Ingin Berdakwah tapi Dituduh Wahabi

Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz yang terhormat,
Akhir-akhir ini sering sekali terjadi friksi antara muslim yang ittiba’ terhadap sunnah Nabi SAW (manhaj salaf) dengan kelompok Islam tradisional yang mayoritas di Indonesia. Saya sangat menaruh simpati dengan dakwah manhaj salaf yang memenuhi kaidah ilmiah, amaliyah dan dakwah yang dicontohkan Nabi dan para sahabat dengan menghidupkan sunnah dan beramal sesuai dengan syariat yang telah diajarkan Nabi kita. Saya pun selalu mengikuti kajian-kajiannya walupun masih baru.
Namun belakangan kelompok mayoritas sering mendeskriditkan mereka bahkan dengan menisbatkannya dengan sebutan Wahhabi. Padahal setahu saya istilah wahhabi tidak pernah dimunculkan dan tidak dikenal oleh siapa pun, termasuk dalam manhaj ini (hal ini telah ditabayyunkan) dan mereka (mayoritas) mengambil istilah itu dari ulama ahlussunnah abad ke 12 H yang bernama Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab yang hidup ketika Khalifah Ustmani di Turki berkuasa karena beliau bermanhaj salaf. Padahal dakwah beliau bertujuan untuk memurnikan ajaran tauhid Islam tatkala pada waktu itu Islam dirusak oleh ahlu bid’ah dan kemusyrikan merebak di tanah Arab. Hingga Makkah ditaklukan oleh Amir Muhammad bin Saud.
Saat ini mereka yang bermanhaj salaf itu sering dihujani kecurigaan dan kebencian oleh umat Islam yang kurang pemahaman Islamnya.
Bagaimana sikap ahlu sunnah yang seharusnya dalam menghadapi cobaan ini?
Jazakumullah khair.
Wassalamu’alaikum,

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Seringnya seorang juru dakwah dihujani kecurigaan dan kebencian oleh umat Islam adalah hal biasa. Dan merupakan bagian dari sunnatullah. Tidak perlu dirisaukan dan tidak perlu bersedih hati.

Bukankah di sepanjang sejarah selalu terjadi ujian dan cobaan seperti itu? Bukankah dahulu para nabi dan rasul dihujat, bahkan dikejar-kejar dan dibunuh?

Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak menyerah. Allah menyukai orang-orang yang sabar. (QS Ali Imran: 146)

Jadi dihujat, disakiti, dicemooh adalah hal yang mutlak pasti dialami. Para nabi dan salafushshalih pernah mengalaminya. Tapi mereka tidak pernah menjadi lemah, putus asa atau menyesali nasib.

Semua ujian itu justru untuk membuktikan bahwa kita beriman kepada Allah. Dan Allah perlu bukti atas keimanan kita, bukan hanya syahadat dan ikrar saja.

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS Al-Baqrah: 124)

Apa yang telah dilakukan oleh Syeikh Muhammad bin Abdil Wahhab adalah sebuah perjuangan yang penuh resiko. Namun beliau tidak pernah mengeluh dan menyesali diri. Tidak ada yang tercela dari dakwah yang beliau lakukan, sehingga anda tidak perlu berkecil hati kalau dituduh sebagai penyebar paham Wahhabi, karena beliau adalah orang shalih dan baik.

Anda boleh bersusah hati kalau dituduh sebagai penyebar paham komunis, atheis, marksis atau machiavellis. Tapi kalau cuma dituduh menjadi pengikut orang shalih, mengapa anda harus sedih? Muhammad bin Abdul Wahhab adalah orang baik, anda tidak perlu sakit hati dituduh sebagai pengikut orang baik. Akui saja bahwa anda memang pengikut beliau dan tidak ada masalah. Dan bahkan anda perlu berbangga, karena menjadi pengikut orang shalih.

Sebuah Renungan

Namun memang tidak ada salahnya juga kalau kita sedikit melakukan sebuah renungan dan upaya berkaca diri. Bukan berarti kita ingin menyalahkan diri sendiri. Tapi tidak ada salahnya bila kita sejenak membuat sebuah renungan kilas balik perjalanan dakwah.

Memang tidak tertutup kemungkinan kita juga melakukan hal-hal yang agak berlebihan. Namanya manusia, pasti ada celah untuk salah. Kalau kita mau jujur, kita berkaca pada diri sendiri, mungkin celah-celah ini bisa kita perkecil.

Misalnya, ada kalanya di luar kesadaran kita, mungkin pernah kita agak membuat seseorang menjadi kurang percaya diri, akibat cara kita dalam mengingatkannya terkesan agak terlampau bersemangat. Secara psikologis, kalau kita mengungkap kesalahan seseorang di depan publik, wajar bila yang bersangkutan merasa agak tersinggung. Yang model begini mungkin perlu kita antisipasi secara baik. Ke depan, tidak ada salahnya kita sedikit lebih santun.

Renungan Kedua

Renungan lainnya barangkali dalam masalah skala prioritas. Adakalanya kita perlu sedikit lebih cermat mengamati keadaan seseorang. Kalau kita mulai dengan ‘menyerang’ kebiasan bid’ah di tengah masyarakat, sementara kita memang belum membangun hubungan baik dengan mereka, wajar bila muncul penentangan dari mereka. Hubungan baik di sini adalah bagaimana membangun rasa percaya dalam jiwa mereka kepada kita sebagai juru dakwah.

Sebab dakwah itu bukan semata-mata bicara kepada masyarakat bahwa perbuatan ini salah, bid’ah atau haram belaka. Dakwah adalah mengajak, mendidik, mengayomi dan membangun kesadaran serta wa’yu yang baik. Dakwah bukan mengejek, mencaci atau mencemooh masyarakat. Tapi memasukkan pengertian, kesadaran, bashirah serta membangun fikrah. Pada gilirannya, tanpa harus kita cela, mereka dengan sendirinya akan meninggalkan segala bid’ah, syirik dan segenap bentuk-bentuk kemungkaran.

Renungan Ketiga

Tidak ada salahnya buat kita untuk memperdalam dan memperluas wawasan agama kita sendiri. Terutama yang terkait dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Kita perlu mengerti benar tentang masalah khilafiyah, dasar-dasarnya, kedudukannya dan bentuk-bentuk pensikapannya yang benar.

Rasanya bukan pada tempatnya untuk kita meributkan hal-hal yang masih merupakan masalah khilaf di tengah para ulama. Sementara kita mendukung suatu pendapat sambil menghajar habis-habisan pendapat lainnya. Padahal masyarakat terlanjur memilih pendapat yang berbeda dengan pendapat yang kita anggap lebih benar.

Ini adalah keterjebakan para juru dakwah dan kasusnya seringkali terjadi. Seorang juru dakwah membela mati-matian sebuah pendapat, ternyata pendapat itu masih diperdebatkan oleh para ulama. Dan sayangnya, masyarakatnya berapa pada pendapat yang berbeda dengan si juru dakwah itu.

Dalam hal ini kita patut menyayangkan keadaan ini. Sebab dakwah Islam itu bukanlah dakwah kepada suatu pendapat dengan menafikan pendapat lainnya. Apalagi sampai harus bertabrakan dengan apa yang sudah sebelumnya dipilih oleh masyarakat. Maka wajar sekali bila masyarakat pun berbalik memusuhi si juru dakwah itu.

Seharusnya si juru dakwah itu memahami bahwa apa yang diserukannya bukanlah hal-hal yang bersifat universal,tetapi merupakan kajian fiqih ikhitlaf. Sehingga hanya bisa dibuka di kalangan yang terbatas dengan hadirin yang terbatas pula. Jangan sampai kita mencaci maki suatu perbuatan yang sebenarnya masih dalam wilayah khilaf di kalangan ulama.

Semoga masukan-masukan ini bisa membuat dakwah kita lebih produktif dan berkah. Dan semoga Allah SWT membukakan pintu hati kita dari menerima masukan dan nasehat. Amien.

Wallahu a’lam bishshawb, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.