Fit and Proper Test

Secara bahasa maknanya adalah tes uji kelayakan seseorang untuk sebuah pekerjaan tertentu. Biasanya jabatan pemerintahan eselon tinggi membutuhkan tes semacam ini. Materi tes mencakup kecakapan menjalankan jabatan tersebut.

Jika bapak dan ibu mempunyai putri yang mengajukan calon suami, perlukah diadakan “fit and proper test” bagi calon menantu?

Pada hemat kami amat perlu.

Pertama, Islam mewajibkan orangtua mengantarkan anaknya ke jenjang pernikahan sebagai tugas terakhir pendidikan. Dan orangtua harus memastikan bahwa pasangan hidup anaknya adalah orang yang diridoi Allah Swt. Janganlah orangta menyerahkan anaknya kepada pihak yang tidak bertanggung jawab sebagaimana sebelumnya Allah Swt sudah menuntut tanggung jawab dari orangtua.

Kedua, zaman sekarang adalah zaman edan. Berbagai aliran dan –isme sudah dianggap lumrah sehingga berbagai penyimpangan beragama sudah mencederai agama kita. Tragisnya lagi, penyimpangan-penyimpangan tersebut kerapkali dibela atas nama ‘hak asasi manusia’ dengan mengabaikan Hak Allah sebagai Pencipta Pemilik Pemelihara dan Penguasa jagad raya ini dalam menentukan pedoman hidup manusia. Demi HAM sebagian pihak menganggap aliran sesat sah untuk tetap beroperasi di atas bumi ini. Padahal Allah Swt sudah mengatakan dalam Al Qur’an : “Agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam” (QS 3:19). Dalam situasi seperti ini kita harus memastikan bahwa calon pasangan hidup anak kita bukan dari aliran yang menyimpang agar pernikahan mereka diberkahi Allah Swt.

Alasan ketiga adalah alasan psikososial. Selain uji aqidah, Islam juga mensyaratkan perjodohan agar ‘se-kufu’, artinya kedua calon sejoli memiliki kecocokan dalam tinjauan sosial pikologis. Sepasang suami istri kelak akan hidup bermasyarakat bersama handai taulan dan lingkungannya. Jika mereka memiliki ke-tidak-cocok-an dalam hal-hal ini niscaya keduanya akan mengalami berbagai cobaan kesulitan yang dikhawatirkan tak mampu mereka hadapi karena kesenjangan yang terlalu besar. Perbedaan-perbedaan kecil memang dapat dan perlu diadaptasi, namun kesenjangan yang terlalu jauh perlu dipertimbangkan secara serius agar tidak berakibat buruk kelak. Dalam Islam ada kaidah : menghindari mudharat lebih diutamakan daripada mencari manfaat. Alasan ketiga fit and proper test adalah untuk menimbang kecocokan ini.

Lantas apakah isi materi fit and proper test ini?

Yang pertama, sebagai Muslim, orangtua wajib memeriksa aqidah calon menantunya. Baik calon menantu perempuan maupun (apalagi) calon menantu laki-laki. Ada banyak cara memeriksa masalah ini, antara lain dengan bertanya pada yang bersangkutan secara langsung (wawancara), dan juga dengan cara mencari rujukan yang dapat dipercaya. Misalnya bertanya tentang yang bersangkutan kepada temannya, tetangganya atau gurunya dan lain-lain. Semakin banyak rujukan terpercaya yang dapat kita tanyai akan semakin akurat (Insya Allah) hasilnya.

Hal kedua yang diperiksa adalah akhlaqnya. Makna akhlaq tidak sama dan sebangun dengan kepribadian. Akhlaq dilandasi aqidah, sehingga jika aqidahnya cacat maka tak mungkin berakhlaq baik meskipun tampak budi pekerti atau tutur perilaku baik. Akhlaq lebih dalam dan mendasar ke dalam kepribadian seseorang. Tetapi seseorang yang beraqidah lurus belum tentu sudah mencapai akhlaq mulia. Jika aqidah lurus, seseorang berpotensi memiliki akhlaq mulia. Cara memeriksa akhlaq dapat dilakukan berbarengan dengan memeriksa aqidah.

Hal ketiga untuk diselidiki adalah apa tujuan sang calon menantu dalam berumah-tangga ? Nabi Saw bersabda: innamal a’malu bin niyyat (segala sesuatu amal tergantung niatnya). Baik buruk suatu amal, berkah atau tidaknya, amat ditentukan oleh kebersihan niat yang hanya lillahi ta’ala (hanya karena Allah). Niat yang Ikhlash kepada Allah sajalah yang diterima di sisi Allah Swt. Pertanyaan mendasar ini dapat dielaborasi dengan apa visi misi berumah-tangga. Pertanyaan tentang tujuan dan visi misi berumah-tangga menjadi penting agar keduanya kelak mememulai hidup baru dengan arah yang jelas dan diharapkan mereka tidak tersesat jalan.

Yang keempat adalah menanyakan bagaimana cara calon menantu ini mengatasi konflik, problem atau perbedaan pendapat? Ke mana sumber rujukannya dan bagaimana cara mengatasinya bersama pasangannya tersebut. Yang kita harapkan ia menjawab bahwa sumber rujukan adalah Al Qur’an dan Hadits dan cara mengatasinya bersama dengan musyawarah. Jika ia beum sampai jawaban ini, atau jika ia menjawab berbeda, maka tanyakanlah apa pendapatnya jika kita mengusulkan jawaban seperti di atas. Jika ia tidak setuju, berarti ia tidak sejalan dengan kita. Artinya kita berkewajiban menolak calon menantu yang kita khawatirkan akan menyesatkan anak kita dengan sumber rujukan yang bukan rujukan Islam yang benar. Ada banyak kasus pertengkaran suami istri ternyata akar masalahnya terletak pada perbedaan cara pandang dan cara mengatasi problem. Terutama ketika suami dan istri tidak sepakat untuk kembali pada sumber rujukan yang sama. Jika satu pihak mementingkan aturan adat sedangkan pihak lain hanya mau Islam, maka mereka sulit dipersatukan kembali. Bahkan di zaman Nabi Saw, Beliau (Saw) sendiri memutuskan ikatan perkawinan putri Beliau (Saw) dengan menantu yang musyrik dan tak mau diajak masuk Islam.

Dewasa ini sering kita jumpai orangtua tak lagi merasa perlu terlibat saat anak dan menantunya memiliki problem perbedaan ideologi. Ada yang bahkan tak merasa perlu berpendapat ketika anak dan menantunya sekeluarga murtad (keluar) dari Islam.

Meskipun anak kita sudah menikah, itu tidak berarti hal-hal seperti ini sudah terlepas dari tanggung-jawab kita. Nabi Saw sering sampai mengetuk pintu rumah anak menantunya untuk membangunkan mereka shalat malam. Mungkin istilah “Tut wuri handayani” bisa kita pinjam di sini untuk menggambarkan bagaimana dari “belakang” –pun kita dapat tetap mengawasi dan memberi dorongan positif bagi rumah-tangga anak-anak kita.

Perlu dicatat bahwa diantara sekian banyak problem yang mungkin akan dihadapi anak-anak kita dalam rumah-tangga mereka, tidak semua memiliki bobot sepenting masalah aqidah. Bahkan mungkin sebagian besar lebih pada masalah teknis atau selera. Untuk hal-hal seperti inilah toleransi, empati, mengalah dan bersabar dalam arti berdiam tidak melawan dibutuhkan. Sebaliknya, jika untuk masalah-masalah sepenting pergeserean aqidah juga disikapi dengan toleransi, mengalah atau berdiam diri tanpa mempertanyakan sedikitpun kepada pasangan hidupnya, maka jelas akan menimbulkan bencana. Perceraian mungkin dapat dihindari, tapi keluar dari rahmat Allah adalah ancaman dunia akhirat yang paling berbahaya.

Di titik inilah kita harus memberi pemahaman kepada anak-anak kita bahwa : ‘sebelum segala sesuatunya, kita ini adalah hamba Allah yang terikat pada hukum-hukumNya lebih dahulu daripada terikat pada yang lain’.

Jika semua usaha sudah kita lakukan untuk memastikan jodoh yang baik bagi anak kita, maka Insya Allah sudah saatnya kita bertawakkal pada Allah untuk kelanjutan kebaikan jodoh mereka ini.

Mudah-mudahan tips sederhana ini dapat dimanfaatkan untuk kebaikan dunia dan akhirat kita semua. Amin. (SAN 02022009)