Sayyed Hossein Nasr, Melawan Sekularisme Tapi Menyebarkan Pluralisme Agama

Adalah Sayyed Hossein Nasr, cendekiawan muslim yang lantang menggaungkan ide Islamisasi Sains. Ia juga menentang habis sekularisme yang terjadi di dunia modern. Nasr merepresentasikan konsep tradisionalisme dalam membendung hegemoni Sains barat modern yang sekular. Konsep tradisionalisme ini mengejawantah dalam pemikiran yang disebut: Scientia Sacra. Meski mengusung ide Islamisasi Sains dan mengubur sekularisme bukan berarti Nasr bebas dari kritik.

Berawal dari keinginan bahwa gagasan tradisionalisme akan mendudukkan kembali pada habitat kesakralan yang sempurna dan absolut. Sejatinya konsep tradisionalisme berakar dari apa yang disebut “Filsafat Perennial”. Tak dipungkiri filsafat ini dipelopori oleh para Master: Rene Guenon, Ananda Coomaraswamy serta Frithjof Schuon.

Bila ditelaah lebih jauh konsep Hikmah Abadi ini merujuk pada gagasan dari Agostino Steuco (1497 – 1548) lewat karyanya De Perenni Philosophia. Dan Steuco sangat dipengaruhi oleh Ficino, Pico della Mirandola serta Nicolas Cusa. Merangsek lebih dalam Philosophia Priscorum atau Prisca Theologia ini mengejawantah dalam gagasan Gemistus Pletho, seorang filsuf Byzantium yang merepresentasikan bahwa Zoroaster adalah guru pengetahuan kuno yang sakral yang menjadi cikal bakal Scientia Sacra. Sedang bila diurai lebih dalam, filsafat ini bermula dari gagasan Plato. Bahkan Ficino menyebut Plato dengan sebutan Divinus Plato. Humanis Reinesance: Pico Della Mirandola menyatakan bahwa sumber dari Scientia Sacra adalah Al Qur’an, filsafat Islam, tradisi Kabbalah dan tradisi Greco Egyptian yang menegaskan hikmah tunggal yang muncul dalam manifestasi berbagai peradaban dan periode sejarah.

Menurut Nasr, dalam aspek gnostik, filsafat serta sophia: kesejatian yang unik bersumber pada agama yang sejati (ad-Din al Haq), yang merupakan ajaran para Nabi semenjak Nabi Adam. Bahkan mengidentikkan Nabi Idris dengan Hermes, sebagai bapak para filsuf. Para filsuf Peripatetik: Al Farabi, Ibn Sina mengakui adanya keterkaitan antara filsafat, kenabian dan wahyu. Sedang Suhrawardi berbicara tentang hikmah yang ada di sisi Tuhan yang identik dengan Filsafat Perennial.

Jadi konsep Scientia Sacra merujuk pada gagasan tradisonalisme yang merupakan kecenderungan pemikiran baru yang bisa terlihat pada dasawarsa abad ke 20. Namun kaum tradisonalis mengklaim bahwa prinsip – prinsip tersebut telah ada sejak dulu dan tak pernah berubah kecuali sebatas manifestasinya saja.

Perlu dipahami istilah tradisionalisme yang digunakan pegiat tradisionalism tidak seperti yang direpresentasikan oleh para sosiolog, antropolog yang mendefinisikan bahwa tradisi adalah adat istiadat, keyakinan, etika , moral yang diwarisi dari generasi ke generasi. Nasr mengartikan tradisi sebagai realitas ketuhanan yang asli yang diwahyukan pada seluruh manusia dan segenap alam lewat perantaraan rasul, nabi, avatara dan logos dengan berbagai prinsip dan aplikasinya dalam berbagai bidang.

Jadi, ilmu tradisional berhubungan erat dengan prinsip dasar metafisika yang sebagian besar berelevansi dengan hal-hal sakral. Walhasil, tradisi ini menyatu dalam ilmu suci (Scientia Sacra). Menurut Nasr, konsep Scientia Sacra merupakan solusi dari sekularisasi ilmu. Credo Ut Intelligam Et Intelligo Ut Credam (Iman tidak terpisah dari ilmu dan intelek tidak terpisah dari iman). Ilmu sebagai jalan utama menuju yang Satu. Intinya, sains sakral tidak hanya dimonopoli oleh umat Islam namun dimiliki juga oleh pemeluk Budha, Hindu, Confucius, Taoisme, Majusi, Yahudi, Kristen serta filsafat Yunani Klasik.

Filsafat perennial yang menjadi cikal bakal dari Scientia Scara juga dikenal sebagai Tradisi Primordial, Sanata dharma, Sophia Perennis, Philosophia Priscorium, Prisca Thelogia, Vena Philosophia. Yang kesemuanya mempunyai nilai kebenaran abadi dan universal serta termanifestasikan dalam ruang dan waktu.

Telah jelas, meski mempunyai kesamaan dalam mengkritisi sains sekular namun Scientia Sacra jelas berbeda dengan Islamisasi Sains. Kekeliruan Nasr adalah ketika Sains Sakral dibangun di atas konsep semua agama sama pada level esoteris dan keunikan adalah milik semua agama. Sedang Islamisasi Sains dibangun atas kebenaran Islam.

Perlu dipahami, Nasr pada saat menjadi mahasiswa di MIT jurusan matematika , sangat terkesan materi-materi yang diajarkan dosennya: Giorgio de Santillana, Akhirnya mengenalkannya pada Filsafat Perennial yang diajarkan Rene Guenon, Frithjof Schuon, Titus Buckhart serta Martin Lings. Nasr makin intens mengkaji metafisika tradisional.

Perlu kita cermati, ambisi Nasr merevitalisasi Scientia Sacra yang mengejawantah dalam Hikmah Abadi atau tradisi sebagai respon atas reduksionisme, relativisme dan desakralisasi ilmu yang melanda dunia modern. Harus diwaspadai pada galibnya Perennial Philosophi mengarah pada pluralisme agama. Para penggagas Filsafat Perennial menyandarkan argumennya pada ajaran Ibn Arabi dan Meister Eickhart.

Namun pengusung tradisionalisme ini salah besar. Ibn Arabi tidak pernah mengungkapkan gagasan berkenaan dengan keragaman agama–agama. Bila ditelisik, Nasr tidak konsisten, Ia berupaya menghabisi relativisme, reduksionisme dan sekularisme namun malah fatal terjebak pada bagian dari proses sekularisasi itu sendiri. allahua’lam. (tri/pz)