Hari Libur Sabtu-Ahad Serupai Yahudi-Nasrani?

Tetapi, sekalipun ada unsur tasyabuh yang dilarang, Prof Su’ud menegaskan tidak gegabah menghukumi pelakunya—dalam konteks masalah ini—dengan label fasik bahkan kafir.

Anggota Dewan Ulama Senior Arab Saudi, Syekh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, pada 2012 sebelum perubahan resmi ditetapkan tahun ini menolak keras rencana penggantian libur tersebut. Ia mengingatkan bahwa Sabtu dalam tradisi Yahudi bukan sekadar hari libur biasa. Melainkan merupakan hari suci keagamaan. Ini terbukti dari pernyataan Ibnu Taimiyah.

Menurut sosok yang bergelar Syaikh al-Islam itu, Yahudi mengagungkan Sabtu lantaran menurut keyakinan mereka, pada hari inilah Tuhan beristirahat setelah menciptakan langit dan bumi. Sedangkan, berdasarkan kepercayaan Nasrani, Ahad adalah hari pertama ketika Tuhan memulakan penciptaan langit dan bumi.

Dan, umat Islam dimuliakan dengan Jumat. Pada hari tersebut, penciptaan telah sempurna, Adam manusia pertama diciptakan pada Jumat, kiamat pun akan datang pada hari itu, dan Jumat merupakan hari yang istimewa untuk berdoa. Lantaran ada waktu yang manjur untuk berdoa, juga terdapat anjuran shalat Jumat.

Dengan demikian, ujar Syekh Fauzan, mengganti hari libur Jumat-Sabtu atau bahkan Sabtu-Ahad, tidak diperbolehkan lantaran menyerupai tradisi Yahudi dan Nasrani.

Apalagi, tradisi tersebut berkorelasi kuat dengan akidah dan kepercayaan mereka. Rasulullah melarang tasyabuhsemacam ini. “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka,” tulis Syekh Fauzan menukilkan sabda Rasul.

Secara terpisah, Lembaga Fatwa Mesir (Dar al-Ifta’) menegaskan penetapan hari libur nasional termasuk perkara mubah dalam Islam, tak ada ketentuan dan batasan syar’inya untuk menunjuk hari tertentu. Tak ada korelasi pula hari raya agama tertentu dengan libur nasional tersebut.