Kisah Kaum Yahudi Suruh Nabi Musa dan Allah Pergi Perang Berdua

Di sini, dakwah adalah sebuah proses. Para Rasul dibebani kewajiban dengan memulai dan menjalani proses itu menyeru umatnya untuk kembali ke jalan Tuhan. Berhasil atau tidaknya seruan dakwah itu sepenuhnya menjadi hak Allah, sehingga mereka yang menerima seruan akan diberikan perlindungan bersama dalam payung agama-Nya, sementara mereka yang tidak mau menerima diancam dengan sanksi dan adzab yang pedih. Walhasil, perpisahan umumnya dimohon oleh para Rasul agar mereka terhindar dari kehancuran akibat turunnya adzab bagi mereka yang tidak mau menerima dakwah.

Doa ini relevan dipanjatkan bagi siapa saja yang ingin mengadukan kepada Allah kesulitan yang dihadapi disepanjang jalan dakwah akibat keterbatasan daya dan upaya dirinya dalam mencapai keberhasilan dakwah yang diinginkan.

Seperti Musa yang tidak memiliki kemampuan selain dirinya sendiri dan saudaranya, maka mungkin saja ada di antara para penyebar risalah Allah di muka bumi ini yang mengalami situasi kesulitan yang sama dengan apa yang dialami Musa bersama Harun AS dalam mendakwahi Bani Israil. Sebagai bagian akhir dari proses dakwah, jalan berpisah selayaknya dipilih sebagai solusi terakhir ketika persatuan dalam keadaan sama-sama beriman tidak dapat tercapai.

Dengan mengembalikan urusannya kepada Allah, maka jalan perpisahan juga menjadi bentuk ekspresi tawakkal ketika sang pemohon membiarkan Allah menetapkan keputusan-Nya bagi kelanjutan nasib kaumnya yang membangkang tersebut.

Namun demikian, momentum pengajuan “jalan berpisah” ini bukan akhir dari proses dakwah. Kaum Ṣāliḥ dan Shu‘aib yang melanjutkan ketaatan mereka bersama kaum yang beriman setelah kehancuran kelompok kaum mereka yang mendustakan. Begitu juga Musa dan sedikit pengikutnya yang taat melanjutkan sisa kehidupan hingga ajal menjemput mereka.

Dalam kasus doa Nabi Muhammad yang meminta dipisahkan dari kaum Quraish pada akhir periode dakwah di Makkah, beliau bahkan diperintahkan untuk berhijrah dan memulai kesuksesan baru di Madinah. Di sini nampak jelas bahwa jalan berpisah adalah solusi yang selayaknya diminta bagi kemandegan dakwah untuk mengakhiri proses dakwah yang macet lagi sulit setelah semua daya upaya tercurahkan. Jalan berpisah bisa menjadi wahana yang memungkinkan terjadinya konsolidasi kekuatan kebenaran bagi proses dakwah selanjutnya di tempat lain yang lebih baik, sehingga keberhasilan dakwah pada akhirnya dapat dicapai. Wallahu a’lam.[gelora]

[1] Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, x, 167.

[2] Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, x, 167. Khāzin menambahkan di sini bahwa ada yang menafsirkan tanah suci itu adalah seluruh tanah Syam (Syria), Lihat Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,ii, 27.

[3] Lihat riwayat Ibn Wahb, al-Sudā, dan Ikrimah dalam Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, x, 168.

[4] Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, x, 168.

[5] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl, ii, 27.

[6] Lihat Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,ii, 27. Sementara Tabari menyebut mereka dengan istilah Jabābirah minal Kan‘āniyyīn, lihat Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, x, 176.

[7] Lihat Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, x, 176-179 dengan berbagai variasi ejaan nama keduanya dari berbagai riwayat yang disitirnya.

[8] Lihat Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,ii, 28.

[9] Lihat Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, x, 187.

[10] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,ii, 29.

[11] Ṭabari mengibaratkannya dengan kalimat lā aqdiru ‘alā shay’in ghairahu. Lihat Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, x, 187.

[12] Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, x, 188.

[13] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,ii, 29.

[14] Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, x, 190.

[15] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,ii, 29.