Di Swedia dan Kuba, DPR Bukan Jabatan Mewah dan Istimewa

Untuk diketahui, gaji anggota DPR di Swedia sekitar US$6.900 atau sekitar Rp 97 juta per bulan. Tidak begitu jauh dengan gaji rata-rata warganya yang berkisar US$2.800 atau sekitar Rp 40 juta per bulan.

Anggota DPR yang mewakili daerah pemilihan di luar Ibukota Swedia, Stockholm, berhak mengklaim dana tunjangan harian yang kisarannya tak lebih dari US$12 atau sekitar Rp 170 ribu.

Tetapi fasilitas anggota DPR Swedia tidak mewah. Semua anggota DPR Swedia tidak mendapat mobil dinas atau dana tunjangan untuk membeli mobil.

Parlemen hanya punya tiga mobil dinas berjenis Volvo S80.  Ketiga mobil ini hanya diperuntukkan bagi ketua dan tiga wakilnya. Itupun hanya boleh dipakai untuk tugas-tugas parlemen. Tidak boleh untuk urusan pribadi.

Untuk urusan mobilitas, terutama untuk pergi dan pulang dari kantor, anggota DPR diperbolehkan menggunakan transportasi umum secara cuma-cuma. Makanya, kalau pergi atau pulang kantor, anggota DPR Swedia berbaur sebagai masyarakat biasa.

Politisi Swedia pada umumnya juga begitu. Mereka hanya menggunakan transportasi umum. Hanya Perdana Menteri yang mendapat mobil dinas, itu pun untuk alasan keamanan.

Untuk tempat tinggal, anggota Parlemen Swedia hanya diberi fasilitas berupa apartemen ukuran kecil. Itu pun hanya diperuntukkan bagi anggota parlemen yang bertempat tinggal di luar kota Stockhlom.

Bandingkan dengan rumah dinas anggota DPR Indonesia di Kalibata dan Ulujami. Itu pun masih mendapat anggaran pemeliharaan sebesar Rp 3-5 juta per bulan. Meski begitu, masih banyak anggota DPR yang tidak tinggal di rumah dinas.

Di tingkat kota, kondisinya lebih sederhana lagi. Sekitar 94 persen anggota dewan kota atau dewan daerah tak menerima gaji. Hanya yang menjadi anggota Komite Eksekutif, baik karena bekerja penuh waktu atau paruh waktu, yang menerima gaji dari negara.

Bahkan, anggota dewan kota dan dewan daerah ini tidak disediakan kantor. Mereka hanya bekerja dari rumahnya.

Karin Hangvist, seorang anggota dewan kota, hanya menerima lapton dari kantornya. Dia bekerja sebagai dewan kota dari rumahnya di Stockholm. Dia tidak menerima gaji. Pendapatannya hanya berasal dari pekerjaannya mengurus sebuah Taman Kanak-Kanak.

Tapi, apa yang dinikmati DPR Swedia sekarang sudah lebih baik. Dulu, sebelum 1957, anggota DPR Swedia malah tidak digaji sama sekali. Mereka hanya hidup dari iuran anggota partai.

Baru di tahun 1957, Negara memutuskan menggaji anggota DPR. Itu pun dengan gaji yang dianggap pantas. Tidak ada fasilitas khusus dan tunjangan-tunjangan lain.

Begitulah pekerjaan sebagai Wakil Rakyat di Kuba dan Swedia. Meski tidak ditopang gaji dan fasilitas mewah, tapi jangan ragukan kinerja mereka.

Di Kuba, setiap anggota Majelis Nasional yang tidak becus bekerja bisa diganti kapan saja. Dan hak recall itu ada di tangan rakyat sebagai pemilih.

Swedia juga begitu. Meski tidak ditunjang dengan fasilitas mewah, anggota DPR-nya bekerja dengan baik. Hampir tidak terjadi korupsi. Lembaga Transparansi Internasional menempatkan Swedia sebagai salah satu dari sedikit negara dengan tingkat korupsi terendah di dunia.

Terus, kapan DPR Indonesia bisa begini?

Agar DPR Indonesia tidak menjadi tempat orang-orang pemburu kemewahan, perlakuan istimewa, dan gila kehormatan. Agar Wakil Rakyat kita tidak berubah menjadi “kasta elit”.

(end/berdikarionline)