Hormat Menghormati Sesama Muslim

Assalamualaikum Wr. wb.

Pak Ustadz, saya sangat salut dengan kupasan-kupasan yang dikemukakan oleh pak ustadz yang tidak memihak salah satu kelompok umat dan selalu mengemukakan dengan berbagai dasar hadist dan lainnya yang shahih dan buat saya itu menunjukan kedalaman ilmu pak ustadz dan terkadang pula saya sangat sedih terkadang melihat antara satu kelompok dengan kelompok lainnya saling merasa paling benar hingga timbul perpecahan umat. Harapan saya semoga dengan adanya konsultasi seperti ini akan saling menguatkan sesama umat muslim bahwa akan pentingnya arti saling menghormati dan menghargai sesamannya seperti yang diajarkan junjungan kita Nabi Muhamad SAW. Biarkanlah urusan ibadah adalah urusan kita dengan tuhan saja selama masih berpegang al-Quran dan Sunah rasul maka insya allah akan selalu dirodhoi. Saya berharap untuk bimbingan dari pak ustadz agar terus berlanjut dan semoga banyak bermanfaat bagi kita semua.

wassalamualaikum wr. wb.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sikap menjaga ukhuwah dengan sesama muslim dan tidak bertikai hanya urusan khilafiyah mmang sudah bagian dari kewajiban kita semua. Bukan suatu hal yang terlalu aneh atau istimewa. Kita semua insya Allah sepakat untuk hal yang satu ini. Karena memang perintah Allah sangat jelas.

Bukannya kita tidak boleh berbeda pendapat, tapi seharusnya perbedaan pendapat itu tidak boleh sampai melahirkan sikap saling menjelekkan atau tindakan lain yang merusak kemesraan sesama muslim.

Bagaimana mungkin kita sibuk meributkan masalah khilafiyah hingga berbantah-bantahan bahkan saling mencaci-maki, padahal Allah SWT telah melarang hal itu dalam firmannya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.

Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.(QS. Al-Hujurat: 11)

Sikap merendahkan kelompok lain sesama muslim adalah sikap yang jelas-jelas diharamkan Allah SWT dengan firman-Nya. Mana mungkin kita boleh bersikap demikian? Dan mana boleh kita berdiam diri menyaksikan ayat-ayat Allah SWT yang suci ini dijadikan bahan permainan?

Tentu kita wajib untuk saling mengingatkan saudara muslim dengan cara yang paling baik, sebab tindakan saling merendahkan ini pun sebenarnya bagian dari kemungkaran yang harus dihilangkan dari diri kita masing-masing.

Allah SWT juga melarang kita saling menuduh dan memberi gelar atau panggilan yang buruk kepada sesama umat Islam. Panggilan sebagai ahli bid’ah adalah panggilan yang teramat dahsyat. Seorang muslim yang beriman kepada Allah dan berakhlaq kepada nabi-Nya, pasti akan berpikir seribu kali sebelum menjatuhkan vonis seperti itu kepada saudaranya sesama muslim.

Paling tidak dia harus melakukan tabayyun terlebih dahulu, sebelum meluapkan kemarahannya dalam bentuk ejekan dan gelar-gelar yang sangat menyakitkan hati. Bukankah Allah SWT mewajibkan seseorang melakukan tabayyun sebelum mengambil sikap?

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.(QS. Al-Hujurat: 6)

Boleh jadi apa yang dipahaminya secara subjektif berbeda dengan yang dimaksud oleh saudaranya. Dan boleh jadi setiap orang mengalami kondisi lingkungan sosial yang secara subjektif memang beragam. Sebuah fatwa mungkin cocok diterapkan di suatu negeri, namun belum tentu tepat untuk diterapkan di negeri lainnya.

Para ulama dan kaum muslimin seharusnya memiliki kedewasaan dan hikmah yang luas dalam melihat masalah seperti ini. Agar jangan sampai sangkaan buruk kepada sesama muslim mengantarkannya kepada dosa yang lebih jauh. Bukankah kita diwajibkan untuk berbaik sangka terlebih dahulu, ketimbang mendahulukan prasangka buruk?

Bukankah Allah SWT sudah menegaskan dalam firman-Nya tentang arti penting berbaik sangka kepada sesama muslim?

يَا تَوَّابٌأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka, karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Hujurat: 12)

Bila kepada sesama muslim kita wajib berhusnudz-dzan, tentu seharusnya kepada para ulama yang selama ini terkenal memperjuangkan Islam dengan gigih, kita harus lebih berhusnudz-dzan lagi. Bukan pada tempatnya untuk terburu-buru menuding seseorang telah menyalahi sunnah rasulullah SAW, atau melakukan kebatilan dan lainnya.

Apalagi sampai secara sengaja mencari-cari kesalahan si fulan dan si fulan untuk sekedar dijelek-jelekkan dan dipergunjingkan. Sungguh sebuah perbuatan yang tercela. Bahkan Allah SWT mengumpamakan mereka yang melakukan perbuatan menjijikkan ini sebagai orang yang tega memakan daging saudaranya sendiri.

Perbedaan Pendapat Para Ulama

Adapun perbedaan pendapat di level para ulama, tentu tidak boleh dijadikan bahan untuk melakukan kekejian seperti saling memaki, saling bergunjing, saling menjelek-jelekkan antar sesama muslim. Sebab perbedaan pendapat itu sejak dahulu memang telah ada, bahkan di level para salafus-shalih, termasuk para tabi’iin dan level parashahabat.

Janganlah kita berpikir bahwa sesama para salafus-shalih tidak punya titik perbedaan. Bahkan di level para shahabat sekalipun, tidak mustahil terjadi perbedaan pandangan. Kita mengenal Ibnu Umar ra. dengan karakteristik yang kuat dan cenderung memilih hukum-hukum yang terberat. Sementara kita mengenal Ibnu Abbas ra. yang lebih cenderung untuk memudahkan agama, karena berprinsip bahwa agama itu dimudahkan oleh Allah SWT.

Bahkan para nabi dan rasul sekalipun, beberapa kali tercatat pernah berbeda pendapat dalam menetapkan hukum dan bersikap. Nabi Musa as pernah marah besar kepada saudaranya, Nabi Harun as., karena memandang saudaranya itu terlalu mengalah pada kedegilan kaum mereka. Sampai-sampai beliau menarikjenggot saudaranya itu dengan kasar. Allah SWT menceritakan hal itu di dalam Al-Quran:

قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي إِنِّي خَشِيتُ أَن تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِي

Harun menjawab’ "Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan kepalaku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata: "Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku."

Nabi Sulaiman as pun mengoreksi pendapat Nabi Daud as. dalam masalah hukum yang dipertikaikan oleh rakyatnya. Padahal keduanya sama-sama nabi dan sama-sama dapat wahyu, namun masih dimungkinkan bagi keduanya untuk berbeda pendapat.

Bahkan malaikat yang tidak punya hawa nafsu dan merupakan hamba-hamba Allah SWT yang mulia, ternyata pernah pula tercatat berbeda pendapat dengan sesamanya. Salah satunya sebagaimana yang kita dapat riwayatnya dalam kisah seorang yang pernah membunuh 100 nyawa tapi ingin tobat. Dalam proses tobatnya itu, nyawanya dicabut. Malaikat Rahman ingin memasukkannya ke surga, sementara malaikat azab ingin memasukkannya ke neraka. Maka terjadilah perbedaan pendapat di level malaikat. Subhanallah!

Kalau para ulama berbeda pendapat, para salafus-shalih juga seringberbeda pendapat, para atba’ut tabi’in pun tidak ketinggalan berbeda pendapat, para tabi’in berbeda pendapat, para shahabat berbeda pendapat, para nabi berbeda pendapat, bahkan para malaikat pun berbeda pendapat, mengapa kita tidak bisa menerima kenyataan adanya perbedaan pendapat di antara kita? Padahal apalah kedudukan kita dibandingkan mereka?

Mengapa kita mengharuskan semua manusia hanya punya satu pendapat saja? Mengapa kita mengingkari sejarah Islam yang telah melahirkan begitu banyak mazhab? Baik dalam dunia fiqih, ilmu qiraat, ilmu hadits dan semua cabang ilmu lainnya.

Mengapa kita ingin memaksakan manusia di dunia ini untuk berpegang pada satu pendapat saja? Padahal nash-nash syariah yang kita punya memang memberi peluang kemungkinan perbedaan pendapat?

Mengapa kita terlalu mudah memaki saudara kita yang kebetulan fatwanya tidak sama dengan fatwa yang kita pegang? Mengapa harus kita maki sebagai tukang bid’ah, ahli syirik, ahlun-naar serta beragam sumpah serapah lainnya?

Bagaimana mungkin kita melakukan semua itu, sementara kita bukanlah nabi yang makshum dan terpelihara dari kesalahan dan dosa?

Semoga Allah SWT meluluhkan hati kita untuk dapat saling mencintai di bawah naungan kecintaan kepada-Nya. Semoga Allah SWT meluaskan hati kita untuk dapat menerima perbedaan pendapat dalam masalah khilafiyah, namun bukan untuk menjadi lawan, melainkan menjadi saudara seiman. Amien Ya Rabbal ‘Alamin.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.