“Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978”: ‘Sebelum Demonstrasi, Ada Proses Intelektual’

Menurut Benedict Anderson, buku ini sangat penting karena merupakan kritik sistematis pertama mengenai kebijakan Orde Baru di Indonesia (Anderson & Ecklund, 1978). Saking pentingnya, Benedict Anderson membantu menerjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa Inggris lalu menerbitkannya di Jurnal Indonesia terbitan Cornell University. Tak hanya itu, buku ini kemudian diterjemahkan ke delapan bahasa, antara lain bahasa Belanda, Jepang, China, dll.

Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 itu tak mungkin ada tanpa kegiatan-kegiatan intelektual mahasiswa di zaman itu. Mulai dari membaca lalu berdiskusi dan kemudian merumuskannya ke dalam tulisan. Menggunakan berbagai sumber dari surat kabar, majalah, buku, serta dokumen resmi pemerintah, seperti “Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua 74/75 – 78/79”. Lahirlah sebuah buku dari tangan mahasiswa berupa kajian mendalam mengenai kondisi Indonesia saat itu.

Secara umum, Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 membandingkan kondisi nyata Indonesia masa itu dengan dokumen-dokumen perencanaan pembangunan pemerintah. Kajian ini dilakukan dari berbagai perspektif (politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum) juga dilengkapi dengan argumentasi kenapa kondisi Indonesia saat itu terpuruk. Diperkuat dengan berbagai data sesuai indikator yang terdapat pada Pelita I dan II, serta Repelita III. Data-data yang dilampirkan antara lain tentang pertanian, keuangan, transmigrasi, koperasi, perdagangan, pengembangan wilayah, pekerjaan umum serta tenaga listrik, dan perencanaan nasional. Buku ini menyimpulkan dua hal sebagai penyebab utama keterpurukan Indonesia, yaitu sikap otoriter Soeharto dan strategi pembangunan yang tidak tepat.

Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 diluncurkan pada 16 Januari 1978 di Gerbang Kampus ITB, Jalan Ganesha, Bandung. Ribuan mahasiswa mengikuti acara tersebut. Hadir juga Rektor ITB saat itu, Prof. Iskandar Alisjahbana. Peluncuran tersebut diliput di berbagai media nasional seperti Kompas dan Tempo. Akibatnya, beberapa media termasuk Kompas sempat dilarang terbit beberapa waktu oleh pemerintah. Buku ini juga dibacakan di berbagai stasiun radio di Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan sebagainya. Selain itu, kopian buku ini menyebar di berbagai daerah, disebarkan oleh mahasiswa yang sedang pulang kampung.