Ternyata Hijab Bukan Berasal dari Arab

Institusionalisasi jilbab dan pemisahan perempuan, semakin mengkristal ketika dunia Islam bersentuhan dengan peradaban Hellenisme dan Persia di kedua kota penting tersebut.

Ketika perang antara Romawi-Byzantium dan Persia berlangsung, rute perdagangan antarpulau mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah peperangan. Di beberapa pesisir jazirah Arab tiba-tiba menjadi kota penting sebagai wilayah transit perdagangan. Wilayah ini juga menjadi alternatif pengungsian dari daerah yang bertikai.

 

Globalisasi peradaban secara besar-besaran terjadi di masa ini. Kultur Hellenisme-Byizantium dan Mesopotamia-Sasana ikut menyentuh wilayah Arab yang tadinya merupakan geokultural tersendiri.

Pada periode ini, perempuan terhormat harus menggunakan jilbab di ruang publik. Jilbab juga menjadi alternatif pengungsian dari daerah yang tadinya merupakan pakaian pilihan (occasional costum), mendapatkan kepastian hukum (instutionalize), pakaian wajib bagi perempuan Islam.

Pakaian penutup kepala bagi perempuan di Indonesia, semula lebih umum dikenal dengan kerudung. Baru pada permulaan tahun 1980-an menjadi lebih populer dengan istilah jilbab. Jilbab bukan lagi fenomena kelompok sosial tertentu, tetapi sudah menjadi fenomena seluruh lapisan masyarakat.

Maraknya penggunaan jilbab dalam masyarakat sekarang, dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar, tidak perlu dikonotasikan dengan sesuatu yang bersifat ideologis. Karena jilbab sebagai pakaian penutup aurat telah menjadi bagian tak terpisahkan dengan ajaran Islam yang dianut sebagian besar masyarakat bangsa Indonesia. (okz)