Diametralisasi Idelogi Terhadap Gerak Partai Politik Islam

(Narasi Kritik-Analitik Partai Politik Islam dalam Membangkitkan Umat)

Sejak abad XIII Hijriah atau XIX Masehi, telah berdiri berbagai gerakan yang bertujuan untuk membangkitkan umat Islam. Upaya-upaya tersebut sejauh ini belum meraih keberhasilan, sekalipun meninggalkan pengaruh yang cukup berarti bagi generasi yang datang sesudahnya untuk mengulangi upayanya sekali lagi.

Karena itu, wajarlah jika kelompok-kelompok tersebut bergerak hanya sebatas bekal kesungguhan dan semangat yang dimiliki sampai bekal itu habis. Kemudian aktivitasnya berhenti dan akhirnya lenyap. Setelah itu berdiri gerakan-gerakan lain dengan orang-orang yang berlainan pula. Mereka pun bergerak seperti orang-orang sebelumnya, sampai akhirnya pada batas tertentu mereka kehabisan bekal semangat dan kesungguhan yang mereka miliki. Demikianlah hal ini terjadi berulang-ulang.

Kegagalan semua gerakan ini merupakan hal yang wajar, karena gerakan-gerakan tersebut tidak berdiri di atas dasar pemikiran (fikrah) yang benar dengan batasan yang jelas, tidak mengetahui metode (thariqah) gerakan yang lurus, tidak bertumpu pada orang-orang yang berkesadaran sempurna, serta tidak mempunyai suatu ikatan yang benar.

Sejatinya, falsafah hakiki untuk mewujudkan kebangkitan bertolak dari adanya suatu ideologi yang menggabungkan fikrah dan thariqah secara terpadu. Oleh karenanya, kedua hal ini (fikrah dan thariqah) harus dipahami oleh setiap kelompok yang berjuang secara serius untuk mewujudkan kebangkitan umat.

Diametralisasi Ideologi, Harga Mati

Pembentukan sebuah partai dalam Islam hendaknya merujuk kepada firman Allah Swt dalam QS ‘Ali Imron [3] ayat 104: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” Maka, apabila kita kaji kelompok-kelompok yang muncul sekitar abad silam (abad XIX M), kita dapati bahwa metode pembentukan kelompok yang rusaklah yang merupakan sebab utama kegagalan mereka. Sebab, gerakan-gerakan tersebut tidak berdiri sebagai sebuah partai yang dilandasi oleh pemahaman hakiki (terhadap sebuah ideologi). Mereka berdiri hanya sekedar membentuk kelompok, atau membentuk partai semu.

Ideologi itu sesungguhnya telah jelas dan upaya memahaminya untuk membentuk sebuah kelompok telah menjadi hal yang mudah. Maka dari itu, adalah wajar jika suatu kelompok telah memahami ideologi tersebut dengan jelas, maka ia akan menjadi kelompok yang berpengaruh, dinamis dan maju, layak untuk diikuti dan didukung masyarakat, serta mampu melaksanakan tugas-tugasnya. Karena kelompok tersebut telah memahami benar fikrahnya, mengetahui benar thariqahnya, dan mengerti benar problem-problem yang dihadapinya.

Hanya saja, adanya pemahaman ideologi ini saja tidak akan dapat mengantarkan pada kebangkitan yang benar, kecuali jika para aktivisnya telah cukup layak untuk memasuki kelompok tersebut, dan ikatan yang menyatukan mereka dalam kelompok adalah ikatan yang benar dan produktif. Berdasarkan ikatan dalam kelompok ini pula, ditentukan kelayakan seseorang untuk memasuki kelompok. Suatu partai ideologis (berbasis pada suatu ideologi) akan menjadikan keyakinan terhadap akidahnya dan kematangan dalam tsaqafah partainya sebagai ikatan dalam kelompoknya. Dengan demikian, apakah seseorang layak masuk dalam partai atau tidak, akan terjadi secara alami, yaitu dengan meleburnya mereka ke dalam partai ketika dakwah telah bersentuhan dengannya. Jadi, yang menentukan kelayakan mereka adalah ikatan kelompok tersebut, bukan lembaga partai. Sebab, ikatan yang menyatukan orang-orang tersebut dalam suatu kelompok adalah akidah dan tsaqafah partai yang terlahir dari akidah tersebut.

Kaum Terpelajar, Pusing dengan Pemikiran Asing

Pemikiran asing sungguh mengasingkan umat dari kebangkitan. Faktanya, persoalan yang dihadapi umat dan partai Islam sebelum Perang Dunia I adalah bagaimana membangkitkan suatu masyarakat Islami. Sekarang, persoalannya adalah bagaimana menciptakan keserasian antara pikiran dan perasaan di kalangan kaum terpelajar, menciptakan keserasian antara individu dan masyarakat dalam suatu pemikiran dan perasaan, terutama antara kaum terpelajar dengan masyarakatnya. Karena sejatinya, kaum terpelajar merupakan kunci perjuangan.

Akan tetapi, kini kaum terpelajar telah menerima pemikiran-pemikiran asing dengan sepenuh hati, tetapi tanpa mengambil perasaan-perasaannya. Penerimaan mereka yang sepenuh hati itu telah memisahkan mereka dari masyarakat, juga telah mengakibatkan mereka memandang rendah dan tak peduli terhadap masyarakat. Pemikiran asing itu juga telah membuat mereka kagum dan hormat terhadap orang asing. Mereka berusaha mendekatkan diri dan bergaul erat dengan orang-orang asing, meskipun orang-orang asing ini adalah kaum penjajah.

Karena itu, kaum terpelajar semacam ini tak mungkin dapat memandang berbagai situasi yang ada di negerinya, kecuali dengan mengikuti orang asing tersebut dalam memandang situasi negerinya, tanpa memahami hakikat situasi sebenarnya. Mereka tidak lagi mengetahui apa yang dapat membangkitkan umat, kecuali dengan mengikuti orang asing tersebut ketika membicarakan kebangkitan.

Hati nurani kaum terpelajar semacam ini tidak tergerak karena dorongan ideologi, tetapi tergerak karena sentimen patriotisme dan nasionalisme. Padahal emosi ini adalah emosi yang salah. Akibatnya, ia tidak akan berjuang demi negerinya dengan benar, dan tidak akan berkorban untuk kepentingan rakyat secara sempurna. Karena perasaannya dalam melihat situasi negerinya, tidak dilandasi oleh pemikiran Islam. Ia juga tidak akan menangkap kebutuhan-kebutuhan rakyatnya dengan perasaan yang dilandasi pemikiran Islam. Kalaupun kita memaksakan diri untuk mengatakan bahwa ia berjuang menuntut suatu kebangkitan, maka sesungguhnya perjuangannya itu lahir dari konflik untuk kepentingan pribadinya, atau suatu perjuangan yang meniru-niru perjuangan bangsa lain. Oleh karenanya, perjuangannya tidak akan bertahan lama, dan hanya akan berlangsung sampai halangan untuk merebut kepentingannya lenyap, (yaitu) dengan diangkatnya ia menjadi pegawai atau dengan tercapainya apa yang menjadi ambisinya. Bisa juga perjuangannya itu akan luntur tatkala berbenturan dengan kepentingan pribadinya, atau tatkala ia dihambat dalam perjuangannya.

Standarisasi Kelahiran Kader Partai

Manusia seperti ini tidak mungkin melahirkan sebuah kelompok yang benar, kecuali setelah lebih dahulu diselesaikan masalah-masalahnya, dengan menyelaraskan pemikiran dan perasaannya, dengan mendidiknya mulai dari awal dengan tsaqafah ideologis. Penyelesaian semacam ini mengharuskan dia menjadi seorang murid untuk membentuk pemikirannya dengan suatu format yang baru.

Setelah menyelesaikan masalah ini, baru kita beralih kepada penyeserasian antara dia dan masyarakatnya. Dengan demikian, akan mudahlah kita menyelesaikan problem kebangkitan umat. Jadi seandainya tidak ada tsaqafah asing di negeri-negeri Islam, niscaya beban kebangkitan lebih ringan dari apa yang kita pikul sekarang.

Atas dasar itu maka adalah mustahil -dengan bercokolnya tsaqafah asing di tengah masyarakat- akan terbentuk sebuah kekompok politik yang benar. Kelompok seperti ini tidak akan terwujud atas dasar tsaqafah asing tadi. Penjajah tidak sekedar menggunakan tsaqafah, bahkan mereka meracuni masyarakat Islam dengan beragam pemikiran dan pandangan di bidang politik dan falsafah, yang merusak pandangan hidup kaum Muslim. Dengan itu mereka rusak suasana Islami yang ada serta mengacaukan pemikiran kaum Muslim dalam segala segi kehidupan.

Dengan semua itu, hilanglah benteng pertahanan kaum Muslim yang alami. Ini mengakibatkan setiap upaya kebangkitan akan berubah menjadi gerakan yang kacau balau dan saling bertentangan -menyerupai gerakan binatang yang sedang disembelih- yang berakhir dengan kematian, keputusasaan, dan menyerah pada keadaan. Orang-orang asing ini berusaha sungguh-sungguh menjadikan kepribadian mereka sebagai mercusuar tsaqafah kita, yang selalu digunakannya dalam aspek-aspek politik. Mereka juga berusaha agar kiblat kegiatan para politikus atau orang yang bergerak dalam bidang politik adalah meminta bantuan orang asing dan menyerahkan segala urusan kepadanya.

Karena itu, sebagian besar kelompok yang ada –tanpa disadari- telah berusaha meminta bantuan kepada orang orang asing. Di berbagai negeri muncullah orang-orang yang meminta bantuan kepada negara-negara asing, tanpa menyadari bahwa setiap permintaan bantuan kepada orang asing dan mengandalkan kekuatan asing –apapun bentuknya- adalah racun dan pengkhianatan bagi umat Islam, walaupun niatnya baik. Mereka tidak menyadari bahwa mengikatkan masalah kita dengan orang selain kita adalah bunuh diri politik. Karena itu, tidak mungkin mereka berhasil mendirikan suatu kelompok apa pun jika pemikirannya telah diracuni dengan sikap penyerahan diri atau menggantungkan diri kepada orang asing.

Demikian pula para penjajah telah meracuni masyarakat dengan paham nasionalisme, patriotisme, sosialisme, sebagaimana mereka juga telah meracuni masyarakat dengan paham kedaerahan yang sempit. Penjajah telah menjadikan semua itu sebagai sumbu putar aktivitas-aktivitas yang bersifat sesaat. Oleh sebab itu, bukan hal yang aneh bila kelompok-kelompok politik semu ini mengalami kegagalan. Sebab, kelompok-kelompok tersebut tidak berdiri atas pemikiran yang mendalam, yang melahirkan peraturan (nizham) yang tepat, yang mampu memperbanyak orang-orang untuk mempercayainya. Bahkan ada kelompok yang berdiri tanpa dasar sama sekali.

Partai Penghalang Kebangkitan

Akibat semua itu adalah wajar jika partai-partai politik yang ada di dunia Islam saat ini menjadi partai-partai yang terpecah-belah. Sebab, partai-partai tersebut tidak berlandaskan pada suatu ideologi. Orang-orang yang mengamati partai-partai ini akan dapat melihat bahwa kadangkala partai-partai tersebut berdiri karena peristiwa-peristiwa sesaat, yang dilahirkan oleh situasi tertentu yang mengharuskan berdirinya kelompok politik. Setelah situasi ini teratasi, lenyap pulalah partai tersebut atau melemah atau terpecah-belah.

Kadangkala kelompok-kelompok ini berdiri atas dasar persahabatan antar beberapa orang, sehingga mereka diikat oleh rasa persahabatan. Maka berkelompoklah mereka atas dasar persahabatan itu. Kelompok ini akan bubar jika mereka mulai sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada pula kelompok yang berdiri karena kepentingan-kepentingan sesaat dari orang-orang tertentu, dan alasan-alasan yang lain. Dengan demikian, tidak ada pada orang-orang yang berkelompok atas dasar asas-asas tersebut, dalam berbagai situasi dan kondisi masyarakat, suatu ikatan partai yang bersifat ideologis. Maka keberadaannya bukan saja tidak bermanfaat, bahkan membahayakan umat.

Di samping itu adanya kelompok-kelompok tersebut di tengah masyarakat telah menghalangi keberadaan sebuah partai yang benar, atau menunda munculnya sebuah partai yang benar. Sebab, kelompok-kelompok tersebut telah menanamkan keputusasaan dalam jiwa masyarakat, memenuhi hati masyarakat dengan noda hitam dan keragu-raguan, dan menghembuskan kecurigaan terhadap gerakan politik, sekalipun gerakan ini adalah sebuah gerakan yang benar.

Kelompok-kelompok tersebut juga menyuburkan perselisihan individu, kedengkian-kedengkian antargolongan, dan mengajarkan pada masya-rakat cara-cara bersaing yang tidak benar, dan selalu berbuat atas dasar manfaat. Dengan kata lain, kelompok-kelompok semacam ini akan merusak tabiat masyarakat yang bersih, di samping memperberat beban tugas kelompok politik yang benar. Padahal partai-partai Islam seharusnya lahir dari ketinggian tabiat/perilaku masyarakat. Adalah suatu kewajaran jika gerakan ini gagal, karena ia bertentangan dengan fitrah manusia dan menyalahi akidah Islam.

Kemudian, ada pula organisasi berdasarkan akhlak yang berusaha membangkitkan umat atas dasar akhlak melalui nasehat-nasehat, bimbingan-bimbingan, pidato-pidato, dan selebaran-selebaran, dengan suatu anggapan bahwa akhlak adalah dasar kebangkitan. Padahal umat atau bangsa-bangsa tidak lahir atau tegak karena akhlak, namun karena akidah yang dianutnya, pemikiran yang diembannya, dan peraturan yang diberlakukannya. Organisasi semacam ini juga muncul akibat pemahaman yang salah terhadap arti masyarakat, bahwa masyarakat itu tersusun dari individu-individu. Padahal masyarakat adalah satu kesatuan yang terdiri dari manusia, pemikiran, perasaan, dan peraturan. Kehancuran masyarakat tidak lain adalah akibat dari rusaknya pemikiran, perasaan, dan peraturannya, bukan dari kerusakan (akhlak) manusia-manusianya. Untuk memperbaikinya tidak lain hanya dengan memperbaiki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang ada.

Organisasi-organisasi tersebut berdiri berdasarkan pemikiran mayoritas para aktivis yang berpikir bahwa yang dapat membangun dan menghancurkan individu-individu adalah akhlaknya. Maka dari itu, dengan akhlak yang lurus ia akan menjadi kuat, konsisten, berdaya guna, produktif, yang berfungsi untuk kebaikan dan perbaikan masyarakat. Sementara akhlak yang buruk akan menjadikannya lemah, tidak diperhitungkan, tidak mempunyai manfaat, dan tidak mempunyai kebaikan.

Orang seperti ini tidak punya tujuan lain dalam kehidupan kecuali mengikuti egonya. Atas dasar ini, maka mereka berpendapat bahwa untuk memperbaiki masyarakat adalah dengan jalan memperbaiki individu. Karenanya, mereka berpandangan bahwa memperbaiki masyarakat harus dilakukan dengan metode perbaikan akhlak. Melalui akhlak itulah, akan dihasilkan suatu kebangkitan umat.

Walaupun seluruh gerakan-gerakan ishlahiah (gerakan yang mengupayakan perbaikan) yang berasaskan akhlak itu gagal, tetapi orang masih saja tetap berkeyakinan bahwa kaidah-kaidah inilah yang menjadi dasar perbaikan. Mereka tetap mendirikan berbagai lembaga ishlahiah dengan asas yang sama. Padahal kenyataannya, alat perbaikan masyarakat tidak sama dengan alat perbaikan individu, walau pun individu memang merupakan bagian dari masyarakat. Sebab, rusaknya masyarakat berasal dari rusaknya perasaan masyarakat dan rusaknya suasana (alam) pemikiran dan suasana ruhiyah masyarakat. Juga diakibatkan adanya pemahaman-pemahaman yang keliru di kalangan masyarakat.

Dengan kata lain, rusaknya masyarakat berasal dari rusaknya kebiasaan umum. Untuk memperbaikinya, tidak lain kecuali dengan menciptakan kebiasaan umum yang baik. Dengan kata lain, tidak ada perbaikan kecuali dengan memperbaiki perasaan masyarakat, menciptakan suasana ruhiyah yang benar dan suasana pemikiran yang berkaitan dengan aspek ruhiyah itu, serta adanya penerapkan peraturan kehidupan oleh negara. Itu semua tidak akan berhasil, kecuali dengan menciptakan suasana Islami dan pelurusan persepsi terhadap berbagai hal di tengah manusia secara keseluruhan. Dengan demikian masyarakat akan jadi baik dan individu pun akan jadi baik pula. Dan hal ini tidak akan dapat dicapai oleh kelompok yang berdiri atas dasar jam’iyah, yang menjadikan akhlak, nasehat, dan bimbingan sebagai asas kelompok.

 

Potret Partai Gagal

Demikian pula kegagalan yang dialami kelompok yang berbentuk partai semu (yang dasar kepartaiannya tidak benar atau tidak lengkap), yang tidak dibangun atas dasar ideologi tertentu, tidak dilatarbelakangi suatu persepsi apa pun, serta tidak mempunyai ikatan yang benar di antara anggotanya.

Perlu diketahui, bahwa kegagalan seluruh kelompok ini juga terjadi karena faktor manusia atau individunya. Sebab di samping pembentukan kelompoknya bukan atas dasar pembentukan kelompok yang benar -karena tidak adanya fikrah dan thariqah, atau karena kesalahan dalam metode pengikatan orang-orang ke dalam kelompok-kelompok tersebut, juga tidak didasarkan pada kelayakan individunya itu sendiri, melainkan berdasarkan kedudukan orang tadi di masyarakat, serta dari peluang diperolehnya manfaat secara cepat dengan keberadaannya dalam partai.

Kadangkala seseorang direkrut karena ia adalah pemimpin kaumnya atau karena ia orang kaya di tengah masyarakatnya, atau karena ia seorang pengacara, dokter, atau mempunyai kedudukan dan pengaruh, tanpa mempertimbangkan apakah ia layak menjadi anggota kelompok atau tidak. Karena itu, yang menonjol dari kelompok-kelompok semacam ini adalah ketidakkompakan di antara anggota-anggotanya atau persaingan untuk menduduki jabatan kepemimpinan.

Akibatnya, dalam hati anggota-anggota partai ini muncul semacam perasaan bahwa mereka lebih utama atau berbeda dari anggota masyarakat yang lain, bukan semata karena harta dan perannya sebagai pemuka masyarakat, melainkan juga karena mereka adalah anggota partai tersebut. Karenanya, mereka sulit berinteraksi dan mengadakan pendekatan dengan masyarakat. Maka keberadaan partai semacam ini adalah ibarat mengaduk-aduk lumpur, yakni menciptakan kesulitan-kesulitan baru. Kesulitan ini menambah kesulitan yang sudah ada, yang membuat kondisi masyarakat semakin buruk dan terpuruk.

Semua kelompok yang ada telah mengalami kegagalan karena didirikan di atas dasar yang keliru. Padahal umat ini tidak akan bangkit kecuali dengan (keberadaan) sebuah kelompok. Lalu, apa kriteria sebuah kelompok yang benar yang mampu membangkitkan umat?

 

Potret Partai Sukses, Menuju Kebangkitan

Sesungguhnya, kelompok yang benar yang dapat membangkitkan umat tidak boleh menggunakan sistem keorganisasian yang menetapkan bahwa ia akan melakukan kegiatan-kegiatan sosial tertentu, dalam bentuk kerja atau perkataan (propaganda-propaganda tertentu), atau hanya dalam bentuk kerja praktis saja, atau dalam bentuk perkataan saja. Kelompok semacam ini tidak boleh muncul di tengah-tengah umat yang merindukan kebangkitan. Oleh karenanya, tidak boleh berdiri kelompok kepartaian yang bukan berdasarkan ideologi.

Kelompok yang benar adalah sebuah kelompok yang berdiri sebagai sebuah partai yang berideologi Islam. Fikrah Islam harus merupakan ruh bagi bangunan partainya. Fikrah itu merupakan jati diri dan rahasia kehidupannya. Sel awalnya adalah seseorang yang telah menginternalisasikan fikrah dan thariqah Islam di dalam dirinya, sehingga ia merupakan manusia yang mencerminkan fikrah itu dalam kebersihan dan kemurniannya, yang mencerminkan thariqah itu dalam kejernihan dan kelurusannya.

Apabila terdapat 3 (tiga) faktor ini –yakni fikrah yang dalam, thariqah yang jelas, dan manusia yang bersih- maka berarti telah tercipta sebuah sel utama. Lalu sel ini akan bertambah banyak menjadi sel-sel berupa kelompok kecil (halqah) pertama dalam partai (halqah ula lil hizb) yang sekaligus merupakan pimpinan partai (qiyadah hizb). Apabila kelompok kecil pertama itu telah terbentuk, berarti telah muncul sebuah kelompok kepartaian (kutlah hizbiyah). Sebab, kelompok kecil pertama tersebut tidak lama kemudian akan berubah menjadi sebuah kelompok kepartaian. Pada saat itulah kelompok tersebut akan membutuhkan ikatan kepartaian yang menyatukan orang-orang yang meyakini fikrah dan thariqahnya. Ikatan kepartaian itu adalah akidah yang darinya terpancar falsafah partai, serta tsaqafah yang sejalan dengan persepsi partai. Pada saat itu terbentuklah sebuah kelompok kepartaian (kutlah hizbiyah) yang akan mengarungi samudra kehidupan. Kelompok ini akan menghadapi suasana panas dan dingin, ditiup angin badai dan sepoi-sepoi, serta suasana jernih dan keruh secara silih berganti.

Jika faktor-faktor tersebut di atas telah terpenuhi, berarti telah terjadi pengkristalan fikrahnya, telah jelas thariqahnya, telah siap orang-orangnya, telah kuat ikatannya, dan telah mampu melakukan langkah-langkah praktis dalam aktivitas dan dakwahnya. Ia sekarang telah berubah dari sebuah kelompok kepartaian menjadi sebuah partai ideologis yang utuh, yang bergerak demi sebuah kebangkitan yang benar. Inilah sebuah kelompok yang benar, yang jati dirinya adalah fikrah, karena fikrah merupakan asas kehidupannya.

Dengan mindset sukses seperti ini, maka partai sudah siap untuk membuat arus baru perubahan di tengah masyarakat. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Ar-Ra’du ayat 11: ”…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” Insya Allah.

Wallaahu a’lam bish showab [].

 

(Disarikan dari Kitab Takattul Hizbiy)

 

BIODATA PENULIS:

Nama                           : Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Tempat/tanggal lahir   : Jepara, 26 November 1984

e-mail                          : [email protected]; [email protected]

Alamat                         : Wisma Agung 1

Jl. Babakan Lio, Gang HM. Arsan

Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680

HP                               : 0856 852 8655

Aktivitas                       :

–     Dosen Program Diploma Institut Pertanian Bogor

–      Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)