Apakah Boleh Memelihara Anjing?

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Pak Ustad yang baik,

Benarkah seorang muslimharam memelihara anjing? Saya ingin sekalimemiliki seekoranjing untuk penjaga rumah (untuk disimpan di halaman rumah saja, tidak masuk ke dalam). Bagaimana hukumnya orang butayang memeliharaanjing sebagaipenuntun? Apakah diperbolehkan?

Apakah anggapan bahwaanjing itu haram dipelihara itubenar, mengingat Allah SWT telah menganugrahkan berbagai kepintaran dan kecerdikan pada anjing yang sangat bermanfaat bagi manusia?

Terimakasih atas Pak Ustad

Wassalam

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Umumnya para ulama mengatakan bahwa memelihara anjing di dalam rumah haram hukumnya, kecuali bila ada manfaatnya untuk menjaga rumah. Dan untuk itu, anjing tidak dipelihara di dalam rumah melainkan di luar rumah.

Larangan Memelihara Anjing di dalam Rumah

Ada sebuah dalil yang sering dijadikan dasar oleh para ulama untuk tidak memelihara anjing di dalam rumah.

من حديث عائشة؛ أنها قالت, " واعد رسول الله صلى الله عليه وسلم جبريل عليه السلام، في ساعة يأتيه فيها. فجاءت تلك الساعة ولم يأته. وفي يده عصا فألقاها من يده. وقال (ما يخلف الله وعده، ولا رسله) ثم التفت فإذا جرو كلب تحت سريره. فقال (يا عائشة! متى دخل هذا الكلب ههنا؟) فقالت: والله! ما دريت. فأمر به فأخرج. فجاء جبريل. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم (واعدتني فجلست لك فلم تأت). فقال: منعني الكلب الذي كان في بيتك. إنا لا ندخل بيتا فيه كلب ولا صورة"

Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW menunggu Jibril as pda saat yang telah ditentukan. Namun Jibril tidak datang pada saatnya, sehingga nabi melempar tongkat dari tangannya dan berkata, "Allah tidak mengingkari janjinya, demikian juga dengan rasulnya." Kemudian beliau SAW menoleh dan mendapati seekor anjing di kolong tempat tidurnya. "Wahai Aisyah, sejak kapan anjingi itu masuk ke sini?" Aisyah menjawab, "Aku tidak tahu." Maka beliau SAW memerintahkan agar anjing itu dikeluarkan. Maka datanglah jibril dan Rasulullah SAW bertanya, "Engkau telah janji dan aku telah duduk menunggu, tapi Engkau tidak datang, mengapa?" Jibril menjawab, "Anjing di dalam rumahmu itu telah mencegahku. Sesungguhnya kami tidak masuk ke dalam rumah yang ada anjing dan gambar." (HR Muslim)

Hadits ini dan hadits lainnya yang sejenis telah dijadikan dasar oleh para ulama untuk mengharamkan umat Islam memelihara anjing di dalam rumah.

Memiliki Anjing di dalam Al-Quran

NAmun meski demikian, di dalam Al-Quran Al-Kariem, di dalam salah satu ayatnya justru memberi isyarat tentang bolehnya seorang muslim memelihara anjing. Namun fungsinya jelas, yaitu sebagai anjing pemburu yang bertugas untuk berburu hewan buruan. Dan memang tidak dipelihara di dalam rumah, karena memang haram hukumnya.

Simaklah ayat berikut ini:

Mereka menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan oleh binatang buas (anjing)yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.(QS. Al-Maidah: 4)

Al-Mukallab adalah hewan buas apa saja, termasuk di dalamnya anjing, burung elang dan lainnya. Semuanya harus sudah terlatih, menurut kepada perintah tuannya, dan ketika melepasnya diucapkan basmalah.

Di ayat lain, juga disinggung tentang para hamba Allah yang menghuni gua (ashhabul kahfi), di mana mereka memiliki seekor anjing yang mengikuti selama pelarian dan persembunyian.

Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan raqim (anjing)itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? (QS. Al-Kahfi: 9)

Meski ada beberapa perbedaan pendapat tentang makna raqim di dalam ayat ini, namun tidak sedikit yang berpendapat bahwa raqim adalah nama anjing milik salah seorang dari mereka.

Ayat ini menjunjukkan -setidaknya- umat Islam di masa lalu, sebelum masa kenabian Muhammad SAW, dibolehkan memelihara anjing.

Kenajisan Anjing

Selain keharaman memelihara anjing di dalam rumah, seorang muslim yang memelihara anjing untuk penjaga atau pemburu juga harus memperhatikan sisi lainnya, yaitu faktor kenajisan air liur anjing dan tubuhnya juga.

Ada beberapa hadits nabawi yang secara tegas menyebutkan bahwa air liur anjing hukumnya najis. Di antaranya hadits berikut ini:

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian, maka cucilah 7 kali. (HR Bukhari 172, Muslim 279, 90).

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إذا شرب الكلب في إناء أحدكم فليغسله سبعا. متفق عليه

ولأحمد ومسلم: طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات أولاهن بالتراب

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali." Dan menurut riwayat Ahmad dan Muslim disebutkan salahsatunya dengan tanah." (HR Muslim 279, 91, Ahmad 2/427)

Meski demikian, kedua hadits di atas masih dalam batas najis air liurnya saja. Tetapi apakah badannya juga najis, ternyata para ulama masih berbeda pendapat dalam membreak-down pengertiannya. Sebagian ulama menghukumi anjing sebagai hewan yang najis berat (mughallazhoh), bukan hanya air liurnya saja, tetapi juga seluruh tubuhnya. Namun ada sebagian ulama yang tidak menghukumi najis anjing pada badannya, kecuali hanya air liurnya saja sebagai najis berat.

Lebih dalam tentang bagaimana perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kenajisan anjing ini, kita bedah satu persatu sesuai apa yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih rujukan utama.

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Dalam mazhab ini, yang najis dari anjing hanyalah air liurnya, mulutnya dan kotorannya. Sedangkan tubuh dan bagian lainnya tidak dianggap najis. Kedudukannya sebagaimana hewan yang lainnya, bahkan umumnya anjing bermanfaat banyak buat manusia. Misalnya sebagai hewan penjaga atau pun hewan untuk berburu. Mengapa demikian?

Sebab dalam hadits tentang najisnya anjing, yang ditetapkan sebagai najis hanya bila anjing itu minum di suatu wadah air. Maka hanya bagian mulut dan air liurnya saja (termasuk kotorannya) yang dianggap najis. Lihat kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 64, kitab Al-Badai` jilid 1 halaman 63.

2. Mazhab Al-Malikiyah

Mazhab ini juga mengatakan bahwa badan anjing itu tidak najis kecuali hanya air liurnya saja. Bila air liur anjing jatuh masuk ke dalam wadah air, wajiblah dicuci tujuh kali sebagai bentuk ritual pensuciannya. Silahkan periksa kitab Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 83 dan As-Syarhus-Shaghir jilid 1 halaman 43.

3. Mazhab As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah

Kedua mazhab ini sepakat mengatakan bahwa bukan hanya air liurnya saja yang najis, tetapi seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat, termasuk keringatnya. Bahkan hewan lain yang kawin dengan anjing pun ikut hukum yang sama pula. Dan untuk mensucikannya harus dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.

Logika yang digunakan oleh mazhab ini adalah tidak mungkin kita hanya mengatakan bahwa yang najis dari anjing hanya mulut dan air liurnya saja. Sebab sumber air liur itu dari badannya. Maka badannya itu juga merupakan sumber najis. Termasuk air yang keluar dari tubuh itu juga, baik kencing, kotoran dan juga keringatnya.

Pendapat tentang najisnya seluruh tubuh anjing ini juga dikuatkan dengan hadits lainnya antara lain:

Bahwa Rasululah SAW diundang masuk ke rumah salah seorang kaum dan beliau mendatangi undangan itu. Di kala lainya, kaum yang lain mengundangnya dan beliau tidak mendatanginya. Ketika ditanyakan kepada beliau apa sebabnya beliau tidak mendatangi undangan yang kedua, beliau bersabda,

"Di rumah yang kedua ada anjing sedangkan di rumah yang pertama hanya ada kucing. Dan kucing itu itu tidak najis." (HR Al-Hakim dan Ad-Daruquthuny).

Dari hadits ini bisa dipahami bahwa kucing itu tidak najis, sedangkan anjing itu najis. Lihat kitab Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 78, kitab Kasy-syaaf Al-Qanna` jilid 1 halaman 208 dan kitab Al-Mughni jilid 1 halaman 52.

Demikian kajian sekilas tentang hukum memelihara anjing dan aturan dalam memeliharanya. Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc