Jejak Diponegoro di Museum Fatahillah (Bag.1)

“Akulah pemimpin Jihad ini! Anda telah berlaku curang! Aku sama sekali tidak takut mati. Semua pertempuran telah aku lalui dan Allah telah melindungiku selama itu. Sekarang, sudah tidak ada lagi yang tersisa padaku selain kematian. Aku pantang menghindarinya. Bila aku mati, kembalikan jasadku ke Jimatan[Imogiri] agar bisa bersama dengan isteri [Raden Ayu Maduretno] saya!”

Ditatap seperti itu membuat De Kock gemetar. Keangkuhannya seketika luluh. Jenderal Belanda tersebut menundukkan wajahnya, tidak mampu menentang wajah Diponegoro yang terlihat begitu marah karena ditipunya. De Kock hanya bisa menjawab pelan.

“Sesungguhnya Paduka, saya sama sekali tidak berniat membunuh Anda…”

Masih dengan nada tinggi, Diponegoro minta agar dia bisa kembali ke pasukannya. Tapi De Kock menolak.
“Jika Paduka kembali, perang akan berkobar lagi…”

“Mengapa Anda takut berperang jika Anda memang lelaki sejati?”

De Kock tak sanggup lagi berlama-lama berdiri berhadapan dengan Diponegoro. Hatinya kecut. Dia lalu bergegas keluar ruangan dan memerintahkan Mayor Michiels dan Du Peron segera menyiapkan pasukannya. Suasana di luar menjadi tambah gaduh. Isak tangis kaum perempuan dan sebagian laskar terdengar. Mereka sedih melihat Pangeran Diponegoro ditipu mentah-mentah dan ditangkap.

Diponegoro kemudian duduk kembali di kursinya. Dia menengadah ke atas. Sungguh, jika dia mau maka dia bisa membunuh De Kock dengan sangat mudah saat itu. Tapi batin dan imannya menolak. Akhirnya Diponegoro merasa inilah waktunya dia harus tunduk pada suratan Illahi, takdir atas dirinya dari Allah subhana wa ta’ala.

“Bismillah. Jika aku harus dibawa, bawalah aku ini sekarang. Aku sudah siap…,” ujarnya dengan tenang.
Akhirnya, diiringi isak tangis dan jeritan tertahan dari para pengikutnya, Diponegoro berjalan memasuki kereta kuda Residen Vlack. Dengan dikawal ratusan pasukan kavaleri Belanda, kereta itu mulai berjalan meninggalkan Wisma Karesidenan menuju utara.

Pangeran Diponegoro memilih tunduk pada takdir. Walau dia sangat marah pada De Kock yang telah menipunya habis-habisan dengan sangat licik dan hina, walau sungguh dia mampu membunuh Letnan Jenderal Belanda dan para cecunguknya dengan satu jentikan jari saja, namun hal itu tidak dilakukannya.

“Agamaku melarang umat-Nya untuk membunuh musuh di dalam perundingan. Agamaku memuliakan niat baik dan menjaganya, tidak mengkhianatinya. Jika orang-orang kafir itu berkhianat, biar saja. Aku sekarang telah ditangkap. Semua ini telah menjadi takdir hidup bagiku. Aku percaya, sangat percaya, jika semua ini suratan dari Allah Rabbul Izzati buatku. Aku sekarang akan mengikut kemana takdir ini akan membawaku…,” demikian batin Diponegoro.

Tubuhnya terguncang-guncang di dalam kereta yang dilarikan dengan cepat, demikian pula dengan tubuh Kapten Roeps dan Mayor De Stuers yang juga duduk mendampinginya. De Kock yang telah mempelajari tradisi dan budaya Jawa memerintahkan agar anak buahnya tidak mengikat tangan dan kaki Diponegoro. De Kock sangat yakin, seorang ksatria Jawa, seperti Pangeran Diponegoro tidak akan melarikan diri. Cukuplah dengan menempatkan dua perwira Belanda bersamanya di dalam kereta yang dikunci rapat dan dikawal ketat.

Walau hanya bisa melihat melalui celah jendela kereta yang kecil dan tertutup kain, Diponegoro tahu jika ratusan pasukan kavaleri ringan (hussar) bersenjata lengkap mengawal mereka. Derap kaki-kaki kuda terdengar begitu meriah, seolah meluapkan kegembiraan telah berhasil menangkap seorang pimpinan pemberontak yang teramat sulit ditundukan.

Walau telah menerima takdirnya tapi Diponegoro seorang manusia biasa. Berkali-kali bibirnya pelan bertanya pada dirinya sendiri, “Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana bisa?”

Yang tidak diketahui Diponegoro dan seluruh pasukan Belanda yang mengawalnya, diam-diam sepasukan kecil berkuda mengikuti mereka dengan sangat hati-hati agar tidak diketahui siapapun. Mereka mengikuti namun tidak melewati jalan utama di mana kereta yang membawa Diponegoro dan lima ratusan pasukan kavaleri Belanda lewat, namun memilih melewati jalan setapak, menerabas pepohonan, dan menaiki perbukitan, sembari tetap mengawasi dari kejauhan. Pemimpin pasukan itu masih sangat muda. Usianya baru 15 tahun, namun sudah sangat mahir dalam mengendalikan kudanya. Pemuda tampan, pemberani, dan tangkas itu bernama Raden Djonet Dipomenggolo. Dia adalah anak sulung dari Pangeran Diponegoro. Ketika Puri Tegalredjo diserbu Belanda tahun 1825, Pangeran Djonet yang masih berusia 10 tahun ikut meloloskan diri, menyelamatkan diri ke gua Selarong, dan ikut dalam beberapa pertempuran.

Beberapa jam lalu, melihat ayah yang sangat dicintainya ditipu dan ditangkap Belanda, Pangeran Djonet tak mampu menahan airmatanya. Hatinya masygul. Marah, sedih, tak percaya, semuanya berbaur jadi satu. Dia sungguh tak percaya, di saat yang seperti itu ayahnya masih bisa tersenyum, walau getir dan setengah mengejek, kepada De Kock dan kafir Belanda yang lainnya.

“Jangan bersedih, Allah telah menuliskan takdirku seperti ini. Biarkan aku menjalani takdir seperti ini. Jangan sekali-kali menangisiku…,” demikian pesan Diponegoro.

Pangeran Djonet yang tadinya berdiri tepat di belakang ayahandanya, sedikit demi sedikit menyingkir dari kerumunan. Dia menyelinap keluar dan bergegas menuju satu tempat yang agak tersembunyi dimana beberapa anak buahnya telah siap menunggu apa pun yang akan diperintahkannya.

“Kita ikuti ayah!” ujarnya singkat.

“Siap, Kanjeng Pangeran!”

Pasukan yang tanpa memegang senjata itu pun segera bergerak mengikuti kuda yang ditunggangi Pangeran Djonet. Mereka termasuk laskar yang sangat setia pada Diponegoro. Bagi mereka, hidup di dunia tak ada artinya lagi tanpa kebersamaan dengan Kanjeng Pangeran Diponegoro.

Ketika kereta yang membawa Diponegoro telah bergerak menjauhi Karesidenan Kedu, dikawal sepasukan kavaleri Belanda bersenjata lengkap, Pangeran Djonet pun bergerak mengikutinya dari kejauhan.

“Mereka ke arah Ungaran!” ujar Mursyid, salah seorang laskar yang dikenal menguasai jalan-jalan tikus dan peta sambil terus mengendalikan kudanya.

“Ya, mungkin ke Benteng Ungaran [Fort De Ontmoeting (Willem II)]…,” jawab yang lain.

Mereka terus bergerak di perbukitan bagaikan pasukan siluman yang terus membayangi pasukan Belanda yang terus berjalan dengan cepat melintasi jalan utama di bawah. Keringat dan debu bercampur di wajah dan baju mereka, tapi sama sekali tidak mereka pedulikan. Para laskar itu cuma ingin membebaskan Pangeran Diponegoro dan mengembalikannya ke tengah rakyat Jawa.

Matahari telah tergelincir jauh ke arah barat, namun kereta yang membawa Diponegoro tidak juga berhenti. Demikian pula dengan pasukan siluman pimpinan Pangeran Djonet yang terus bergerak membayangi.

Akhirnya langit pun gelap, dan udara yang tadinya panas pun berubah menjadi sejuk, bahkan sesekali dingin. Untunglah malam itu langit cukup terang. Bulan menggantung tanpa sedikit pun terhalangi awan sehingga Pangeran Djonet dan pasukannya bisa melihat jalan dan terus memantau kereta ayahnya dari kejauhan.

Tiba di Ungaran ternyata kereta dan pasukan kavaleri Belanda hanya berhenti sebentar, memberi minum kuda dan sebagainya, lalu melanjutkan jalan, terus menuju utara.

“Mereka ke Semarang!” kata Pangeran Djonet yakin.

“Ya, sepertinya langsung ke Semarang…,” jawab yang lain.

Lewat tengah malam akhirnya tibalah pasukan kavaleri Belanda di gerbang Semarang. Sesuai dengan perintah yang diterima dari Batavia dimana Gubernur Van Den Bosch langsung yang mengeluarkannya, mereka tidak memenjarakan Diponegoro di penjara kota namun menitipkannya di rumah Karesidenan Semarang.(BERAMBUNG KE BAG.2)

Kisah Diponegoro ini diambil dari bagian akhir Novel “JIHAD DIPONEGORO 1826” (Rizki Ridyasmara) yang diterbitkan oleh Eramuslim.