemudian menjadi stress disebabkan mereka meyakini bahwa dirinya sedang berebut akses untuk menjadi manusia yang bakal berkuasa/berdaulat di tengah masyarakat. Mereka tidak menyadari bahwa pada hakikatnya hanya Allah-lah yang sungguh-sungguh berkuasa di muka bumi  termasuk di langit.  Ada suatu keinginan kuat (baca:nafsu) untuk berkuasa atas manusia lainnya. Sebab mereka menyangka bahwa dirinyalah yang layak untuk memimpin/mewakili fihak lain dalam menyalurkan aspirasi. Lalu berdasarkan dugaan (baca:mimpi) ini iapun mencalonkan diri untuk turut berlomba merebut suara masyarakat. Padahal sepatutnya ia merisaukan dirinya yang dengan lancangnya berani maju untuk bertarung merebut kursi jabatan sedangkan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:

 

لَنْ نَسْتَعْمِلَ أَوْ لَا نَسْتَعْمِلُ عَلَى عَمَلِنَا مَنْ أَرَادَهُ

 

“Kami tidak mengangkat orang yang berambisi berkedudukan.” (HR Abu Dawud 3108)

 

Sistem demokrasi melahirkan orang-orang yang sengaja ditumbuhkan ambisinya untuk berebut jabatan dan kedudukan. Bahkan difasilitasi untuk berlaku sombong dengan budaya kampanye dimana masing-masing calon kemudian dipersilahkan mempromosikan kebaikan-kebaikan dirinya di hadapan khalayak ramai. Cepat atau lambat tertanam di dalam hatinya bibit penyakit ’ujub (bangga diri) bahkan takabbur (sombong). Lalu mimpi yang asalnya kecil semakin membesar dan akhirnya membentuk keyakinan diri pasti bakal menang.   

 

Ketika harapan bahkan keyakinan diri telah begitu membumbung kemudian dibenturkan dengan fakta bahwa hasil akhirnya adalah kekalahan, maka disinilah awal munculnya bencana. Belum lagi semua musibah kejiwaan ini berlalu, lalu diperparah pula dengan musibah keuangan dimana sang caleg ”terpaksa” meminjam ke sana kemari uang untuk biaya kampanye, beli poster, spanduk, bayar pesuruh untuk memasangnya di berbagai tempat strategis dengan mengumbar janji pula jika dirinya akhirnya menang maka semua fihak yang telah berpartisipasi membantunya bakal dikasih imbalan. Ketika semua mimpi tersebut kandas dalam realita pahit, maka lengkaplah sudah derita sang caleg. Alih-alih ia berhasil melunasi hutang-hutangnya, bahkan ia tidak jadi memperoleh jabatan aleg yang diharapkannya mendatangkan penghasilan besar untuk kesejahteraan masa depannya.

 

Kata kedua yang perlu kita kaji ialah kata kebebasan/kemerdekaan.  Islam memiliki pemahaman yang sangat jelas dan unik mengenai kebebasan/kemerdekaan.  Dalam sebuah kalimat hal ini diwakili oleh ucapan Rib’iy bin Amer ketika menjelaskan kepada Panglima Persia Rustum:

“Kami (umat Islam) diutus Allah untuk membebaskan manusia dari:

1.      Penghambaan sesama hamba untuk menghamba kepada Allah semata

2.      Sempitnya dunia kepada lapangnya dunia dan akhirat

3.      Lalimnya agama-agama dunia kepada adilnya Al-Islam”

 

Dalam Sistem Demokrasi perkara legal dan ilegal (baca: halal dan haram) ditentukan oleh sekumpulan manusia yang dipercaya  mewakili masyarakat luas. Mereka dijuluki sebagai para legislator. Di Amerika mereka disebut para law-makers (pembuat hukum). Sedangkan dalam sistem Islam manusia berperan sebagai pelaksana hukum sebab urusan halal dan haram sudah ditentukan oleh Allah swt. Manusia tidak berhak menetapkan perkara halal dan haramnya sesuatu.  Sehingga Al-Qur’an menyebut kalangan manusia yang mengambil hak menentukan halal dan haram untuk dipatuhi  masyarakat sebagai tuhan-tuhan selain Allah:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

 

”Mereka (ahli Kitab) menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.” (QS AtTaubah ayat 31)

 

Ketika ayat ini turun seorang sahabat mantan Nasrani bernama Adi bin Hatim protes. Ia bilang bahwa orang Nasrani tidak menyembah para pendeta. Lalu Nabi shollallahu ’alaih wa sallam balik bertanya: ”Benar. Bukankah kaum Nasrani tunduk sepenuhnya ketika para pendeta mereka menghalalkan atau mengharamkan sesuatu?” Adi mengiyakan. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam lalu bersabda: ”Itulah bentuk penghambaan mereka teradap para pendeta tersebut.”

 

Hal ini pula yang terjadi dalam sistem demokrasi. Masyarakat luas diharuskan tunduk kepada daftar legal dan ilegal yang ditentukan oleh sesama manusia yang kebetulan diposisikan sebagai para legislator. Berarti masyarakat luas tunduk kepada hukum yang ditetapkan oleh sesama manusia. Dalam bahasa Rib’iy bin Amer ini merupakan bentuk penghambaan manusia kepada sesama manusia. Dalam Islam segenap masyarakat diajak untuk bersama hanya tunduk kepada ketetapan hukum yang berasal dari Allah. Allah Maha Adil, tidak mungkin apa-apa yang ia halalkan buruk bagi manusia. Dan sebaliknya apa-apa yang Dia haramkan karena mengandung mudharat bagi manusia. Allah tidak punya kepentingan apapun dalam menetapkan hukumNya. Bahkan karena sifatNya Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, pastilah semua isi hukumNya merupakan ekspresi kasih sayangNya bagi ummat manusia.

 

Para caleg dalam sistem demokrasi berpotensi menjadi stress karena mereka dibebankan untuk menetapkan hukum bagi masyarakat luas. Jelas ini merupakan tugas amat sangat berat, jika tidak bisa dikatakan mustahil. Bagaimana mungkin sekumpulan orang bisa merumuskan daftar legal dan ilegal yang bersifat adil bila para legislator sendiri tidak mungkin terbebas dari kepentingan (baca: hawa nafsu) pribadi dan golongannya masing-masing?

 

Ya Allah, bimbinglah kami untuk sepenuhnya kembali kepada hukum Engkau dan sistem Islam. Peliharalah kami dari ketergantungan kepada hukum buatan manusia dan sistem selain ajaranMu. Amin.