Syaikh Haji Rasul dan Fitnah Kekuasaan (2)

Haji Rasul adalah salah satu mutiara dari Minangkabau. Dia dilahirkan pada 10 Februari 1879. Walau sosoknya kecil, namun nyalinya sangat besar. Dia tidak segan-segan menantang berkelahi kepada siapa pun yang dianggapnya telah berbuat tidak adil. Di kampungnya, tidak ada lembaga pendidikan formal yang didirikan Belanda. Yang ada hanyalah pengajian di surau-surau selepas maghrib, sehingga ketika itu dia lebih pandai menulis dan membaca bahasa Arab ketimbang bahasa Latin.

Ayah Syaikh Haji Rasul bernama Syaikh Muhammad Amrullah merupakan ulama terhormat di kampungnya. Ketika belum menginjak usia 17 tahun, ayahnya ini mengirim Haji Rasul ke Mekkah untuk menuntut ilmu. Di pusat agama Islam tersebut, Haji Rasul berguru kepada Imam Masjidil Haram, Syaikh Ahmad Khatib, yang tak lain juga seorang ulama asal Minangkabau. Selain itu, Haji Rasul juga berguru kepada sejumlah ulama di Mekkah seperti Syaikh Abdullah Jamidin, Syaikh Thaher Jalaludin, Syaikh Usman Serawak, dan sebagainya.

Setelah kurang lebih tujuh tahun menuntut ilmu di Mekkah, Haji Rasul kembali ke tanah air. Namun enam tahun kemudian, Haji Rasul yang telah menikah dan memiliki seorang anak perempuan, kembali lagi ke Mekkah untuk mengantar adik-adiknya menuntut ilmu. Tahun 1906 Haji Rasul pulang lagi ke tanah air.

Di Minangkabau, Haji Rasul yang terinspirasi ulama-ulama pergerakan seperti Muhammad Abduh dan Jamaludin al Afghani mengajarkan faham yang berbeda dengan arus utama Islam di Minangkabau saat itu, yakni Tarekat Naqsabandiyah. Haji Rasul juga dengan tegas menyatakan putih jika sesuatu itu putih dan hitam jika sesuatu itu hitam. Pakaian kebaya yang ketat dan rambut perempuan yang terbuka, tidak mengenakan jilbab dikecamnya dengan pedas dan dikatakan sebagai budaya orang kafir. Haji Rasul menjadi pelopor bagi pembaharuan pemahaman agama Islam di Minangkabau. Dia dengan tabah dan kokoh menghadapi serangan demi serangan, termasuk berbagai fitnah yang dilancarkan orang-orang yang tidak sepaham dengannya.

Safari Dakwah

Haji Rasul memiliki sifat tidak menyukai tinggal terlalu lama di satu daerah. Sebab itu, dia kemudian melakukan perjalanan dakwah ke luar Minangkabau. Bersama adiknya, Haji Yusuf Amrullah, dan muridnya, Syaikh Daud Rasyidi, Haji Rasul berkeliling ke Medan dan Aceh, dan kemudian berkeliling ke Malaysia mengunjungi Pulau Penang, Kedah, Perlis, Perak, Selangor, Pahang, Negeri Sembilan, Johor, dan juga Singapura. Di berbagai tempat itu, sikap Haji Rasul tidak goyah. Dia tetap dengan pendiriannya dan banyak melabrak pemahaman Islam para Sultan dan bangsawan, serta para “Ulama Sultan”.

Di tahun 1917, Haji Rasul menginjakkan kakikya di Jawa. Saat itu gerakan Syarikat Islam sangat populer. Haji Rasul pun bertemu dengan HOS Cokroaminoto. Dalam pertemuan tersebut HOS Cokroaminoto meminta Haji Rasul untuk turut membantu SI, namun Haji Rasul menolak dengan tegas. “Saya hanya mengenal agama, dan segenap hidup saya hanyalah buat agam.” (Hamka: Ayahku: hal.116).

Namun saat bertemu dengan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah yang juga murid dari Syaikh Khatib di Mekkah, Haji Rasul rupanya tertarik juga dengan gerakan tersebut. Dia kemudian mendorong agar gerakan ini juga ada di Minangkabau. Walau demikian, Haji Rasul tidak pernah secara resmi masuk Muhammadiyah, namun hanya sebagai penasihat. Baginya, dakwah di tengah-tengah umat jauh lebih berarti dan berharga ketimbang memasuki suatu organisasi yang bisa saja malah melencengkan niat dakwahnya semula menjadi kurang murni lagi.

Tegar di Masa Jepang

Pada bulan Maret 1942, Belanda tumbang dan Jepang mendarat di Nusantara. Beda dengan belanda, Jepang masuk ke Indonesia lewat jalan Islam, yakni berusaha mengambil hati umat Islam Indonesia.

April 1942, Haji Rasul yang saat itu sudah menetap di Sukabumi pindah ke Jakarta. Jepang mendengar jika Haji Rasul merupakan salah satu ulama tangguh yang dimusuhi Belanda. Sebab itu, ketika orang ini pindah ke Jakarta, Jepang pun berusaha mendekatinya.

Beberapa pemuka Jepang, bahkan ada di antara mereka mengaku telah Muslim, mendatangi Haji Rasul. Sejumlah media propaganda Jepang memuat sosok Haji Rasul dan menyebar-luaskan beritanya ke seluruh kawasan Asia Timur. Nama Haji Rasul pun kian dikenal orang. Oleh Jepang, Haji Rasul diangkat menjadi Penasihat Shumubu dengan pemberian berbagai previlese, mungkin di saat ini setara dengan fasilitas negara berupa rumah, kendaraan, dan juga uang tunjangan bulanan.

Di balik semua ini tentu ada maksud-maksud tersembunyi dari Jepang, yakni agar ulama sekaliber Haji Rasul bisa luluh dan menjadi “Ulama Penguasa” yang mendukung semua langkah yang diambil penguasa Jepang walau pun sebenarnya bertentangan dengan Islam. Dengan kata lain, dengan segala pemberian Jepang, Haji Rasul bisa berkompromi dan menjadi “Stempel Syariah” bagi penguasa Jepang.

Kondisi ini mungkin mirip dengan zaman sekarang di mana banyak ulama atau ustadz yang menjadi stempel atau pendukung penguasa, walau pun jelas-jelas penguasa itu orang yang akrab dengan kemusyrikan (sangat percaya dengan angka tertentu sebagai angka keberuntungan misalnya). Namun sosok Haji Rasul bukanlah seperti itu. Haji Rasul adalah ulama akherat yang tegas dan berani menegakkan Islam apa pun konsekuensinya.

Salah satu peristiwa yang dikenang Prof. HAMKA, anak dari Haji Rasul, tentang sifat keras ayahnya adalah peristiwa Seikerei atau ritual penghormatan membungkuk kepada Kaisar Jepang di mana mirip dengan orang Islam saat sedang rukuk. (/rd)