Apakah Membagi Ilmu Islam Menjadi Usul dan Furu, Bid'ah?

Assalamu ‘alaikumwr wb

Ustad yang dirahmati oleh Alloh SWT

Ana pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa membagi ilmu-ilmu Islam, seperti yang dijelaskan dalam bab Maqasit syari’ah adalah hal yang bid’ah, lalu kalau benar betapa sulitnya kita menentukan mana yang harus mendapat penekanan dan mana yang tidak perlu penekanan yang kuat, kalau jawabannya salah, maka apa ketentuan yang disepakati oleh ulama kita tentang mana yang furu dan mana yang usul, seperti contoh ibadah mahdoh seperti sholat adalah masuk katagori usul, tetapi untuk contoh, bagaimana persoalan kunut subuh belum selesai sampai saat ini.

Mohon penjelasannya, dan atas perhatiannya saya ucapkan jazakumullohu khoiron katsiron.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Terkadang memang aneh-aneh dan ada-ada saja pendapat yang muncul di tengah dinamika umat. Kita harus memaklumi, semoga tujuannya mulia.

Namun kalau boleh sedikit berkomentar, seharusnya kita tidak boleh terlalu apriori dengan perkembangan ilmu-ilmu keIslaman. Sebab kalau kita mau kembalikan semua ke zaman nabi, tentu semuanya akan menjadi bid’ah. Termasuk pembagian tauhid menjadi tauhid rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa sifat. Tidak ada satu pun hadits nabi yang menyebutkan ketiga macam tauhid itu.

Dan kalau boleh meminjam logika di atas, pembagian tauhid menjadi tiga hal itu juga termasuk bid’ah. Sebab nabi SAW tidak pernah mengajarkannya. Demikian juga para shahabat dan salafusshalih.

Ketiga istilah itu baru kita kenal sejak Muhammad bin Abdul Wahhab menulis kitab Tauhid. Dan beliau hidup di masa khalaf abad ke 18 M (1744 M). Apakah kita akan mengatakannya sebagai bid’ah yang sesat dan membuat siapa saja yang mempelajari tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai penghuni neraka? Rasanya kok tidak ya.

Bahkan kalau kita mau jujur, istilah hadits shahih, hasan dan dhaif pun tidak pernah kita dengar di masa nabi masih hidup. Istilah itu baru kita kenal ratusan tahun kemudian setelah beliau SAW meninggal dunia. Para khalifah yang empat orang itu sama sekali tidak mengenal ilmu hadits dengan semua jenis istilah (musthalah) yang digunakan.

Lantas, apakah kita akan mengatakan bahwa ilmu hadits dengan segala musthalahatnya adalah bid’ah? Apakah Syiekh Al-Albani itu juga sesat dan masuk neraka karena mengajarkan dan mengembangkan ilmu hadits yang di zaman nabi belum ada?

Rasanya juga tidak kan?

Dahulu sayyidina Umar radhiyallahu ‘anhu pernah meminta kepada khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu untuk menuliskan dan membukukan Al-Quran, sesuatu tidak pernah Rasulullah SAW perintahkan. Mungkin kalau orang yang anda ceritakan itu menjadi Abu Bakar, boleh jadi Umar sudah dikatakan ahli bid’ah.

Tetapi seorang Abu Bakar bukan tipe orang yang pendek akal dan sempit ufuk wawasan. Beliau terbuka dalam banyak hal termasuk untuk membuat terobosan membukukan Al-Quran. Demikian juga dengan para shahabat lainnya, mereka punya dasar fiqih yang kuat.

Buktinya, ketika Abu Bakar kemudian benar-benar menjalankan proyek penulisan dan pembukuan Al-Quran, kita tidak mendengar ada komentar dari satu shahabat yang menuding beliau sebagai ahli bid’ah.

Rupanya para shahabat di zaman itu justru jauh lebih luas wawasannya dan bisa membedakan manaajaran Islamyang asasi dan fundamental yang tidak boleh berubahdan mana yang sifatnya teknis belaka sehingga menjadi sangat fleksibel.

Maka ketika para fuqaha membuat dasar-dasar (ushul) fiqih serta metode istimbath hukum, dengan segala istilah dan metodologinya, kita juga tidak mungkin menuduhnya sebagai bid’ah sesat.

Dan ketika kita membagi ajaran Islam menjadi ushul dan furu’, juga tidak bisa disalahkan. Karena kenyataannya memang ada masalah yang fundamental dalam agama, yaitu wilayah aqidah mendasar. Di mana bila seseorang punya pandangan ushul yang keliru, bisa dikategorikan sebagai orang sesat.

Sedangkan dalam masalah furu’, perbedaan pendapat sangat dimungkinkan terjadi, lantaran tidak ada dalil yang sharih (eksplisit) dan disepakat oleh semua ulama. Wilayah itu menjadi wilayah ijtihad dan kebenaran menjadi tidak mutlak. Kita menyebut wilayah ini adalah wilayah furu’, di mana kesalahan dalam berijtihad di dalamnya tidak akan membawa pelakunya ke dalam jurang kesesatan atau masuk neraka.

Alangkah tidak adilnya Allah SWT kalau Dia memasukkan hamba-Nya ke neraka lewat jebakan-jebakan kecil yang tidak jelas dalilnya. Dan alangkah naifnya seseorang ketika mengklaim bahwa hanya hasil ijtihad dirinya saja yang paling sesuai dengan kemauan Allah SWT, sementara hasil ijtihad orang lain selalu dianggap salah, batil dan tidak sesuai dengan kemauan Allah.

Wallahu ‘alam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc