Sunnatullah Dalam Hal Giliran Kepemimpinan

mujahidin islamSunnatullah atau Hukum Allah yang berlaku dalam kehidupan di dunia mengambil bentuk yang beraneka-ragam. Di antaranya adalah seperti benda yang dilempar ke atas mestilah jatuh ke bawah, atau manusia yang haus dan lapar berarti perlu minum dan makan untuk menghilangkannya, atau seseorang yang dibacok tangannya niscaya menjadi terluka dan berdarah, atau Allah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan: ada siang ada malam, ada panas ada dingin, ada sehat ada sakit, ada senang ada susah, ada lapang ada sempit, ada kaya ada miskin, ada menang ada kalah,  dan masih banyak lagi yang lainnya.

Lalu ada pula sunnatullah yang berlaku dalam kaitan dengan sekumpulan manusia alias suatu kaum atau suatu umat. Seperti misalnya Allah tidak akan membinasakan suatu kaum sebelum dikirm terlebih dahulu seorang Nabi atau Rasul dariNya yang bertugas memberikan teguran dan peringatan kepada kaum tersebut.  Atau contoh lainnya ialah Allah tidak akan membiarkan adanya suatu kaum yang berlaku sewenang-wenang terhadap kaum-kaum lainnya kecuali Allah akan hadirkan sekelompok manusia lainnya yang bertugas menjadi penyeimbang atas kelompok yang berlaku zalim tersebut. Ini dikenal dalam istilah Islam sebagai Sunnatu At-Tadaafu’ (Sunnatullah dalam hal Konflik Antar-Umat).

Kali ini kita akan coba mencermati satu lagi sunatullah yang bernama Sunnatu At-Tadaawul (Sunnatullah dalam hal Pergantian Giliran Kepemimpinan). Hal ini kita temukan dalam sebuah ayat yang berbunyi sebagai berikut:

وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ

”Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia…” (QS Ali Imran ayat 140)

”And so are the days (good and not so good) We give to men by turns.” (Terjemahan bahasa Inggris QS Ali Imran ayat 140)

Ayat ini jika kita baca dengan lengkap ialah:

إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ

 وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا

وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

”Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS Ali Imran ayat 140)

Agar ummat Islam benar-benar memahami dan menghayati Sunnatu At-Tadaawul, maka melalui ayat ini Allah mengkaitkannya dengan kejadian perang Uhud yang baru saja dialami kaum muslimin. Perang Uhud merupakan perang kedua setelah perang Badar. Di dalam perang Badar para sahabat meraih kemenangan padahal mereka hanya berjumlah 313 personel melawan kaum kafir musyrik Quraisy yang berjumlah 1000 personel. Sedangkan dalam perang berikutnya, yaitu perang Uhud kaum muslimin pada tahap awal perang sesungguhnya meraih kemenangan. Namun begitu pasukan pemanah meninggalkan pos pertahanan di bukit Uhud, maka segera situasinya berbalik. Allah malah akhirnya mengizinkan kemenangan berada di fihak  kaum kafir musyrik Quraisy sedangkan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat harus menderita kekalahan.

Sehingga Allah berfirman: ”Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka (penderitaan kekalahan), maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka (penderitaan kekalahan) yang serupa.”

Mengapa Allah perlu membiarkan kaum muslimin menderita kekalahan? Mengapa sebaliknya Allah mengizinkan kaum kuffar musyrik Quraisy mengalami kemenangan? Allah sendiri menjelaskannya:

Pertama, karena Allah ingin menggilir kemenangan dan kekalahan di antara manusia. Kejayaan dan kehancuran ingin digilir di antara manusia. Itulah tabiat dunia. Di dunia yang fana ini tidak ada perkara yang bersifat langgeng dan abadi. Tidak ada fihak yang terus-menerus menang atau terus-menerus kalah. Semua akan mengalami giliran yang silih berganti. Tanpa kecuali, orang-orang berimanpun mengalami keadaan yang silih berganti di dunia. Bukan karena beriman lalu seseorang atau sekelompok orang harus menang terus. Tanpa pernah mengalami kekalahan bagaimana seseorang atau sekelompok orang akan menghargai dan mensyukuri kemenangan?

Kedua, karena Allah hendak memisahkan dan membedakan orang beriman dengan orang kafir. Dengan adakalanya mengalami kemenangan dan kekalahan, maka akan terlihat siapa orang yang pandai bersyukur saat menang dan siapa yang pandai bersabar kala mengalami kekalahan. Sebaliknya akan terlihat pula siapa orang yang lupa diri kala menang dan siapa yang berputus-asa ketika kalah.

Ketiga, karena melalui pengalaman silih bergantinya kemenangan dan kekalahan Allah hendak memberi peluang orang-orang beriman untuk meraih bentuk kematian yang paling mulia, yaitu mati syahid. Allah berkehendak mencabut nyawa orang-orang beriman sebagai para syuhada yang ketika berpisah ruh dari jasadnya, maka ruh mulia tersebut  akan langsung dijemput burung-burung surga.

Berdasarkan hal di atas, maka perjalanan sejarah ummat Islam bisa dilihat sebagai sebuah perjalanan panjang yang diwarnai oleh silih bergantinya pengalaman kemenangan dan kekalahan ummat ini atas kaum kafir. Silih bergantinya kejayaan dan kehancuran umat.  Kadang ada masanya orang-orang beriman memimpin umat manusia, namun ada masanya orang-orang kafir yang memimpin umat manusia. Sudah barang tentu pada masa dimana orang beriman memimpin masyarakat, maka berbagai program dan aktifitas sepatutnya lebih bernuansa ”rasa syukur” akan nikmat kemenangan yang sedang dialami. Sebaliknya, ketika kaum kafir yang memimpin umat manusia, maka sudah sepantasnya orang-orang beriman mengisi perjalanan hidupnya dengan dominasi ”sikap sabar” atas kekalahan yang sedang dideritanya.

Lalu bagaimanakah keadaan realitas kita dewasa ini? Coba kita kembali perhatikan hadits panjang dari Nabi shollallahu ’alaih wa sallam yang membicarakan persoalan ”Ringkasan Sejarah Ummat Islam di Akhir Zaman.”

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّا فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ

خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ (أحمد)

“Muncul babak Kenabian di tengah kalian selama masa yang Allah kehendaki, kemudian Allah mencabutnya ketika Allah menghendakinya. Kemudian muncul babak Kekhalifahan mengikuti manhaj (cara/metode/sistem) Kenabian selama masa yang Allah kehendaki, kemudian Allah mencabutnya ketika Allah menghendakinya. Kemudian muncul babak Raja-raja yang menggigit selama masa yang Allah kehendaki, kemudian Allah mencabutnya ketika Allah menghendakinya. Kemudian muncul babak Penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak  selama masa yang Allah kehendaki, kemudian Allah mencabutnya ketika Allah menghendakinya. Kemudian muncul babak Kekhalifahan mengikuti manhaj (cara/metode/sistem) Kenabian. Kemudian Nabi shollallahu ’alaih wa sallam diam.” (HR Ahmad)  

Jadi, berdasarkan hadits di atas, ”Ringkasan Sejarah Ummat Islam di Akhir Zaman” terdiri dari 5 babak atau periode:

Babak I  => Kenabian  النُّبُوَّةُ

Di babak ini ummat Islam mengalami perjuangan selama 13 tahun sewaktu di Mekkah sebelum hijrah ke Madinah di bawah kepemimpinan orang-orang  kafir dan  10 tahun berjuang di Madinah sesudah hijrah dari Mekkah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam yang memimpin masyarakat langsung di bawah bimbingan Allah melalui Kitabullah Al-Qur’an.

Jadi di babak pertama perjalanan sejarah ummat Islam terjadi dua kondisi yang sangat berbeda. Pada paruh pertama Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat mengalami keadaan dimana yang memimpin ialah kaum kafir musyrik. Sehingga generasi awal ummat ini mengalami kekalahan yang menuntut kesabaran luar biasa untuk bisa bertahan menghadapi kejahiliyahan yang berlaku.

Namun pada paruh kedua babak pertama ini, sesudah hijrah ke Madinah, kaum muslimin justru semakin hari semakin kokoh kedudukannya sehingga Allah taqdirkan mereka menikmati kejayaan di tengah masyarakat jazirah Arab. Sehingga kaum musyrik Arab pada masa itu akhirnya  harus tunduk kepada kepemimpinan orang-orang beriman.

Babak II => Kekhalifahan mengikuti manhaj (cara/metode/sistem) Kenabian خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

Di babak ini ummat Islam menikmati 30 tahun kepemimpinan para  Khulafa Ar-Rasyidin terdiri dari para sahabat utama yaitu  Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan dan  Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhum ajma’iin. Sepanjang babak ini bisa dikatakan ummat Islam mengalami masa kejayaan, walaupun sejarah mencatat pada masa kepemimpinan khalifah Ustman dan Ali sudah mulai muncul gejala pergolakan sosial-politik di tengah masyarakat yang mereka pimpin. Namun secara umum bisa dikatakan bahwa orang-orang berimanlah yang memimpin masyarakat. Orang-orang kafir dan musyrikin tidak diberi kesempatan untuk berjaya sedikitpun. Hukum Allah tegak dan hukum jahiliyah buatan manusia tidak berlaku.

Babak III=> Raja-raja yang Menggigit مُلْكًا عَاضًّا

Di babak ini ummat Islam menikmati selama 13 abad kepemimpinan org2 beriman. Para pemimpin pada masa ini dijuluki khalifah. Sistem sosial dan politik yang berlaku disebut Khilafah Islamiyah berdasarkan hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah An-Nabawiyyah.  Namun mengapa Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyebutnya sebagai babak para raja-raja? Karena bila seorang khalifah wafat maka yang menggantinya mesti anak keturunannya. Demikian seterusnya. Ini berlaku baik pada masa kepemimpinan Daulat Bani Umayyah, Daulat Bani Abbasiyah maupun  Kesultanan Usmani Turki.

Walaupun demikian, ummat Islam masih bisa dikatakan mengalami masa kejayaan, karena para Khalifah di babak ketiga merupakan Raja-raja yang Menggigit, artinya masih ”menggigit” Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tentunya tidak sama baiknya dengan kepemimpinan para Khulafa Ar-Rasyididn sebelumnya yang masih ”menggenggam” Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ibarat mendaki bukit, tentulah lebih aman dan pasti bila talinya digenggam daripada digigit. Tapi secara umum di babak ketiga ini Hukum Allah tegak dan hukum jahiliyah buatan manusia tidak berlaku.

Babak IV=> Raja-raja yang Memaksakan kehendak (diktator) مُلْكًا جَبْرِيَّا

Sesudah berlalunya babak ketiga di tahun 1924, mulailah ummat Islam menjalani babak dimana yang memimpin adalah Penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak. Inilah babak dimana kita hidup dewasa ini. Kita saksikan bahwa para penguasa di era modern memimpin dengan memaksakan kehendak mereka sambil mengesampingkan dan mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya. Entah disebut republik maupun kerajaan, suatu hal yang pasti ialah semuanya berkuasa tidak dengan mengembalikan urusan kehidupan sosial bermasyarakat dan bernegara kepada hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah An-Nabawiyyah. Manusia dipaksa tunduk kepada sesama manusia dengan memberlakukan hukum buatan manusia yang penuh keterbatasan dan vested interest seraya mengabaikan hukum Allah Yang Maha Adil. Hukum jahiliyah buatan manusia diberlakukan dan tegak dimana-mana sedangkan  hukum Allah dikesampingkan sehingga tidak berlaku.

Maka kita bisa simpulkan bahwa babak keempat merupakan babak kemenangan bagi kaum kafir dan kekalahan bagi orang-orang beriman. Inilah babak yang paling mirip dengan babak pertama paruh pertama di mana Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat berjuang di Mekkah sementara kekuasaan jahiliyah kaum kafir musyrik mendominasi di tengah masyarakat. Ummat Islam sudah menjalani babak keempat ini selama 85 tahun sejak runtuhnya Khilafah Islamiyyah terakhir.  Ini merupakan era paling kelam dalam sejarah Islam di Akhir zaman. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Babak V => Kekhalifahan mengikuti manhaj (cara/metode/sistem) Kenabian خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

Betapapun dewasa ini ummat Islam sedang mengalami kekalahan dan kaum kafir mengalami kejayaan, namun kita wajib optimis dan tidak berputus-asa. Karena dalam hadits ini Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengisyaratkan bahwa sesudah babak kekalahan ummat Islam akan datang babak kejayaan kembali yaitu babak kelima dimana bakal tegak kembali kepemimpinan oramg orang  beriman dalam bentuk Kekhalifahan mengikuti manhaj (cara/metode/sistem) Kenabian.

Saudaraku, pastikan diri kita termasuk ke dalam barisan ummat Islam yang sibuk mengupayakan tegaknya babak kelima tersebut. Jangan hendaknya kita malah terlibat dalam berbagai program dan aktifitas yang justeru melestarikan babak keempat alias babak kepemimpinan kaum kuffar di era modern ini. Yakinlah bahwa ada Sunnatu At-Tadaawul (Sunnatullah dalam hal Pergantian Giliran Kepemimpinan). Bila kepemimpinan kaum kuffar dewasa ini terasa begitu hegemonik dan menyakitkan, ingatlah selalu bahwa di dunia ini tidak ada perkara yang lestari dan abadi. Semua bakal silih berganti. It’s only a matter of time, brother.

 

رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Ya Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir”. (QS Al-Baqarah ayat 250)