Syi’ah Menurut Kacamata Sejumlah Tokoh

Demikianlah tujuh pokok perbedaan antara Islam dan Syi’ah. Berkenaan dengan terpilihnya Abu Bakar ra sebagai Khalifah pertama, dapat dilihat melalui penuturan gamblang Prof. Dr. H.M. Rasyidi melalui bukunya berjudul “Apa Itu Syi’ah?” yang terbit tahun 1984.

Ketika Rasulullah saw. wafat pada 8 Juni 632 M, saat itu Negara Madinah baru berusia 10 tahun. Ada dua jabatan yang melekat pada Muhammad SAW, yaitu sebagai Rasulullah dan sebagai kepala negara. Sebagai Nabi dan Rasul, tentu tidak ada lagi Nabi dan Rasul sesudah wafatnya Muhammad. Namun sebagai kepala negara, harus ada pengganti.

Menurut penuturan Prof. Dr. H.M. Rasyidi: “Dalam suasana yang kalut, Umar ibn Khattab mengulurkan tangannya kepada Abu Bakar agar ia berdiri. Dan setelah Abu Bakar berdiri Umar mengatakan bahwa ia dengan rela hati akan patuh kepada Abu Bakar sebagai pengganti nabi atau khalifah. Dengan ucapan Umar itu semua yang hadir serentak menyampaikan persetujuan mereka. Setelah itu Abu Bakar sebagai Khalifah, bersama-sama Umar dan sahabat-sahabat Nabi lainnya, pergi ke rumah Nabi Muhammad saw untuk mengurus pemakaman jenazah beliau saw.”

Peristiwa tersebut bagi kalangan Syi’ah, merupakan penyerobotan Umar dan Abu Bakar terhadap hak Ali yang sesungguhnya menurut angapan mereka paling berhak atas jabatan khalifah. Menurut Prof. Dr. H.M. Rasyidi, kecenderungan sekelompok orang terhadap Ali antara lain didasarkan pada sifat berani Ali yang ditunjukkannya di medan peperangan, keakraban Ali dengan Muhammad SAW, status Ali yang bersaudara sepupu dengan Rasululah. Terlebih lagi, Ali kemudian menjadi menantu Muhammad Rasulullah. Ali menikah dengan Fathimah dan dikaruniai Allah dua orang cucu lelaki: Hasan dan Husein.

Husein kemudian menikah dengan putri Persia (Iran) yang terakhir. Bangsa Persia, sebelum masuk Islam mempunyai kecenderungan menghormati, menjunjung tinggi bahkan mendewa-dewakan raja-raja mereka. Bahkan setelah masuk Islam pun kecenderungan itu masih berlanjut, mereka memandang Nabi seperti mereka memandang Kisra (Raja persia), dan memandang keluarga Nabi sebagaimana mereka memandang Dinasti Persia, dan mereka menganggap bahwa jika Nabi wafat, maka penggantinya haruslah dari pihak keluarga nabi.

Latar belakang budaya Persia (Iran) seperti itulah yang menyebakan paham sesat Syi’ah berkembang di Iran, bahkan berhasil menumpas Islam (Sunni) sejak agama Syi’ah Imamiyah (khususnya Itsna ‘Asyriyah) menjadi agama resmi negara. Menurut Rasyidi: “…ketika Isma’il Shafawi jadi penguasa di Iran, ia menjadikan aliran Itsna ‘Asyriyah sebagai agama resmi negara, dan menghapuskan aliran Ahlus Sunnah. Ia meninggal pada tanggal 24 Mei 1524. Dinasti Shafawi dihapuskan oleh Nadirsyah pada tanggal 26 Februari 1737, tetapi agama Syi’ah Itsna ‘Asyriyah tetap menjadi agama negara.”