Perjalanan Sayyid Quthb ke Amerika: Satu Janji itu Adalah Surga Bagi Mereka yang Telah Berjihad (8-Habis)

“Tidaklah termasuk masyarakat Islami, masyarakat yang mewadahi orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai ‘kaum muslim’, sementara Syariat Islam tidak menjadi undang-undang (qanun) masyarakat tersebut meski mereka menunaikan shalat, puasa, dan haji ke baitullah.

“Kita tidak akan mampu sampai pada konsepsi rabbani dan juga mencapai kehidupan rabbani, kecuali dengan cara menempuh manhaj pemikiran yang rabbani.” (Sayyid Quthb, Ma’alim Fiththariqh)

Sayyid Quthb telah menghabiskan banyak waktu di Amerika. 2,5 tahun adalah waktu yang tidak sedikit baginya untuk mempelajari peradaban Barat. Ternyata Sayyid Quthb menyerah. Ia menyerah bukan berarti kalah, namun ia merasa Barat bukanlah tempat persinggahannya untuk jangka waktu lama. Kendati masa tugasnya di Amerika tidak dibatasi, namun dia memutuskan untuk segera kembali ke negerinya dan dia tiba di Mesir pada tanggal 20 Agustus 1950.

Al Kholidi dalam bukunya Amarieka Minaddaghili menjelaskan bahwa Karena kepergian Sayyid Quthb ke Amerika adalah untuk melepaskan Mesir dari kritikannya, maka Sayyid Quthb beranggapan bahwa situasi di Mesir sudah berubah terutama setelah melemahnya kekuasaan Raja Faruk. “Terlebih lagi di Mesir telah terjadi semacam demokrasi dan adanya berbagai macam aliran serta propaganda yang kontradiksi tanpa seorang pun yang tahu tujuan pokok maupun motor berbagai peristiwa itu,” tulis Al Kholidi.

Masih dalam buku yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonsia berjudul “Sayyid Quthb Mengungkap Amerika”, Al Kholidi menyatakan bahwa Sayyid Quthb tahu benar, jika keberadaannya yang paling penting adalah di sisi keluarga dan sahabatnya. Kewajibannya yang tidak kalah penting adalah memberitahu dan memperingatkan manusia dari tipu daya para penipu, yaitu setelah ia selamat dari kepungan dan cengkeraman Amerika.

Sampai-sampai kerinduannnya akan Mesir membawanya menulis sebuah syair saat masih di San Fransisco yang berjudul “Dua’ul Ghareb”. Puisi ini sendiri sempat dimuat di Majalah Al-Kitab pada bulan Juni 1950.

“Wahai para Penghuni tepian sungai Nil
Pemudamu terhampar disini
Telah lama dia berkelana
Bilakah sang pengembara akan dapat kembali?
Bilakah kedua tatapnya akan jatuh kembali pada kampung halamannya yang bagai mercusuar
……..
Oh Mesir! Hadirkanlah kembali ke tanahmu pengembara sebatang kara ini!
Cintanya tercurah padamu, kembalikanlah pemuda tercinta ini”

Kerinduan Sayyid Quthb kepada Mesir, sebagaimana yang tercermin dalam syairnya diatas, nyaris membuat kita dapat melihat perasaan, rintihan, dan bisikan jiwanya secara nyata. DR. Afif Muhammad, dalam bukunya dari “Dari Teologi ke Ideologi” yang menjadi disertasinya mengenai Sayyid Quthb menyatakan bahwa periode kembalinya Sayyid Quthb ke Mesir pada perkembangannya bisa disebut sebagai periode peralihan dari seorang budayawan ke pemikir agama dalam kehidupan Sayyid Quthb.

Pasca kembali dari Amerika, Sayyid Quthb tergolong intens untuk mendalami pemikrian Hasan Al Banna. Ia terlibat dalam pengkajian Islam yang lebih mendalam. Melihat kesungguhan Sayyid Quthb dalan berjuang, Shalih Usymawi (salah seorang Tokoh terkemuka Ikhwan) mengajaknya bergabung dengan Ikhwanul Muslimin dan Sayyid Quthb memenuhi ajakan itu. Perlu disadari pada paragraf ini bahwa Ikhwan yang dimaksud Sayyid Quthb kala itu adalah Ikhwanul Muslimin yang betul-betul ideologis dengan cita-cita menegakkan Islam secara komperhensif di Bumi Mesir, bukan penampakan Ikhwan kini yang cenderung moderat dan terjebak pada dinamika pencarian kekuasaan.

Sayyid Quthb sendiri menganggap peristiwa bergabungnya ia ke Ikhwan sebagai kelahirannya untuk yang kedua kalinya. “Saya lahir tahun 1951,” begitu yang dikatakannya, sekaligus mendelegasikan bahwa waktu 45 tahun selama ia hidup sebagai hal yang nothing. Sejak saat itu, Sayyid Quthb secara ikhlas mengabdikannya untuk Islam dan perjuangan Islam. Sayyid Quthb larut dalam berbagai tulisan yang menyuarakan secara lantang untuk ikut mempersiapkan Revolusi Mesir. Secara giat turun ke lapangan dakwah dalam rangka menumbangkan sebuah tirani bernama sosialisme Mesir.

Namun yang menarik adalah, bahwa pada gilirannya Sayyid Quthb betul-betul menjadi seorang pemikir muslim yang diluar dugaan manusia. Bahwa ia melihat Islam tidak lagi semata-mata dalam basis akademis, gerakan, tapi juga pemahaman tauhid yang begitu paripurna. Pada titik inilah, jika kita pelajari lebih jauh, kita akan mendapati KeIslaman Sayyid Quthb bagai sebuah bola salju yang semakin lama kian kental. Satu demi satu Sayyid Quthb membangun manhaj Ikhwan yang menyatu dengan pemahaman Islam nan kaffah. Tak pelak nama Quthb kemudian digadang-gadang menjadi ideolog kedua pasca kepergian Hasan Al Banna. Ya ideologi yang menjadikan tauhid sebagai pilar asasi: yakfurbit thoghuti wa yu’min billah atau ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah. Ia memilih menjadi mujahid yang berikrar akan membawa Islam tegak di bumiNya.

Teori-teorinya mengenai al-hakimiyyah, al wala wa al barra, mufashalah dari jahiliyah, dan prinsip berbeda dalam identitas dan manhaj merupakan titik beda yang amat penting telah diletakkan oleh Sayyid Quthb. Dia seakan telah menjadi penanda khusus ketika kita menyebut namanya.

Bahkan Abu Mushab As Suri dalam bukunya “Perjalanan Gerakan Jihad 1930-2002” menyatakan Sayyid Quthb adalah orang yang pertama kali membangkitkan identitas pemikiran Jihadi yang muncul di Mesir disamping beberapa nama Ustadz yang pernah ada. Abu Mushab menulis,

"Sayyid Quthb berusaha mengembangkan gagasan-gagasannya ke dalam ranah praktik dan mencoba membentuk organisasi jihad underground pertama yang mengusung ide-ide tersebut. Anggota organisasi ini berasal dari lapisan pemuda mujahid yang mayoritasnya adalah anggota Ikhwanul Muslimin. Hanya saja eksperimennya yang sempurna membuatnya segera bisa segera digugurkan dan ia akhirnya dihukum mati.”

Buku Ma’alim Fiththariqh sendiri telah menjadi rujukan para ikhwan dalam hal alwala’ wal bara’ kepada pemerintah. Mengenai hal ini, Abu Mushab As Suri memiliki pengalaman menarik untuk menguatkan thesis tersebut. Pada tahun 1989, pernah salah seorang instruktur Ikhwanul Muslimin Yordania di Amman bercerita kepadanya. Ketika IM Yordania memutuskan untuk masuk dalam parlemen dan kabinet, yang berarti kekuasaan legislatif dan eksekutif ada di sisi raja Hussein. Hal ini tentu membuat kegoncangan tersendiri pada diri Ikhwan tersebut karena selama ini Ikhwan telah menjadikan buku Sayyid Quthb sebagai rujukan yang memang tidak membuka peluang untuk mengakui sistem buatan manusia sebagai jalan perjuangan. Dengar penuturan instruktur Ikhwan tersebut kepada Abu Mushab.

“Saya bergabung dengan IM, pada awal tahun 1970-an. Saya diminta untuk meyakini bahwa Raja Hussein kafir karena ia memerintah dengan bukan hukum selain hukum yang diturunkan oleh Allah. Buku rujukan utama kami pada waktu itu adalah Ma’alim fiththariqh sebelumnya saya sudah membaca sebagian buku-buku tafsir. Disana saya menemukan pendapat sebagain tabi’in tentang masalah itu yang mengistilahkan kufr duna kufr (perbuatan kufr, tapi tidak mengeluarkan seseorang dari agama atau kufr kecil).

“Dengan dasar itu, saya pikir Raja Hussein tetap muslim, cuma fasik dan zalim, serta tidak kafir. Setelah pendapat saya diketahui Ikhwanul Muslimin, saya diadili oleh pengadilan Ikhwan. Mereka memberi tempo pada saya untuk mengubah pandangan saya akan tetap Islamnya status Raja Hussein. Atau jika saya tidak mau, saya dikeluarkan dari Ikhwan. Pada saat penantian itu, status keanggotaan saya dibekukan.

“Saya pun merenungkan hal itu, dan Allah tunjukkan diriku seperti pandangan mereka. Saya pun menyatakan kekafiran Raja Hussein dan status keanggotaan saya diaktifkan kembali. Selang beberapa tahun, saya menjadi instruktur Ikhwanul Muslimim dan saya ajarkan kepada para pemuda dalil-dalil kekafiran Raja Hussein, baik yang saya nukil dari buku Ma’alim Fiththariqh maupun buku-buku lain.” Subhanallah.

Inilah yang pernah melintas dalam mimpi tidur Sayyid Quthb saat di penjara. Alkisah sebagian rekannya di penjara bercerita bahwa menjelang eksekusi mati, Sayyid Quthb bermimpi bahwa laci meja tempat dia menulis dan menyimpan kertas-kertas yang memuat gagasan-gasannya terbuka. Dalam kondisi tersebut, burung pipit menghampiri laci meja Sayyid dan terbang membawa kertas-kertas tersebut ke segala arah. Sayyid Quthb yang saat itu masih di penjara menakwilkan bahwa mimpinya adalah penanda kelak suatu ketika pemikirannya akan terbang ke seluruh penjuru dunia. Dan perkataan dalam tulisan-tulisan Sayyi Quthb pun juga menjadi kenyataan,

“Tidaklah setiap kata-kata selalu sampai, ke hati orang lain lalu bergerak, mengumpulkan, dan mendorong hati. Kata-kata yang sampai ke hati adalah kata-kata yang meneteskan darah. Sebab kata-kata itu menyentuh hati manusia yang hidup. Setiap kata yang hidup sungguh menyentuh hati manusia. Adapun kata-kata yang lahir di mulut saja, dan dilontarkan oleh lisan, namun tidak sampai ke mata air ilahi yang Mahahidup, sungguh ia telah lahir dalam keadaan mati. Ia sama sekali tidak akan mendorong sejengkal pun kemajuan manusia. Tidak seorang pun akan menganut kata-kata itu karena telah lahir dalam keadaan mati. Sesungguhnya manusia tidak akan mengadopsi mayat.”

Inilah karateristik mujahid Sejati. Yang tidak saja dominan pada sebuah retorik dan gestur namun minim pada perlawanan ketika kemunkaran menari di depannya. Inilah sebuah fase kehidupan yang begitu mengagumkan dan penuh perjuangan dari seorang Sayyid Quthb; “Diusir" dari Mesir, terdampar di Amerika, sempat ditawari pelacur, menjadi imam shalat jum’at di kapal laut, menyadarkan seorang wanita nasrani, mendebat pendeta, dan kesimpulan dari itu semua Sayyid Quthb berhasil membuka mata kita untuk sadar bahwa peradaban barat adalah benih yang sangat rapuh dan mudah layu.

Sayyid Quthb adalah pribadi muslim yang berhasil memadukan konteks akademik, tauhid, dan jihadi dan mengikatnya sebagai sebuah mutiara dunia Islam yang pernah ada. Bayangkan bagaimana kita melihat saat ini banyak para akademisi muslim yang justru larut dalam tipu daya dunia ketika tengah bermukim di Amerika dan dunia Barat umumnya. Mereka yang dulunya lantang menyuarakan Syariat Islam justru berhenti ketika Amerika sudah merangkulnya, seperti apa yang terjadi ada Nurcholish Madjid; dulu dijuluki Natsir muda, pulang menjad muqallid Fazlur. Ya Fazlur Rahman, cendekiawan Pakistan yang menjadi tonggak penting liberalisme di Indonesia.

Itulah mengapa Sayyid Quthb di akhir hidupnya lebih memilih menjadi Mujahid. Mujahid yang telah membasahi tanah Mesir dengan darah Syuhada. Meminjam perkataan DR. Afif Muhammad, karena akidah Islam, bagi Sayyid Quthb, bukan sekedar ilmu yang bersifat akademik, melainkan ilmu yang harus dapat melahirkan gerakan dan perjuangan.“Satu janji itu adalah surga. Inilah yang dijanjikan untuk mereka yang telah berjihad, yang didera duka, dan kegetiran saat berjuang mati-matian di jalan dakwah.” (Sayyid Quthb). (pz)