Bob Hasan, Tokoh Dibalik Cepatnya Lari Zohri

Prestasi Purnomo kala itu pun kayak yang dilakuan Zohri sekarang. Sangat hebat. Dia masuk putaran semi final Olimpiade Los Angeles 1994. Melalui siaran televisi, dia terlihat berlari di lajur tiga bersama pelari top dunia seperti dari Jamaika, USA, Inggris, dan lainnya. Legenda atletik, Carl Lewis pada putaran final kemudian menjadi juaranya.

Pada akhir lomba itu Lewis sempat mencatat rekor dunia. Purnomo memang tak jadi juara. Namun catatan waktunya, yang kala itu mulai gunakan teknologi komputer mengesankan, mencapai 10,41 detik. Dialah satu-satu orang Asia yang saat itu bisa masuk babak akhir lomba lari putaran dunia 100 m tingkat olimpiade.

Sayangnya, di tingkat Asia Purnomo sial, yakni pada Asian Games di India. Pada putaran final, media masa kala itu mengisahkan bila Purnomo kalah karena blok pijakan kakinya ketika hendak melakukan sprint sempat melorot. Celakanya lomba tidak diulang. Yang juara kala itu, kalau tidak salah, pelari Qatar, Talal Mansoor. (Mudah-mudahan Mas Purnomo sehat selalu dan bisa ikhlas dengan tak merasa jasanya dilupakan oleh bangsa ini).

Cerita pahlawan dalam dunia lari cepat banyak sekali. Rekor nasional untuk lari 100 m pun masih dipegang pelari asal Solo, Suryo Agung Wibowo dengan catatan waktu 10,17 detik. Di tingkat junior, rekor Zohri memang cukup mengkilap, yakni menumbangkan rekor Mardi Lestari yang pernah ditetapkan sebagai ‘manusia tercepat Asia’ yang bertahan selama 28 tahun.

Harus pula jujur diakui di tingkat usia U18, catatan waktu Zuhri masih jauh dengan torehan rekor lari 100 M dunia U18 yang dipegang oleh pelari Amerika Serikat, Anthony Schwartz, dengan catatan waktu 9,97 detik. Rekor dunia senior lebih jauh lagi karena catatan rekor yang dipegang Usain Bolt mencapai waktu 9,58 detik. Catatan waktu Zohri di tingkat dunia pada kelompok umur U18 baru berada pada tingkat ke-8.

*****

Meski begitu, oke saja kalau prestasi Zohri disambut gegap gempita. Hal lazim dalam sebuah dunia olahraga, sebuah prestasi memang selalu membangkitkan rasa nasionalisme. Tak hanya di Indonesia saja, di belahan dunia lain, dari Amerika, Inggris, Cina, Jepang, Rumania, Singapura, atau negara lain pun begitu. Kalau menjadi pemenang dalam sebuah ajang olahraga dunia mendapat pujian setengah mati. Penghargaan hingga duit jatuh diguyurkan. Dahulu layaknya loyang, sekarang dipuja-puji layaknya emas atau mutiara yang terpendam.