Ingin Belajar Ilmu Hisab di Dua Kubu yang Berbeda

Assalamu’alaikum Ustadz, semoga rahmat Allah senantiasa bersama kita semua.

Perbedaan penentuan tanggal 1 bulan-bulan Islam senantiasa terjadi di Indonesia, jika kita simak berita di media maka tahun ini sudah ada 4 perbedaan dalam penentuan awal bulan, yakni:

NU lebaran hari Sabtu, Muhammadiyah lebaran hari Jum’at, Saudara kita di GOA merayakan hari raya 1428H pada hari Kamis, dan sebagian masyarakat jombang merayakan lebaran di hari Minggu, dan ini mendorong semangat saya untuk belajar langsung ilmu hisab dikubu-kubu tersebut. Saya ingin tahu lebih detail bagaimana masing-masing pihak berhitung. Juga apakah di sana tidak ada inisiatif untuk mengadakan acara "studi banding/ tukar menukar antar santri/ ahli hisabnya."

Adakah pula di dunia maya ini sebuah situs/ link yang berisi "pelajaran hisab" sehingga bisa saya pelajari lebih awal.

Terimakasih dan mohon maaf mohon maaf lahir dan bathin.

ja’alanallahu minal a’idin wal faidzin

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apa yang anda ceritakan itu memang benar, umat Islam dibuat sedemikian bingung karena setidaknya ada 4 versi lebaran yang berbeda untuk tahun 1428 hijriyah ini. Luar biasa memang.

Dan keinginan anda untuk belajar ke masing-masing kubu memang menarik. Setidaknya anda bisa memahami logika masing-masing kubu. Dengan demikian, wawasan anda akan menjadi semakin luas.

Apalagi kalau impian anda nantinya bisa menjadi kenyataan, yaitu masing-masing kubu bisa duduk bersama, saling bertukar pikiran, saling melengkapi kekurangan, saling merendahkan hati, tawadhu’, siap mengoreksi kekurangan diri sendiri dan bersikap santun, ramah serta menjaga tenggang rasa.

Semoga impian itu suatu saat bisa kita saksikan kelak. Di mana para ahli ilmu baik ahli hisab maupun ahli rukyat bisa meniru para ulama pendahulu mereka. Teladan para ulama di masa lalu barangkali sudah saatnya untuk lebih kita ekspose, baik keluasan ilmu mereka maupun ketawadhu’an mereka.

Kita masih ingat dengan jelas bagaimana Al-Imam Asy-Syafi’i bersedia tidak melakukan qunut pada shalat shubuh di hadapan para pengikut mazhab lain yang meyakini bahwa qunut itu bid’ah. Padahal beliau berpendapat bahwa qunut pada shalat shubuh itu sunnah muakkadah.

Kita juga ingat penghargaan yang sedemikian tinggi dan tulus dari beliau kepada Imam mazhab lainnya seperti Abu Hanifah. Beliau mengatakan bahwa seluruh manusia di dunia ini berhutang budi kepada Imam Abu Hanifah rahimahullah atas jasa-jasanya di bidang ijtihad qiyas.

Kita juga tidak pernah mendengar para imam mazhab itu berlaku arogan dan sok tahu. Mereka selalu mengatakan bahwa pendapat mereka itu sementara dianggap benar, namun sangat boleh jadi pendapat orang lain juga benar.

Dan sikap para shahabat nabi SAW yang seringkali berbeda pendapat juga tidak lantas menjadikan mereka saling bermusuhan. Kita tidak pernah mendengar Abu Bakar ra memberi fatwa sambil melarang orang untuk meminta fatwa kepada shahabat lainnya.

Abu Bakar ra adalah orang yang pada akhirnya menyetujui dijalankannya proyek penulisan Al-Quran, setelah sebelumnya beliau memandang bahwa hal itu termasuk bid’ah yang mengada-ada. Namun Allah SWT melapangkan dadanya dan beliau bisa menerima pandangan dari Umar bin Al-Khattab.

Demikian juga kita tidak pernah mendengar khaliah Umarra melarang para shahabat untuk mengkritisi dirinya. Bahkan di hari pertama dirinya diangkat menjadi khalifah, beliau justru meminta agar ada orang yang selalu mengkritisinya dengan pedang. Beliau tidak marah dengan kritik itu dan tidak pernah merasa dirinya selalu benar.

Bahkan seringkali beliau dikiritik di depan publik, bahkan oleh wanita. Apakah beliau marah? Apakah beliau merasa direndahkan? Apakah beliau merasa dirinya selalu benar?

Jawabnya tidak dan tidak pernah.

Meski pikiran beliau seringkali mendahului turunnya ayat Quran dan kemudian ayat itu malah membenarkannya, namun kita tidak pernah melihat arogansi seorang Umar. Pendeknya, beliau bukan tipe orang yang sok pinter, sok tahu dan soh paling benar sendiri.

Sikap luhur seperti inilah yang rasanya kok sudah mulai luntur di kalangan kita. Apa lah ilmu kita dibandingkan dengan Abu Bakar dan Umar ra? Apa lah ilmu kita dibandingkan dengan Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal?

Mengapa kita sekarang ini tiba-tiba menjadi orang yang terlalu percaya diri dan merasa paling benar sendiri? Tidakkah mungkin ilmu yang kita miliki sekarang ini punmasih perlu disempurnakan? Tidak kah masukan dari pihak lain tetap berharga untuk dipertimbangkan?

Himbauan ini sebenarnya tidak terbatas kepada para ahli hisab dan rukyat saja, tetapi juga berlaku buat diri kami sendiri juga. Pendeknya, para tokoh mulai dari ulama, ustadz, kiyai, habaib, ajengan, tuan guru dan para pemuka agama perlu untuk saling berkomunikasi, tukar pikiran, tukar informasi, saling melengkapi, saling berhusnudzdzan dan saling berkorban demi saudara sendiri.

Semoga impian kita nantinya menjadi kenyataan, ya Allah kabulkan doa kami.

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc