Tahukah Anda: Salafi dan Wahabi

Perpecahan dan Munculnya Salafi “Sururiyah”

Gerakan salafi tampaknya belum bisa melepaskan diri dari konflik dan ketegangan politik di Arab Saudi. Ketegangan ini telah berimbas pada terbelahnya gerakan salafi internasional pada dua kubu penting.

Pertama, mereka yang berkiblat pada ulama resmi pemerintah. Dalam barisan ini tidak saja ulama-ulama resmi Arab Saudi, melainkan pula jaringan Markaz Imam Albani Jordan dan jaringan Pondok Syeh Muqbil Yaman. Dua jaringan yang mempunyai operasi yang bersifat internasional.

Kedua, mereka yang berkiblat pada ulama yang melakukan oposisi atau bersikap kritis terhadap kerajaan. Salah satu tokoh pentingnya adalah Muhammad Surur bin Zainal Abidin. Dia merasa kecewa dengan sikap pemerintah Arab Saudi yang didukung ulama Wahabi atas koalisi Amerika Serikat dengan Arab Saudi dalam kasus Perang Teluk Pertama dan kedua. Muhammad urur mengecam keras sikap ulama Arab Saudi yang menjustifikasi keterlibatan Amerika dengan mengatakan bahwa mereka adalah budaknya Amerika. Sikap keras ini lantas mendatangkan penentangan yang sengit dari seluruh ulama wahabi resmi. Mereka ramai-ramai mengecam Muhammad Surur sebagai tokoh yang telah keluar dari manhaj salafi karena berani mengkritik ulama dan pemerintah. Akhirnya, Muhammad Surur harus terusir dari Arab Saudi dan kini menetap di Birmingham Inggris. Muhammad Surur kemudian mengembangkan Yayasan Al-Muntada dari Inggris.

Muhammad Surur tidak sendirian. Dia kemudian bersua gagasan dengan Abdurrahman Abdul Khaliq, orang Saudi yang dituduh menikam ulama wahabi atau salafi Saudi, karena mendukung Ikhwanul Muslimin. Abdurrahman Abdul Khaliq kini mengoperasikan Yayasan Ihya’ut Turats dari Kuwait. Pertemuan ini melahirkan poros Birmingham-Kuwait dan melahirkan suatu group baru dalam gerakan salafi internasional. Group ini dikenal dengan sebutan “sururiyah” dan kini menjadi bulan-bulanan kecaman dari group salafi/wahabi resmi.

Tokoh lain dalam barisan Sururiyah ini adalah Salman bin Fahd Al-Audah. Dia adalah ulama wahabi atau salafi Saudi yang dimasukkan kepenjara selama lima tahun (1994 sampai 1999) karena dituduh menentang pemerintah yang sah dengan melakukan protes terhadap tindakan korupsi dan tindakan menyalahi kesusilaan yang dilakukan oleh pemerintah Raja Fahd bin Abdul Aziz dan Putra Mahkota Abdullah bin Abdulaziz al-Saud. Setelah terjadi 11 September 2001, Salman bin Fahd Al-Audah dituduh sebagai penasehat Osama bin Laden oleh pihak Saudi Arabia dan pihak Amerika.

Di samping itu terdapat ulama Aidh Al Qarni. Seorang ulama wahabi/salafi Saudi yang menentang Yahudi dan Amerika yang dianggapnya sebagai negara yang melakukan teror. Kecaman tersebut dibaca sebagai penentangan terhadap pemerintah dan ulama wahabi resmi yang saat itu menjustifikasi koalisi Amerika-Saudi. Dengan sikap yang anti Amerika dan Yahudi inilah akhirnya pihak ulama wahabi atau salafi Saudi menganggap Aidh Al Qarni sebagai orang yang melecehkan ulama.

Safar bin Abdul al-Rahman al-Hawali adalah ulama wahabi yang menentang kebijaksanaan dobel standar George W. Bush dan menentang kebijaksanaan politik pemerintah Kerajaan Raja Fahd bin Abdul Aziz dan Putra Mahkota Abdullah bin Abdulaziz al-Saud yang bergandengan serta paralel dengan kebijaksanaan politik Amerika, sehingga Safar bin Abdul al-Rahman al-Hawali dianggap melecehkan ulama wahabi atau salafi Saudi.

Muhammad bin Abdillah Al Masari ulama wahabi atau salafi Saudi yang merupakan pelopor Hizbut Tahrir di Saudi Arabia, yang sekarang menetap di Inggris karena diusir dari Saudi. Ulama-ulama wahabi atau salafi Saudi menganggap Muhammad bin Abdillah Al Masari menentang dan melecehkan ulama ahlus sunnah dan dianggap sebagai khawarij, karena Muhammad bin Abdillah Al Masari mengklaim bahwa pemerintah Kerajaan Saudi Arabia tidak mengadili berdasarkan lembaga hukum Islam.

Konteks politik tersebut menjadi semakin rumit karena pertikaian antar ulama salaf tersebut berlangsung dalam wacana ideologis. Mereka yang setia dengan ulama wahabi resmi menganggap Muhammad Surur telah keluar dari Salafi karena berani mengkritik pemerintah dan ulama, sesuatu yang terlarang dalam doktrin salafi puritan. Kritikan ini terus digemakan oleh salafi puritan dengan memberi label Muhammad Surur sebagai ahli bidah dan kelompoknya diberi label “sururiyun”. Kritikan makin menguat tatkala Muhammad Surur ternyata menjalin hubungan dengan Abdurrahman Abdul Khaliq yang mentoleransi pemikiran Ikhwanul Muslimin.

Menghadapi tekanan Salafi puritan, Muhammad Surur dan Abdurahman Abdul Khaliq tampaknya kurang reaktif untuk membalasnya. Mereka justru semakin intensif mengembangkan gagasan salafiyah versi mereka (untuk gampangnya sebut saja “sururiyah). Gerakan ini tetap berbeda dengan gerakan salafi jihadi maupun salafi puritan. Secara umum salafi sururiyah lebih sensitif dalam persoalan politik kendati tensi jihad tidak sekuat salafi jihadi. Dalam menanggapi problem sosial, salafi sururiyah lebih toleran dan responsif dibandingkan salafi puritan. Dengan demikian, posisi salafi sururiyah adalah antara salafi puritan dan salafi jihadi. Repotnya, Muhammad Surur dan Abdurrahman Abdul Khaliq tidak pernah menggunakan label tambahan untuk gerakan dakwahnya. Mereka tetap menggunakan nama jenerik “Salafi” dalam mengembangkan ajaran-ajarannya. Sehingga, sering kali merepotkan sebagian kalangan untuk memilahkannya.[]

Sumber: Theglobal-review.com

https://m.eramuslim.com/resensi-buku/167492.htm