Kedudukan Hadits Tentang Perselisihan Umat

Assalaamu’alaikum wr, wb.

Ustadz, bagaimana kedudukan hadits berikut; "Perselisihan umatku adalah rahmat"?

Jazakallah

Wassalaamu’alaikum wr, wb.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dari segi sanad periwayatan, lafadz ini memang bukan hadits nabawi.
Melainkan sebuah ungkapan yang dinisbahkan kepada seorang bernama Al-Qasim bin Muhammad, cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau lahir di masa khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi penguasa. Beliau adalah seorang imam yang menjadi panutan dan wafat tahun 107 hijriyah.

Imam Al-Baihaqi menyebutkan dalam kitab Al-Madkhal bahwa lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad. Demikian juga komentar dari Al-Imam As-Suyuti sebagaimana yang kita baca dari kitab Ad-Durar Al-Mutasyirah, lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad.

Syeikh Nasiruddin Al-Albani dalam kitabnya, Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah menyebutkan bahwa lafadz ini tidak ada sumber sanadnya kepada Rasulullah SAW.

Matan

Sebagian ulama juga keberatan dengan matan (esensi) lafadz ini. Karena dianggap bertentangan dengan kebenaran. Salah satu yang berkomentar negatif atas kebenaran lafadz ini adalah Al-Imam Ibnu Hazm. Beliau mengatakan bahwa lafadz ini berpotesi paling merusak. Sebab jika saja berbeda itu rahmat, maka tidak berbeda adalah kemungkaran.

Syeikh Al-Albani juga menolak kebenaran kandungan matan ini. Menurut beliau perbedaan adalah perilaku tercela di dalam syariat Islam. Yang wajib dilakukan adalah berusaha untuk keluar dari masalah tersebut.
Sebab kondisi ini merupakan salah satu faktor kemunduran umat.

Benarkah Berbeda Pendapat Berdosa?

Secara sanad, lafadz yang kita bahas ini memang bukan sabda Nabi SAW. Namun apakah esensinya juga bertentangan dengan agama? Dan benarkah berbeda pendapat itu berdosa dan kemungkaran?

Pertanyaan ini cukup menarik untuk kita kaji lebih dalam. Mengingat justru perbedaan pendapat bukan hanya terjadi di zaman sekarang ini saja. Tetapi pada tiap zaman, selalu ada perbedaan pendapat.

Para ulama hadits semacam Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Al-
Baihaqi, Ad-Daaruquthny, Al-Imam Abu Daud dan lainnya, masing-masing punya pendapat yang berbeda dalam metode meneliti sebuah hadits. Dan hasilnya, ada begitu banyak hadits yang dishahihkan oleh satu orang namun di sisi lain justru di-dhaif-kan, bahkan dikatakan sebagai hadits palsu. Bukankah para ulama hadits berbeda pendapat?

Para fuqaha pendiri mazhab yang empat memang terkenal dengan perbedaan pendapat di antara mereka, mulai dari masalah ushul fiqih hingga masalah cabang-cabangnya (furu’).

Bahkan perbedaan pendapat sudah ada sejak zaman para tabi’in dan shahabat. Tidak terhitung kasus-kasus baik besar maupun kecil yang terjadi di tengah para shahabat nabi yang mulia itu.

Bahkan perbedaan pendapat itu terjadi bukan hanya sepeninggal Nabi SAW. Tetapi terjadi justru di masa Nabi Muhammad SAW masih hidup dan tinggal bersama mereka. Beliau bahkan seringkali ikut terlibat langsung dalam perbedaan pendapat itu.

Lalu apakah kita masih akan mengatakan bahwa Rasulullah SAW adalah pelaku kemungkaran?

Bagaimana dengan perbedaan pendapat di kalangan para nabi terdahulu?
Bukankah Musa pernah menarik jenggot saudaranya, Harun, karena berselisih dalam metode pendekatan dakwah kepada Bani Israel?

Harun menjawab’ "Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata, "Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku." (QS. Thaha: 94)

Perselisihan juga terjadi antara Nabi Daud dan anaknya, Nabi Sulaiman. Padahal keduanya nabi yang mendapat wahyu dari Allah SWT. Namun nyatanya, keduanya tetap berbeda pendapat dalam memutuskan perkara hukum. Dan kejadian itu diabadikan di dalam Al-Quran.

Dan Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu (QS. Al-Anbiya’: 78)

Apakah Musa dan Harun serta Sulaiman dan Daud adalah para pendosa?
Apakah perbedaan pendapat di antara mereka merupakan sebuah kemungkaran?

Lalu bagaimana dengan dua malaikat yang berselisih tentang nasib pembunuh 100 nyawa yang mati di tengah jalan dalam rangka bertaubat? Malaikat pertama ingin memasukkannya ke surga sedangkan malaikat kedua ingin memasukkannya ke neraka. Apakah kedua malaikat yang berselisih itu melakukan kejahatan dan dosa?

Sebelum kita menjawab pertanyaan pelik ini, kita perlu bedakan antara beda pendapat dengan perseteruan. Keduanya sangat berbeda. Beda pendapat atau ikhtilaf tidak selalu berbuntut perseteruan, perpecahan,
permusuhan atau saling menjelekkan.

Kisah para ulama di masa lalu yang berbeda pendapat dalam masalah furu’ tapi tetap saling menyanjung secara pribadi adalah contoh paling tepat yang bisa kita kemukakan. Intinya, beda pendapat tidak harus selalu berujung kepada permusuhan. Bahkan disisi lain, beda pandangan itu malah bisa membuat kita semakin kaya dan kuat. Sebuah masalah yang didiskusikan bersama dengan brainstorming, umumnya bisa semakin powerfull. Karena telah dikritisi dari segala sisi.

Seorang programer perlu minta masukan dari programer lain untuk memastikan keamanan sistem yang dibuatnya. Para hacker dan cracker terkadang berguna untuk memastikan keamanan sebuah sistem dari pembobolan.

Sebuah kitab terkenal karya ulama fiqih yang dikritisi kekuatan hadits-
haditsnya oleh ulama hadits akan menjadi lebih berbobot dan memenuhi kaidah ilmiyah. Itu yang terjadi pada kitab Fiqhussunnah karya As-Sayyid Sabiq dan Al-Halal Wal Haram fil Islam karya Dr. Yuuf Al-Qaradhawi.

Kedua kitab itu dikritisi sanad-sanad haditsnya oleh ulama hadits kontemporer. Hasilnya, bukan negatif tetapi semakin positif, karena menambah bobot karya itu, namun tetap kritis.

Jadi yang terlarang bukan beda pendapatnya, melainkan perseteruan dan perpecahannya. Di mana satu orang mencaci maki orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya.

Yang terlaknat adalah menjelek-jelekkan orang lain sampai pada masalah pisik. Bahkan ada penulis buku yang saking bencinya kepada ulama yang tidak disukainya, sampai memberi judul bukunya dengan kata-kata yang sangat menghina dengan menyebutnya’anjing’. Naudzu billahi min zalik.

Maka kalau pun lafadz yang kita bahas itu bukan hadits nabawi, namun dalam konteks perbedaan pendapat yang positif, lafadz itu ada benarnya. Sedangkan perbedaan pendapat yang membawa kepada perpecahan, fitnah, caci maki, mulut kotor, su’ul adab kepada ulama, penghinaan, hujatan, kutukan dan sederet sikap-sikap tidak dewasa lainnya, tentu hukumnya haram secara mutlak.

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela (QS Al-Humazah: 1)

Yang dibenarkan dalam adab berpeda pendapat adalah seperti yang dicontohkan langsung oleh para ulama salafushshalih terdahulu. Misalnya ungkapan begini: Pendapat saya benar namun masih dimungkinkan adanya kesalahan. Sedangkan pendapat orang lain menurut saya salah namun ada kemungkinan ada kebenaran di dalamnya.

Rasanya hari ini kita sudah jarang mendengar ada ulama yang bicaranya agak sopan seperti para salaf terdahulu. Sayang sekali

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc