Zionis-Israel Melatih Polisi Agar Brutal Terhadap Demonstran

Pada 2016, Amnesty International mengkritik penyelewengan hukum, diskriminasi, dan kekerasan oleh Departemen Kepolisian Baltimore, ang ternyata mendapatkan pelatihan terkait kontrol massa, kekerasan, dan teknik pengawasan dari Israel. Amnesty mencatat, kepolisian Baltimore bersama ratusan aparat lainnya dari berbagai wilayah seperti Florida, Pennsylvania, California, New York, Georgia, sampai DC Capitol, pernah dikirim untuk belajar ke Israel, sementara ribuan personil lainnya mendapatkan pelatihan dari perwakilan Israel di tanah Amerika.

Pada 2018, organisasi kemanusiaan Researching the American-Israeli Alliance (RAIA) dan Jewish Voice for Peace (PDF) merilis laporan tentang program pertukaran AS dengan militer, polisi, dan badan intelijen Zionis-Israel. Menurut laporan bertajuk “Deadly Exchange: The Dangerous Consequences of American Law Enforcement Trainings in Israel” tersebut, sejak peristiwa 11 September 2001, aparat kepolisian federal dan intelijen AS mulai dikirim ke Israel untuk mendapatkan pelatihan terkait penanganan terorisme.

Program-program itu juga disponsori oleh lembaga-lembaga non-pemerintah seperti lembaga neo-konservatif Jewish Institute on National Security of America (JINSA), Jewish Federations, hingga Anti-Defamation League. Kerjasama keamanan dan militer dengan Israel ini, menurut amatan RAIA, mendorong praktik-praktik penegakan hukum AS dalam tiga hal, yakni perluasan aktivitas monitoring di area publik dan daring, pembenaran atas racial profiling kepada orang berkulit hitam dan cokelat sebagai calon pelaku kejahatan (terutama orang Arab dan Muslim), serta penggunaan kekerasan eksesif terhadap peserta aksi massa.

AFP PHOTO / ABBAS MOMANI

Setelah kasus kematian pria kulit hitam George Floyd pada akhir Mei silam, kekerasan polisi dalam menangani warga sipil dan relasinya dengan pelatihan dari tentara Israel kembali menjadi sorotan media. Dilansir dari Morning Star, sedikitnya 100 polisi dari negara bagian Minnesota pernah belajar teknik-teknik kekerasan dari militer Israel dalam konferensi yang diselenggarakan pada 2012 oleh Konsulat Israel di Chicago. Menyikapi tragedi Floyd dan pelatihan kepolisian tersebut, akvitis Palestina Netta Golan menyampaikan kepada Morning Star bahwa metode memiting leher dengan lutut yang diterapkan kepada Floyd mengingatkannya pada cara tentara Israel menangani para demonstran Palestina di Tepi Barat pada 2006, yakni dengan menekan dada atau leher sambil memelintir atau meretakkan jemari mereka.

Dosen sejarah di Whitman College, Elyse Semerdjian, dalam esainya di Jacobin turut mengkritik bagaimana praktik-praktik brutal yang lahir dari pendudukan Israel di Palestina, diadopsi oleh penegak hukum AS untuk diterapkan kepada kelompok minoritasnya terutama warga kulit hitam.

Seperti prajurit Israel memandang orang Arab-Palestina berkulit cokelat sebagai teroris, kultur kepolisian AS pun melihat orang kulit hitam sebagai ancaman. Perlakuan keras, rasis, dan intimidatif sama-sama diterapkan kepada orang Arab di Timur Tengah dan orang kulit hitam di AS terlepas mereka bersenjata atau tidak, penjahat atau bukan. Semerdjian mencontohkan kasus kematian perempuan AS bernama Breonna Taylor yang ditembak sebanyak delapan kali oleh polisi dalam operasi penggeledahan mendadak di rumahnya Maret lalu. Menurutnya, polisi telah berperan sebagai hakim, juri, sekaligus eksekutor untuk hidup dan mati perempuan kulit hitam itu.

Mereka tidak berbeda dari operator drone nirawak di Timur Tengah yang “menundukkan” para pemuda-pemuda Arab. Walaupun kekerasan yang terjadi di AS tidak sama persis dengan yang terjadi di Timur Tengah, Semerdjian melihat keduanya berkaitan dengan teknologi kolonisasi dan praktik kepolisian brutal. Maka dari itu, ia menyerukan upaya menghapus kekerasan rasial oleh polisi agar didukung dengan perubahan kebijakan luar negeri AS, caranya seperti dengan mengakhiri dukungan militer kepada Israel, termasuk menghentikan program kerjasama pelatihan militer.