Soal Penjabaran Pasal 33 UUD 1945, Ini Penjelasan Bung Hatta

Keempat, Bung Hatta membagi tiga segmen ekonomi Indonesia dan pelaku ekonominya: koperasi, BUMN, dan usaha swasta.

Pembagian kerjanya begini. Koperasi mengerjakan perekonomian rakyat kecil-kecil, yang pengerjaannya tidak membutuhkan modal besar dan teknologi berbiaya tinggi. Terutama bahan kebutuhan rakyat sehari-hari, seperti makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain.

Sementara negara lewat BUMN mengerjakan lapangan usaha yang lebih besar, yang bersinggungan dengan hajat hidup orang banyak, seperti tenaga listrik, transportasi publik, pengadaan air minum, pertambangan, dan lain sebagainya.

Sementara pelaku usaha swasta, baik domestik maupun asing, mengerjakan lapangan ekonomi yang tidak tersentuh oleh koperasi dan BUMN. Itupun dengan catatan: usaha swasta harus dibawah kendali peraturan pemerintah agar tidak menindas kepentingan publik atau hajat hidup orang banyak.

Selain itu, Bung Hatta menegaskan, jika koperasi sudah berkembang maju, baik kapasitas modal, manajemen maupun penggunaan teknologinya, boleh merambah lapangan ekonomi yang dikerjakan oleh BUMN dan usaha swasta.

Pada prinsipnya, bagi Bung Hatta, pasal 33 UUD 1945 membolehkan kehadiran investasi asing, tetapi dengan syarat-syarat: pertama, menjaga kelestarian sumber daya alam, terutama hutan dan tanah; kedua, menyerap tenaga kerja dalam negeri; ketiga, terjadi transfer pengetahuan dan teknologi.

“Tiap batang pohong (yang ditebang) harus diganti sedikit-sedikitnya dengan menanam 3 pohong baru,” ujar Bung Hatta.

Soal konsep alih-teknologi, Bung Hatta mencontohkan pengalaman pembangunan pabrik semen Gresik. Proyek semen Gresik dikerjakan oleh perusahaan dari Amerika Serikat, Mc Donald Concern. Oleh Bung Hatta, perusahaan AS itu diultimatum, agar tidak sekedar membangun pabrik dan menghadirkan mesin-mesin, tetapi juga melatih ahli-ahli Indonesia agar bisa menjalankan sendiri.

“Setelah orang-orang Amerika itu pulang, pabrik itu sama sekali dipimpin oleh ahli-ahli Indonesia dan jalannya sampai sekarang tetap lancar,” tuturnya.

Mungkin, diantara pembaca ada yang berpikir, karena seminar itu dihelat di zaman Orde Baru, maka buah pikiran Bung Hatta sudah terjinakkan. Pikiran semacam itu jelas meleset. Bung Hatta adalah tipe manusia yang pikiran merdekanya tak bisa dihentikan oleh tirani sekeras apapun.

Dan memang benar, di seminar itu, Bung Hatta melancarkan kritik pedas terhadap perekonomian Orde Baru yang melenceng dari amanat pasal 33 UUD 1945. Menurutnya, meski Orde Baru mendaku masih berdasar pada Pancasila dan UUD 1945, tetapi politik perekonomiannya melenceng dari dasar itu.

“Politik liberalisme sering dipakai jadi pedoman,” tegasnya.

Dia juga mengeritik keras monopoli barang kebutuhan publik oleh pelaku usaha tertentu, khususnya Tionghoa, yang punya koneksi dengan penguasa Orde Baru dan kroninya.(end)

Bagaskara Wicaksono

(Sumber)