Suap, Budaya Yahudi yang Masif di Indonesia

Para hakim dari kalangan bangsa Yahudi dulu, jika mereka didatangi seseorang (salah satu pihak yang memiliki perkara atau bersengketa, pen.) dengan membawa uang suap yang disembunyikan di balik lengan bajunya untuk kemudian diperlihatkan (uang suap tersebut) kepada sang hakim, maka orang yang membawa uang suap itu lalu menyampaikan keperluannya (yaitu, menyampaikan tuntutannya). Hakim (yang sudah disuap tersebut, pen.) hanya mendengarkan perkataan orang yang memberi suap dan tidak melihat kepada kasus yang mereka tangani (artinya, tidak memperhatikan lagi pihak lawan yang tidak membawa suap). Mereka suka mendengar perkataan dusta dan memakan uang suap. Beliau rahimahullah juga berkata,Yang demikian itu hanyalah dalam masalah hukum. Mereka disuap untuk mengubah yang salah menjadi benar, atau mengubah yang benar menjadi salah (Tafsir Al-Baghawi, 3/58).

Dalam ayat yang lain Allah Taala berfirman,

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa [4]: 60).

Di dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan sebab turunnya ayat di atas. Al-Qurthubi menyebutkan riwayat dari Asy-Syabi yang mengatakan,

Terjadi sengketa antara seorang Yahudi dan seorang munafik (orang Yahudi yang pura-pura masuk Islam). Maka orang Yahudi mengajak orang munafik untuk mendatangi Nabi shallallahu alahi wa sallam (untuk memutuskan sengketa di antara mereka, pen.) karena dia mengetahui bahwa Nabi shallallahu alahi wa sallam tidak menerima uang suap. Sedangkan orang munafik tadi mengajak si Yahudi untuk mendatangi hakim dari kalangan bangsa Yahudi, karena dia tahu bahwa hakim dari kalangan Yahudi bisa disuap ketika membuat putusan. Ketika mereka berbeda pendapat (siapa yang didatangi), akhirnya mereka bersepakat untuk mendatangi seorang dukun di daerah Juhainah (Tafsir Al-Qurthubi, 5/623).

Allah pun lalu menurunkan ayat di atas untuk mencela keduanya: (1) Orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu adalah orang munafik; dan (2) dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu adalah orang Yahudi.

Al-Qurthubi juga menyebutkan jalur riwayat dari Adh-Dhahak yang menjelaskan bahwa thaghut (dukun) yang didatangi oleh orang Yahudi dan orang munafik tadi adalah Kaab bin Al-Asyraf (Tafsir Al-Qurthubi, 5/623). Di dalam Tafsir Jalalain juga disebutkan bahwa keduanya kemudian mendatangi Kaab bin Al-Asyraf (Tafsir Jalalain, 1/144).

Demikianlah, budaya sogok-menyogok dalam membuat putusan hukum, ternyata budaya warisan turun-temurun dari bangsa Yahudi. Kita mencela dan melaknat orang-orang Yahudi, namun justru kita sendiri (mungkin) mengikuti budaya mereka, tanpa kita sadari. Wallahu alam. (Inilah)