Tradisi Khas Ramadhan dan Idul Fitri di Era Ottoman

Pengamat sejarah Ottoman Dima al-Sharif, menjelaskan lampu mahya adalah pajangan cahaya yang terbuat dari ratusan lampu minyak yang dihubungkan dengan tali, digantung di antara menara masjid, kemudian menerangi langit malam dengan menampilkan perkataan atau gambar yang Islami.

Seni ini digunakan untuk mendorong masyarakat Ottoman untuk melakukan perbuatan baik di bulan Ramadhan. Diketahui penggunaan mahya tercatat pada akhir abad ke-16 di masa Sultan Murad III (m. 1574-1595).

Awalnya masjid-masjid Selatin (para Sultan) yang pertama kali memasang mahya karena mereka memiliki setidaknya dua menara. Frasa yang umum digunakan untuk mahya adalah “Bismillah”, “Selamat Datang Ramadhan” dan “Laylatul Qadar”. Sedangkan motif gambar umumnya adalah masjid, bintang, mawar, burung dan bulan sabit (www.dimasharif.com, 2013).

Tradisi Ramadhan Para Sultan
Tradisi khas Ramadhan juga berlangsung di Istana Ottoman dengan adanya ceramah Hüzuru Humayun yang berarti di hadapan Sultan. Selama Ramadhan, Sultan akan mengundang para ulama ke istana untuk mengadakan ceramah ilmiah tentang penafsiran ayat-ayat Alquran. Ceramah ini adalah tradisi ilmiah para Sultan yang dilangsungkan sejak awal berdirinya dinasti Ottoman.

Para ulama yang menafsirkan ayat disebut “muqarrir” dan ahli fiqih disebut “mukhatab”, keduanya dengan bebas memberikan pelajaran agama kepada sultan dengan metode tanya jawab dalam bentuk debat ilmiah yang kaya dan dinamis. Sultan biasanya menentukan dimana tempat ceramah hüzuru dan juga topik bahasan ditentukan atas persetujuan Sultan (Daily Sabah, 2014).

Kemudian terdapat juga upacara Hirkayi Saadet dimana jubah Nabi Muhammad SAW akan diperlihatkan pada hari ke-15 Ramadhan. Tradisi ini dimulai setelah relik suci tersebut dibawa ke Istanbul pasca Mesir ditaklukkan oleh Kekaisaran Ottoman. Tiga hari sebelum upacara, Ruang Revan, tempat yang akan digunakan untuk menampilkan relik tersebut disapu, dibersihkan dan dicuci dengan air mawar.

Istana kemudian mengirim udangan kepada para pejabat tinggi seperti Wazir Agung, Syaikhul Islam (mufti agung), Shehzade (pangeran), Kadi (hakim) dan pejabat pemerintahan lainnya. Upacara akan dimulai dengan pembacaan Alquran dan kemudian Sultan akan membuka peti emas berisikan jubah suci dengan kunci emas.

Sultan akan menggosok wajahnya di atas Destimali Şerif, koleksi kain serbet kecil yang diletakkan di samping jubah suci. Setelah itu pengunjung lain akan masuk membaca shalawat, memberi penghormatan kepada nabi dan mencium jubah tersebut (The Pen, 2014).

Setelah upacara jubah suci selesai dilaksanakan, Sultan akan menggelar buka puasa bersama mengundang para punggawa istananya. Para tamu undangan akan duduk di sekitar nampan tembaga berisikan hidangan makan dan berbuka puasa.

Sultan kemudian akan memberikan hadiah kepada tamunya dalam kantong sutra merah yang disebut Diş Kirası (penyewaan gigi). Hadiah ini adalah bentuk terima kasih tuan rumah kepada tamunya karena menerima undangannya, karena dalam Islam memberikan makanan berbuka kepada orang yang berpuasa pahalanya sangat besar.