Orang Asing (Al-Ghurabaa) Dan Nasionalisme

Tauhid menjadi perekat sejati keanekaragaman suku bahkan bangsa yang menerima Islam sebagai jalan hidup. Ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan Islam) dan Al-Mahabbatu fillah (kasih-sayang karena Allah) meliputi Suhaib Ar-Rumi yang orang Romawi, Salman Al-Farisi yang orang Persia, Bilal bin Rabah yang orang Etiopia serta Abu Bakar Ash-Shiddiq yang merupakan orang Arab dari qabilah Quraisy asli. Begitu pula kalimat Allah telah merajut kaum Muhajirin yang berasal dari aneka qabilah di Mekkah dengan Kaum Anshor yang berasal dari aneka qabilah di Madinah. Pendek kata tumbuhlah sebuah peradaban baru yang dilandasi oleh penghambaan kepada Allah sebagai pengikat utama keaneka-ragaman masyarakat di jazirah Arab pada masa itu.

Peradaban berlandaskan ikatan Islam dan Iman tersebut berlanjut selama belasan abad hingga dunia menyaksikan betapa luasnya wilayah dimana berkibar bendera Tauhid sebagai perekat aneka suku dan bangsa. Wilayah Islam membentang dari Maroko di ujung barat benua Afrika hingga kepulauan Maluku di ujung timur Indonesia. Tanah Iman membentang dari Semenanjung Balkan Eropa di ujung utara hingga Madagaskar Afrika di ujung selatan. Pada masa itu bila seorang muslim mengadakan safar dari suatu wilayah ke wilayah lainnya, maka ia tidak perlu memperlihatkan paspor maupun visa karena seluruh wilayah merupakan bagian dari negerinya sendiri, yaitu negeri Islam dan kaum muslimin.

Namun seiring berjalannya waktu dekandensi nilai-nilai keimanan merebak, lalu diperburuk dengan terjadinya penjajahan pihak kolonialis Barat ke negeri-negeri Islam sehingga terjadilah set-back. Kaum muslimin yang berjuang membebaskan negerinya dari penjajah kafir Barat berhasil dipersuasi oleh para penjajahnya masing-masing untuk mengedepankan nilai-nilai kebangsaan daripada aqidah Tauhid sebagai identitas kemerdekaan kaumnya. Para penjajah kafir Barat hanya mau hengkang dari negeri jajahannya bila telah dipastikan bahwa negeri yang bakal ditinggalkannya telah menjadikan paham Nasionalisme sebagai pengikat utama kaum tersebut, dan bukan Kalimat Tauhid.

Sejarahpun berulang. Fanatisme kelompok yang bersifat primordial muncul kembali menggantikan ikatan Tauhid. Perbedaannya hanyalah bahwa di masa Rasulullah saw fanatisme tersebut berskala qabilah, sedangkan pada era modern ia berskala bangsa. Faham dan ideologi ke-qabilah-an alias sya’biyyah di masa lalu menjadi faham ke-bangsa-an (Nasionalisme) alias qaumiyyah di masa kini. Hal ini seiring dengan dunia memasuki era globalisasi. Skala boleh meluas, namun inti ikatannya tetap sama. Apa yang mengikat dan membentuk perasaan kasih-sayang dan persatuan bukanlah ikatan hubungan dengan Pencipta alam raya, Allah swt, melainkan ikatan duniawi-material atau bersifat primordial. Sehingga dewasa ini barangsiapa mengusung ikatan Islam dan Iman sebagai perekat masyarakat dipandang asing dan aneh. Kalimat Tauhid dibatasi pada urusan pribadi semata. Segala upaya menjadikan Kalimat Tauhid sebagai perekat masyarakat dipandang mengancam persatuan dan kestabilan nasional.