Mendahulukan Islamic Values Bukan Group Values

khilafahSalah satu Khashoish Ad-Da’wah Al-Islamiyyah (Karakterisitik Da’wah Islam) ialah Islamiyyah qobla jamaa’iyyah yaitu  mendahulukan Islamisasi sebelum Strukturalisasi. Artinya sebuah aktifitas da’wah Islam yang semestinya ialah aktifitas yang mengutamakan langkah-langkah penyebarluasan nilai-nilai Islam sebelum berfikir mengajak orang kepada organisasi da’wah. Hal ini selaras dengan karakteristik da’wah Islam lainnya yaitu Rabbaniyyah (keTuhanan). Sebab seorang da’i yang ingin mengajak orang ke jalan Allah atau jalan Rabbnya pastilah selalu mengutamakan islamisasi segala sesuatunya sebelum berfikir untuk mengajak orang ke grup atau kelompok da’wahnya.

Aktifis da’wah Islam sejatinya sangat memahami kedudukan Islam dan kedudukan organisasi. Islam merupakan hal pertama dan utama yang selalu ingin dia perjuangkan dan tegakkan dimanapun ia berada. Sedangkan organisasi bagi dirinya hanyalah sebatas  sarana untuk dia menyalurkan upaya bekerjasama dengan para anggota lainnya dalam penegakkan nilai-nilai Islam tersebut. Oleh karenanya seorang da’i akan selalu menjadikan nilai-nilai Islam sebagai hal utama, sedangkan nilai-nilai organisasi sebagai hal selanjutnya dan itupun dalam rangka menyalurkan hal utamanya, yaitu nilai-nilai Islam. Oleh karenanya seorang da’i yang ikhlas akan selalu teliti dan waspada terhadap organisasi da’wah yang akan ia pilih untuk bergabung dan berkomitmen di dalamnya. Ia tidak akan serampangan dalam memilih suatu organisasi da’wah yang akan ia jadikan sarana perjuangannya dalam menegakkan dan menyebarkan nilai-nilai Islam.

Seorang aktifis da’wah akan selalu mendahulukan Islamic values daripada Group Values yang diberlakukan di dalam organisasi da’wahnya. Bila ia dapati bahwa group values yang diberlakukan selaras dengan Islamic values yang ia perjuangkan, maka tanpa ragu ia pasti akan mendukung group values tersebut. Lalu bagaimana jika ia dapati bahwa group values organisasinya ternyata bertentangan dengan Islamic values yang ia yakini? Jika keadaannya seperti ini, maka ia tentu akan tetap mengutamakan Islamic values daripada group values-nya. Apakah itu berarti ia akan segera meninggalkan organisasi tersebut begitu ia dapati terjadinya pertentangan nilai tersebut? Tentu tidak. Sebab ada langkah-langkah koreksi yang mesti ia upayakan terlebih dahulu sebagai kewajiban seorang mslim terhadap muslim lainnya sesuai hadits Nabi shollallahu ’alaih wa sallam:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ

”Agama adalah nasihat.” (HR Muslim)

Bahkan Allah menggambarkan bahwa orang-orang yang tidak merugi dalam kaitan dengan waktu ialah mereka yang rajin saling menasihati (taushiah) satu sama  lain dalam kebenaran dan kesabaran.

وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا

وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-Ashr ayat 1-3)

 

Bila nasihat telah disampaikan lalu terjadi pelurusan maka ini merupakan hal yang terbaik. Berarti da’i tersebut telah menjalankan kewajibannya menyampaikan nasihat atau koreksi. Dan organisasi telah menjalankan kewajibannya pula yaitu menyesuaikan diri dengan nasihat atau koreksi yang dilakukan oleh anggota. Namun bila yang terjadi ialah sebaliknya, organisasi menolak untuk dikoreksi, berarti da’i tersebut telah gugur kewajibannya dalam hal memberi nasihat atau melakukan koreksi sedangkan organisasi telah memperlihatkan inkonsistensi-nya sebagai organisasi yang mengaku memperjuangkan nilai-nilai Islam.  Selanjutnya sang aktifis sepatutnya tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai Islam yang ia yakini kebenarannya dan tidak tunduk kepada nilai-nilai organisasi yang sudah jelas mengalahkan nilai-nilai Islam dan mendahulukan nilai-nilai kelompok. Sebab bila ia tunduk kepada group values dan mengalahkan Islamic values, berarti keterlibatannya di dalam organsisasi itu menjadi keterlibatan yang bersifat fanatisme kelompok alias taqlid buta. Sedangkan hal ini dilarang oleh Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ

 

“Tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang menyeru kepada ashobiyyah (fanatisme kelompok/grup/golongan/partai/suku/bangsa/warna kulit/bahasa). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang berperang atas dasar ashobiyyah (fanatisme kelompok). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang terbunuh atas nama  ashobiyyah (fanatisme kelompok).” (HR Abu Dawud 4456)

 

Yang menjadi kesulitan ialah seringkali seorang anggota organisasi bersikap kompromistis terhadap kekeliruan yang dilakukan oleh organisasinya dengan alasan bahwa ia tidak mau dikucilkan dari grupnya. Dan alasan ini biasanya tidak akan ia kemukakan secara terbuka. Alasan ini biasanya ia bungkus dengan alasan yang seolah bersifat syar’i, misalnya dengan mengambil atau menyitir dalil seperti:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ

 وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

 وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS Al-Kahfi ayat 28)

Padahal pengutipan dalil ini semestinya dilakukan secara komprehensif tidak sepotong-sepotong. Dalam hal ini ia cenderung hanya mengambil bagian awalnya saja yaitu

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang.” Ia berhenti hanya sampai di batas ini. Sehingga kesimpulan yang muncul ialah seolah ia harus selalu bersama orang-orang di dalam kelompok tersebut bagaimanapun keadaannya (baca: berjamaah). Padahal justru sisa ayat itu sangat  menjelaskan sifat-sifat orang-orang yang tidak patut ia tinggalkan. Dan diantaranya ialah ”orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya”… Jika ini menjadi sifat-sifat mereka tentunya mereka akan tetap mendahulukan Islamic values terhadap group values, sebab orang yang mengharap keridhaan Allah niscaya mendahulukan nilai-nilai Rabbani daripada nilai-nilai ashobiyyah (fanatisme kelompok). Apalah artinya sebuah kebersamaan jika tidak terikat dan diikat oleh tali Allah? Sebab Allah menyuruh kita hanya memilih kebersamaan yang berlandaskan ikatan kepada tali Allah atau berlandaskan ketaqwaan kepada Allah. Semua bentuk kebersamaan selain itu akan menghantarkan kepada celaka dan bencana.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS Ali Imran ayat 103)

Sangat jelas ayat ini menyuruh kita hanya menjalin kebersamaan berlandaskan ikatan kepada tali Allah semata. Jika tidak, maka bercerai berai akan menjadi konsekuensi logis. Bila suatu kelompok memproklamirkan diirinya sebagai sebuah kelompok berlandaskan Islam, namun dalam prakteknya ia meninggalkan dan menanggalkan ideologi Islam dan mengambil ideologi lainnya sebagai perekat, baik itu bersama dengan ideologi Islam maupun tidak, maka bercerai berai merupakan konsekuensi logis yang Allah telah peringatkan bakal terjadi.

 

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

”Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zukhruf ayat 67)

Di hari berbangkit kelak Allah pasti akan memelihara keakraban kita sebagaimana sewaktu di dunia jika  kita menjalin keakraban sewaktu di dunia dengan landasan iman dan taqwa semata. Bahkan melalui ayat di atas Allah mengancam bakal terjadi permusuhan di kalangan orang-orang yang sewaktu di dunia saling menjalin keakraban namun bukan dengan landasan ketaqwaan kepada Allah.  Sehingga Nabi shollallahu ’alaih wa sallam pernah menggambarkan sifat orang-orang yang memperoleh kedudukan sedemikian mulia dan dekatnya kepada Allah sehingga menimbulkan kecemburuan para Nabi dan para Syuhada sebagai berikut;

هُمْ نَاسٌ مِنْ أَفْنَاءِ النَّاسِ وَنَوَازِعِ الْقَبَائِلِ لَمْ تَصِلْ بَيْنَهُمْ أَرْحَامٌ مُتَقَارِبَةٌ تَحَابُّوا فِي اللَّهِ وَتَصَافَوْا يَضَعُ اللَّهُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ فَيُجْلِسُهُمْ عَلَيْهَا فَيَجْعَلُ وُجُوهَهُمْ نُورًا وَثِيَابَهُمْ نُورًا يَفْزَعُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَفْزَعُونَ وَهُمْ أَوْلِيَاءُ اللَّهِ الَّذِينَ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

”Mereka adalah kumpulan manusia dari aneka latar belakang dan aneka suku (bangsa, warna kulit, bahasa, kelompok, golongan, harokah, jamaah, partai), mereka tidak diikat oleh hubungan keluarga di antara mereka satu sama lain. Mereka saling mencinta hanya karena Allah. Allah akan mendudukkan mereka di atas mimbar-mimbar dari cahaya,  wajah-wajah mereka bercahaya, dan pakaian mereka bercahaya. Manusia merasa  ketakutan pada hari kiamat sementara mereka tidak ketakutan. Mereka merupakan wali-wali Allah yang tidak ada rasa takut atas mereka dan merekapun tidak bersedih hati.”  (HR Ahmad)

 Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu cintaMu dan cinta orang-orang yang mencintaiMu. Persatukanlah hati kami dengan orang-orang beriman yang selalu mendahulukan nilai-nilai diinMu Al-Islam daripada nilai-nilai kelompok. Bersihkanlah hati kami dari berbagai virus ashshobiyyah (fanatisme kelompok, golongan, jamaah, harokah, partai, suku maupun bangsa).