Banjir Jakarta: dari Zaman Tarumanegara, Hindia Belanda, hingga Era Anies Baswedan

Penyebab utamanya adalah air sumur yang tercemar dan sama sekali tidak layak konsumsi serta berkembang biaknya nyamuk anopheles.

Banjir Jakarta pada 1909

Curah hujan tinggi selalu menjadi penyebab utama Batavia dilanda banjir. Saat itu, Gubernur Jenderal Idenburg dan Belanda tidak berdaya untuk mengatasi permasalahan banjir ini.

Pada 1911, Belanda membangun pintu air besar, yaitu Bendung Katulampa di Bogor. Tujuannya supaya bisa mengukur debit air Kali Ciliwung. Pembangunan pintu air besar ini merupakan sistem peringatan dini yang diharapkan bisa mengatasi permasalahan banjir.

Banjir Jakarta pada 1918

Banjir Jakarta pada 1918 menjadi banjir terparah selama sembilan tahun terakhir. Selama berhari-hari hujan terus mengguyur Batavia. Akibatnya hampir seluruh rumah di Batavia terendam banjir.

Gubernur Jenderal JP Graaf van Limburg Stirum dan pejabat Belanda lagi-lagi tidak berdaya untuk mengatasi permasalahan banjir ini. Kanal tetap tidak berfungsi baik karena selalu tersumbat sampah, lumpur dan tanah.

Mengutip dari Masalah Banjir di Batavia Abad XIX (2003), permasalahan banjir di Batavia pertama kali ditangani secara sistematik pada pertengahan tahun 1920.

Saat itu, di Bogor banyak hutan yang dibuka untuk dijadikan lahan perkebunan teh. Sehingga hal ini dikhawatirkan akan menambah dampak banjir di Batavia kala itu.

Oleh karena itu, untuk meminimalisir hal tersebut dibuatlah rencana van Breen atau perbaikan tata-air-ibukota Batavia. Rencana ini merupakan strategi untuk mengendalikan air di Batavia.

Secara garis besar, rencana ini lebih diarahkan pada tata lingkungan kota di daerah terbangun. Rencana ini juga dikatkan dengan wacana pembuangan air dan kotoran dari wilayah permukiman yang saat itu sedang dibangun, yakni daerah Menteng.

Inti dari rencana van Breen ialah membuat terusan baru yang posisinya melintang ke arah alur sungai di wilayah Batavia, yaitu timur barat di penempatan alur. Hal ini lebih dikenal dengan istilah transversal channel.

Pada 1922, juga disusun rencana perbaikan kampung atau Kamppongverbeetering. Namun, rencana ini tidak berjalan lancar karena minimnya alokasi dana.

Banjir Jakarta pada 1932

Banjir terparah kedua setelah 1918 terjadi pada 1932, tepatnya pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal B.C. de Jonge.

Selain menjadi banjir terparah kedua, banjir kali ini juga banyak disorot oleh media cetak. Salah satunya surat kabar The Orient yang memberitakan banjir di Jalan Sabang. Karena merupakan pusat pertokoan dan lokasi nongkrong anak muda Batavia.

Banjir Jakarta Era Anies Baswedan 2021

Sejumlah wilayah di Provinsi DKI Jakarta terendam banjir di tahun 2021, hingga menyebabkan banjir di 139 RT dan 1.380 jiwa harus mengungsi.

Adapun, banjir terjadi di kawasan Jakarta Selatan dan Jakarta Timur dengan rincian 29 rukun warga (RW) terdampak di Jakarta Selatan terdiri dari 44 RT dengan ketinggian 40 cm-150 cm dan terdapat pengungsi sebanyak tujuh Kepala Keluarga (KK) dengan total 19 jiwa.

Sementara di Jakarta Timur terdapat 50 RW terdampak banjir terdiri dari 143 RT dengan ketinggian 40 cm-180 cm, dan 372 KK dengan total 1.361 jiwa sedang mengungsi, sedangkan di Jakarta Barat terdapat empat RW dan enam RT terdampak banjir. [banjarmasinpost]