KH. Salahuddin Wahid: Keluarga Kami Anti PKI Kecuali Gus Dur

Saat itu belum banyak yang punya telepon apalagi telepon seluler, jadi informasi bergerak lambat. Kami mulai mendengar adanya eksekusi terhadap mereka yang diduga sebagai anggota PKI dan organisasi di bawahnya sekitar seminggu setelah terjadi. Tentu kami tak setuju.

Saat peringatan hari lahir ke-40 NU, ada beberapa anggota Banser Jawa Timur yang menginap di rumah ibu saya. Saya dan adik saya, Umar, mengobrol dan bertanya mengapa kawan-kawan anggota Banser mengeksekusi mereka yang dianggap anggota PKI dan organisasi di bawahnya?
Menurut mereka, suasananya seperti perang: membunuh atau dibunuh.

Pada 2005 saya bertemu seorang anggota Banser yang mengeksekusi banyak orang yang diduga anggota PKI atas perintah anggota TNI tingkat kecamatan. Dia mengatakan, kalau dia menolak, dia akan dituduh sebagai anggota PKI. Pendapat para anggota Banser itu adalah suara hati nurani warga NU terhadap PKI 50 tahun lalu.

Gus Dur meninggalkan Indonesia menuju Kairo pada akhir 1963 dan kembali pada pertengahan 1971. Jadi Gus Dur tidak mengalami atau merasakan suasana permusuhan dengan PKI dan organisasi di bawahnya. Gus Dur juga punya akses terhadap informasi tentang Gerakan 30 September (G30S) yang bertentangan dengan informasi yang beredar di Indonesia.

Amat mungkin Gus Dur pernah berjumpa dan berdialog dengan warga PKI yang tidak bisa kembali ke Indonesia dan tinggal di sejumlah negara Eropa. Wajar kalau perbedaan itu membuat Gus Dur punya pandangan dan sikap berbeda terhadap PKI dan warganya dibandingkan warga dan tokoh NU yang mengalami gesekan dengan warga PKI.

Sebagai orang yang punya keberanian luar biasa, Gus Dur tidak ragu-ragu untuk meminta maaf kepada keluarga korban 1965. Gus Dur juga berani melontarkan gagasan untuk mencabut Tap MPR No XXV/1966.
Gus Dur tidak menghitung untung rugi akibat mengeluarkan pernyataan di atas. Saat itu saya menilai kebanyakan orang menentang gagasan itu. Saya membuat tulisan di koran menanggapi gagasan pencabutan Tap MPR oleh Gus Dur itu.

Menurut saya, tidak semua substansi Tap MPR tersebut dapat dibatalkan. Namun, perlakuan diskriminatif terhadap keluarga korban harus dihentikan. Saya yakin masih jauh lebih banyak rakyat yang menolak PKI diizinkan berdiri lagi.

Pada September 2012, sebuah majalah berita nasional mengeluarkan edisi khusus yang mengungkap sejumlah kisah tentang aksi kekerasan terhadap mereka yang diduga sebagai anggota PKI pada akhir 1965. Warga dan tokoh NU tentu merasa terpojokkan oleh penuturan majalah tersebut, yang kemudian memicu terbitnya buku Benturan NU dan PKI, 1948-1965. Buku itu mengungkap latar belakang dan penyebab warga dan aktivis NU di sejumlah kota terpaksa melakukan eksekusi terhadap anggota PKI dan organisasi di bawahnya karena kondisinya memang mendorong ke arah hal itu.