How Democracies Die; Demokrasi Bisa Mati di Tangan Pemimpin Terpilih

Eramuslim.com – “Apakah demokrasi kita dalam bahaya?”. Pertanyaan itu menjadi pembuka dalam buku yang ditulis oleh dua ilmuwan politik dari Universitas Harvard bernama Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt berjudul “How Democracies Die” terbitan tahun 2018.

Pertanyaan pembuka itu sebenarnya mereka tujukkan dalam konteks Amerika Serikat, terutama setelah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden pada tahun 2016 lalu. Mereka khawatir soal masa depan demokrasi di negeri Paman Sam.

Bukan tanpa alasan, pasalnya selama dua tahun terakhir (sebelum buku tersebut diterbitkan), mereka melihat indikasi matinya demokrasi negeri Paman Sam. Seperti politisi yang memperlakukan saingan mereka sebagai musuh, mengintimidasi pers dan bahkan mengancam akan menolak hasil pemilu.

Dua cara demokrasi mati

Dengan mengesampingkan sementara apa yang terjadi di Amerika Serikat, para penulis mengulas catatan sejarah mengenai matinya demokrasi di sejumlah negara, terutama pada saat dan pasca Perang Dingin.

Banyak dari kita mungkin selama ini berpikir bahwa demokrasi mati “di tangan pria bersenjata”. Sebenarnya, anggapan ini tidak keliru. Pasalnya, selama Perang Dingin, kudeta atau perebutan kekuasaan dengan paksa dan menggunakan kekuatan, menyumbang hampir tiga dari setiap empat kehancuran demokrasi.

“Demokrasi di Argentina, Brasil, Republik Dominika, Ghana, Yunani, Guatemala, Nigeria, Pakistan, Peru, Thailand, Turki, dan Uruguay semuanya mati dengan cara seperti itu,” kutipan buku tersebut.

Pasca Perang Dingin pun, perebutan kekuasaan dengan kekuatan bersenjata juga masih digunakan sebagai cara ampuh untuk membunuh demokrasi, meski intensitasnya tidak sebanyak sebelumnya. Sebut saja kudeta terhadap Presiden Mesir Mohamed Morsi pada tahun 2013 dan Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra pada tahun 2014.