Apa Itu Revolusi Industri 4.0?

Apa sesungguhnya revolusi industri 4.0? Prof. Klaus Martin Schwab, teknisi dan ekonom Jerman, yang juga pendiri dan Executive Chairman World Economic Forum, yang pertama kali memperkenalkannya. Dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution (2017), ia menyebutkan bahwa saat ini kita berada pada awal sebuah revolusi yang secara fundamental mengubah cara hidup, bekerja dan berhubungan satu sama lain.

Perubahan itu sangat dramatis dan terjadi pada kecepatan eksponensial. Perubahan yang sangat berpengaruh dalam kehidupan di banding era revolusi industri sebelumnya. Pada revolusi Industri 1.0, tumbuhnya mekanisasi dan energi berbasis uap dan air menjadi penanda.

Tenaga manusia dan hewan digantikan oleh kemunculan mesin. Mesin uap pada abad ke-18 adalah salah satu pencapaian tertinggi. Revolusi 1.0 ini bisa meningkatkan perekonomian yang luar biasa. Sepanjang dua abad setelah revolusi industri pendapatan perkapita negara-negara di dunia meningkat enam kali lipat.

Revolusi Industri 2.0 perubahannya ditandai dengan berkembangnya energi listrik dan motor penggerak. Manufaktur dan produksi massal terjadi. Pesawat telepon, mobil, dan pesawat terbang menjadi contoh pencapaian tertinggi.

Perubahan cukup cepat terjadi pada revolusi Industri 3.0. Ditandai dengan tumbuhnya industri berbasis elektronika, teknologi informasi, serta otomatisasi. Teknologi digital dan internet mulai dikenal pada akhir era ini. Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan berkembangnya Internet of/for Things, kehadirannya begitu cepat.

Banyak hal yang tak terpikirkan sebelumnya, tiba-tiba muncul dan menjadi inovasi baru, serta membuka lahan bisnis yang sangat besar. Munculnya transportasi dengan sistem ride-sharing seperti Go-jekUber, dan Grab. Kehadiran revolusi industri 4.0 memang menghadirkan usaha baru, lapangan kerja baru, profesi baru yang tak terpikirkan sebelumnya.

Pendapat Ahli Tentang Revolusi Industri 4.0

Ada beberapa pendapat para ahli tentang revolusi industri 4.0, yang pertama menurut Jobs Lost, Jobs Gained: Workforce Transitions in a Time of Automation, yang dirilis McKinsey Global Institute (Desember 2017), pada 2030 sebanyak 400 juta sampai 800 juta orang harus mencari pekerjaan baru, karena digantikan mesin.

Pendapat yang kedua, menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang P.S. Brodjonegoro, mempunyai pendapat yang sama dengan McKinsey & Co. Menurutnya, memasuki revolusi industri 4.0 Indonesia akan kehilangan 50 jutapeluang kerja.

Pendapat yang ketiga, menurut menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, sebaliknya. Revolusi industri 4.0 justru memberi kesempatan bagi Indonesia untuk berinovasi. Revolusi yang fokus pada pengembangan ekonomi digital dinilai menguntungkan bagi Indonesia. Pengembangan ekonomi digital adalah pasar dan bakat, dan Indonesia memiliki keduanya. Ia tidak sependapat bahwa revolusi industri 4.0 akan mengurangi tenaga kerja, sebaliknya malah meningkatkan efisiensi.

Program Making Indonesia 4.0

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan meluncurkan program Making Indonesia 4.0 yang merupakan peta jalan (roadmap) terintegrasi dan kampanye untuk mengimplementasikan strategi menghadapi era revolusi industri ke-4 (Industry 4.0). Roadmap tersebut akan diluncurkan pada 4 April 2018.

Sebagai langkah awal dalam menjalankan Making Indonesia 4.0, terdapat lima industri yang menjadi fokus implementasi industri 4.0 di Indonesia, yaitu:

  1. Makanan dan minuman
  2. Tekstil
  3. Otomotif
  4. Elektronik
  5. Kimia

Lima industri ini merupakan tulang punggung, dan diharapkan membawa pengaruh yang besar dalam hal daya saing dan kontribusinya terhadap ekonomi Indonesia menuju 10 besar ekonomi dunia di 2030. Kelima sektor inilah yang akan menjadi contoh bagi penerapan industri 4.0, penciptaan lapangan kerja baru dan investasi baru berbasis teknologi.

Industri 4.0 di Indonesia akan menarik investasi luar negeri maupun domestik di Indonesia, karena industri di Indonesia lebih produktif dan sanggup bersaing dengan negara-negara lain, serta berusaha semakin baik yang disertai dengan peningkatan kemampuan tenaga kerja Indonesia dalam mengadopsi teknologi. Revolusi mental juga harus dijalankan, mulai dari mengubah mindset negatif dan ketakutan terhadap industri 4.0 yang akan mengurangi lapangan pekerjaan atau paradigma bahwa teknologi itu sulit.