17 September 112 Tahun yang Lalu (1)

snouckPada tanggal 17 September 1901, Ratu Wilhelmina sebagai Ratu Kerajaan Kristen Belanda berpidato di Parlemen Belanda. Pidato ini tidak seperti pidato kepala Negara pada biasanya, karena ia telah berpengaruh besar terhadap kehidupan puluhan juta manusia yang ada di negeri jajahannya di Nusantara. Pidato itu, sangat penting karena ia menandai pemberlakuan secara resmi kebijakan politik etis Pemerintahan Koloniah Hindia Belanda (PKHB) di Nusantara.

Kebijakan politik etis, merupakan suatu rumusan kebijakan yang memadukan tiga program yang sangat berpengaruh bagi keadaan masyarakat di semua lapisannya. Tiga program tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Pendidikan, yakni membuka sekolah – sekolah dengan model Belanda untuk kalangan pribumi secara lebih terbuka daripada sebelumnya.
  2. Pengairan, yakni pembuatan sarana yang akan meningkatkan hasil pertanian sehingga akan meningkatkan kesejahteraan penduduk.
  3. Perpindahan penduduk, yakni dari pulau Jawa kepada pulau – pulau lainnya untuk pemerataan dan penyebaran tenaga kerja yang akan dipekerjakan terutama di sektor pertanian.

Banyak pihak menilai bahwa kebijakan politik etis itu telah berpengaruh positif terhadap kehidupan masyarakat pribumi di Nusantara. Bahkan, untuk Indonesia di kemudian hari, politik etis menjadi tonggak bagi kehadiran pemimpin dan pergerakan kemerdekaan. Namun, apakah benar bahwa kebijakan politik etis itu lebih banyak berpengaruh positif terhadap keadaan Nusantara ?

Politik Etis dirancang oleh beberapa sarjana terkemuka Belanda. Diantara nama – nama tersebut adalah K.T. Van Deventer pengarang buku Een eerschuld  yang telah mengilhami nama kebijakan tersebut. Kemudian P. Brooschooft dan yang paling penting adalah C. Snouck Hurgronye yang merupakan tokoh intelektual terpenting Belanda untuk penjajahan di Nusantara. Berikutnya, untuk memahami kebijakan politik etis ini, kita akan bersumber kepada seluruh rumusan Hurgronye.

Hurgronye, adalah seorang sarjana antropologi yang berwibawa dan diakui oleh dunia sebagai salah satu dari bapak antropologi dunia. Penelitiannya tentang masyarakat Mekah dan pengaruhnya bagi perjuangan ummat Islam adalah salah satu kontribusinya yang terpenting bagi pengembangan disiplin ilmu antropologi yang waktu itu melayani kepentingan penjajahan Negara – Negara Barat terhadap dunia Islam. Penelitiannya di Nusantara teramat banyak dan telah menjadi pijakan sangat penting bagi berbagai kebijakan PKHB yang salah satunya adalah politik etis tersebut.

Berbeda dengan sebagian rekannya dari penjajah Belanda waktu itu, Hurgronye telah sampai pada kesimpulan bahwa untuk memaksimalkan tujuan penjajahan Nusantara atau Hindia Belanda bagi negeri Belanda maka PKHB harus memanfaatkan sebagian masyarakat pribumi (istilah pribumi dalam pandangan penjajah Belanda waktu itu adalah orang Islam). Hurgronye menyimpulkan, bahwa masyarakat pribumi itu tidak seragam sebagaimana yang diasumsikan oleh rata-rata penjajah Belanda waktu itu. Akan tetapi, menurut Hurgronye, ada pribumi yang tidak bisa bekerjasama dengan Belanda dan akan sangat memusuhi Belanda. Dan ada juga pribumi yang sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk penjajahan dan menjadi kaki tangan Belanda yang setia.

Oleh karena itu, PKHB harus mendukung pribumi yang bisa menjadi kaki tangan penjajahan dengan cara mengmansipasi mereka daripada Islam. Maksud mengemansipasi dari Islam adalah mengeluarkan mereka dari pengaruh Islam dan ajarannya yang salah dan kolot. Yakni, mengeluarkan mereka dari Islam yang menolak Belanda bukan saja sebagai penjajah, tapi juga sebagai sebuah kebudayaan dan bangsa yang mempromosikan Kristen dan peradaban Barat di Nusantara.

Oleh karena itulah, rumusan kebijakan politik etis yang mulai berlaku resmi pada tahun 1901 tersebut, berdasarkan rumusan Hurgronye pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk melakukan tiga proses penting bagi pribumi. Ketiga proses tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Asosiasi, yakni sebuah upaya untuk membuat seragam atau sama tatanan sosial atau pengorganisasian antara masyarakat Belanda dengan pribumi sebagai jajahannya. Dengan demikian, maka ikatan ini akan melepaskan ikatan pribumi terhadap Islam. Bentuk asosiasi ini misalnya adalah pendirian Volksraad pada tahun 1916.  
  2. Unifikasi, yakni upaya untuk memberlakukan hukum yang sama antara masyarakat pribumi dengan penjajah. Untuk upaya ini, maka Hurgronye telah mengeluarkan teori yang menyatakan bahwa hukum Islam hanya akan berlaku apabila telah disahkan oleh hukum adat. Hasilnya, adalah penghapusan mahkamah syariat pada tahun 1939.
  3. Asimilasi, yakni upaya untuk membuat sama antara kebudayaan penjajah dengan kebudayaan pribumi. PKHB menyokong berbagai seni dan budaya lama sebelum Islam untuk kembali berwibawa dan menjadi symbol bagi pribumi yang menjadi kaki tangan penjajahan. Selain juga dengan mengangkat budaya penjajah seperti misalnya mengagungkan hari Ahad sebagai hari besar menggantikan hari Jum’at.

Hal terpenting untuk melakukan itu sesungguhnya terletak dalam kebijakan yang pertama, yakni pendidikan. Meskipun memang, tidak mungkin kebijakan pertama tersebut akan berhasil apabila tidak didukung oleh kebijakan dalam hal pengairan dan perpindahan penduduk. Singkatnya, hubungan antara kebijakan pertama dengan dua kebijakan lainnya adalah kebijakan pertama dilandasi oleh dua kebijakan lainnya. Munculnya pemimpin yang tercerabut dari Islam sebagai akibat kebijakan pertama akan berpengaruh bagi penjajahan apabila didukung oleh masyarakat umum yang telah terkondisikan oleh dua kebijakan lainnya.

Apabila kita telusuri lebih lanjut dari kebijakan pendidikan tersebut, maka kesimpulannya adalah bahwa kebijakan pendidikan tersebut pada hakikatnya adalah sebuah bagian besar dari proyek orientalisme di yang berlaku bukan hanya di Nusantara, tapi juga di dunia Islam lainnya. Oleh karena itu, satu langkah penting untuk memahami hakikat politik etis ini sesungguhnya adalah dengan cara memahami orientalisme dengan seluruh agenda dan pengaruhnya.

Orientalisme, dalam maknanya yang netral adalah sebuah pengkajian terhadap Timur atau Islam yang dilakukan oleh Barat untuk kepentingan Barat. Menurut para ahli, kajian orientalisme yang objektif atau yang memang sepenuhnya untuk pengembangan pengetahuan sangatlah sedikit. Sebagian besar hasil orientalisme adalah bias Barat dan untuk kepentingan subjektif Barat. ( Tentu itu hal yang wajar bagi Barat, yang justru tidak wajar adalah ketika ummat Islam tidak memahami hal itu)

Orientalisme, khususnya dan sebagian besarnya meneliti Islam, bertolak dari apriori yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu bukan wahyu, tapi adalah ucapan Muhammad. Dan Muhammad pun bukan seorang rasul Allah. Oleh karena itu, mereka telah mencapai kesimpulan sejak awal bahwa Al Qur’an dan Muhammad itu harus diragukan dan Islam itu adalah bukan agama yang diturunkan Allah melainkan kebudayaan yang diciptakan oleh Muhammad dan orang – orang Arab.

Karena itulah, orientalisme telah berpengaruh terhadap orang – orang Islam yang mengikuti atau mengkonsumsi hasil – hasil aktifitas yang berkedok ilmiah itu sebagai satu hal yang meyakinkan bagi mereka. Orientalisme telah menanamkan kepada orang – orang Islam itu bahwa mereka adalah rendah dan itu menjadi sesuatu yang meyakinkan bagi mereka. Dan itulah, yang telah membawa mereka keluar dari khazanah perbendaharaan Islam yang sesungguhnya kepada suatu Islam yang palsu dan bercampur dengan asumsi dan dugaan dari pandangan Barat yang keliru.

(bersambung)

Oleh : Randi Muchariman, S.I.P

Ketua Umum Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia