Kenapa Harus Ada Khilaf?

Assalamualaikum wr wb
Dengan hormat kepada ustadz yang pembimbing

Ustadz yang baik
saya mau tanya tentang khilaf para ulama, yang terjadi pada saat ini, sehingga nampak membingungkan umat yang awam seperti saya. Ustad kenapa sih harus ada perbedaan pendapat di antara para ulama, padahal mereka mempunyai nabi yang sama yaitu nabi Muhammad saw, juga mempunyai al-quran yang sama. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah rahmat, tapi saya kurang jelas dari mana dapat rahmatnya, karena menurut saya lebih banyak mudharatnya dari mamfaatnya. Sebagai contoh terjadinya berbagai konflik internal dikalangan umat Islam sendiri, seperti perbedaan antara kaum sunni dan syiah, juga dari perbedaan pendapat tentang qunut subuh, sampai membaca ayat al-quran di atas kubur.

Demikian ustad yang baik, atas penjelasan dan bimbingannya saya ucapkan terimakasih, semoga segala amalannya diterima oleh Allah SWT.

Assalamualaikum wr wb

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ada dua point besar yang menurut kami perlu dijadikan jawaban atas pertanyaan anda.

Pertama, bahwa ada perbedaan mendasar antara khilaf dengan perpecahan. Kedua, ungkapan bahwa khilaf umatku adalah rahmat, bukan hadits nabi. Namun esensinya memang demikian.

Khilaf Tidak Sama Dengan Perpecahan

Seringkali kita terkecoh dengan dua hal ini, seolah keduanya adalah sama. Padahal, khilaf dan perpecahan adalah dua hal yang saling berbeda 180 derajat.

Khilaf adalah perbedaan dalam memandang suatu masalah, lebih tepatnya dalam mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil Quran dan Sunnah. Perbedaan cara mengambil kesimpulan ini dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain:

1. Perbedaan dalam meshahihkan suatu hadits

Al-Imam Al-Bukhari punya standar keshahihan hadits yang berbeda dengan A-Imam Muslim. Padahal keduanya sama-sama pakar hadits yang dikenal sebagai penyusun kitab hadits tershahih di dunia.

Namun ada kalanya sebuah hadits dishahihkan oleh Al-Bukhari namun tidak dishahihkan oleh Muslim. Dan yang sebaliknya pun seringkali terjadi.

Bila para para ulama ahli hadits sudah berbeda pendapat, sudah bisa dipastikan bahwa kesimpulan hukum yang dikeluarkan oleh masing-masing ahli fiqih pun akan berbeda juga.

2. Perbedaan Dalil yang Saling Bertentangan

Sangat dimungkinkan dan bahkan sering kali terjadi ada dua atau lebih dalil yang sama-sama shahih dan kuat, namun ternyata memberikan hukum yang berbeda.

3. Perbedaan Metode Istimbath Hukum

Para ulama ahli fiqih di level mujtahid mutlak punya kaidah dan metode yang sudah baku untuk mengistimbath hukum. Namun belum tentu samaantara yang satu dengan yang lain.

Misalnya, Al-Imam Malik rahimahullah dikenal sebagai ulama yang mengandalkan amalu ahlil-Madinah sebagai landasan hukum. Sesuatu yang oleh ketika imam Mazhab lainnya tidak dikenal atau tidak diterima.

Kemudian ada al-maslahah al-mursalah, saddu azd-dzarai’, syar’u man qablana, dan lainnya yang diterima oleh satu pihak namun ditolak oleh pihak lain.

4. Karakter Para Ulama

Sebagian ulama ada yang punya kecenderungan menyempitkan masalah karena kehati-hatiannya, namun ada yang meluaskan hukum karena berprinsip bahwa Islam itu mudah dan rahmat.

Adalah shahabat Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu anhu seorang yang cenderung mutasyaddin, tidaklah ada dua pilihan hukum kecuali beliau memilih yang lebih berat. Baginya, surga itu harus didapat dengan kesungguhan dan pengorbanan.

Namun Abdullah bin Abbas punya karakter yang lembut dan selalu mencari yang termudah, karena Allah tidak membebani hamba-Nya kecuali sesuai dengan kadar kemampuannya.

Dan masih banyak lagi hal-hal yang menyebabkan khilaf itu pasti terjadi.

Bolehkah Khilaf Terjadi?

Ada banyak dalil yang memastikan bahwa khilaf di antara para ulama itu boleh terjadi, bahkan sebuah keniscayaan. Dasarnya antara lain:

1. Para Shahabat Mengalami Khilaf

Peristiwa perang Bani Quraidhah adalah contoh yang amat nyata tentang bagaimana para shahabat nabi berbeda pandangan dalam menafsirkan perintah Rasulullah SAW. Selain itu juga ada kisah tentang perbedaan penafsiran para petani kurma di Madinah tentang ‘larangan’ Rasulullah SAW untuk melakukan penyebukan. Juga ada kisah tentang para shahabat yang berbeda pendapat dalam menetapkan arah kiblat, sehingga ada yang shalat menghadap ke Barat, Timur, Utara dan Selatan.

Namun perbedaan itu bukan perpecahan, mereka tetap bershahabat dan saling mengasihi antara sesamanya.

2. Para Nabi Mengalami Khilaf

Nabi Musa dan Nabi Khidhir ‘alaihimassalam pernah berbeda pendapat dalam melakukan perjalanan. Cerita lengkapnya bisa kita baca di dalam surat Al-Kafhi. Nabi Musa dan kakaknya, Nabi Harun ‘alaihimassalam, bahkan sempat bentrok dan tarik-tarikan rambut, untuk urusan yang mereka perselisihkan.

Keputusanhukum Nabi Daud pernah ‘diralat’ oleh anaknya sendiri, Nabi Sulaiman ‘alaihimassalamdalam sengketa yang menyangkut hukum dalam perkara rakyatnegeri mereka.

Namun para nabi adalah satu kesatuan mata rantai sebagai penyampai risalah dari Allah kepada umat manusia. Perbedaan pendapat itu bukan perpecahan, apalagi permusuhan.

3. Para Malaikat Mengalami Khilaf

Dalam kisah taubatnya pembunuh 100 nyawa yang meninggal di tengah jalan menuju jalan taubat, dua malaikat saling berbeda pendapat. Yang satu malaikat rahman yang ingin memasukkannya ke surga. Sedang yang satunya malaikat adzab yang ingin memasukkannya ke neraka.

Ya Subhanallah, bahkan malaikat yang tidak punya emosi sekalipun, juga mengalami khilaf dalam memutuskan perkara.

Maka bisa kita simpulkan bahwa khilaf atau beda pendapat adalah hal yang lumrah, terjadi pada siapa saja, termasuk para shahabat, para nabi dan bahkan para malaikat.

Khilaf yang terjadi di kalangan ulama adalah hak preogratif mereka, tidak ada hak dan wewenang kita yang awam dan bukan ahli hukum ini ikut-ikutan meributkan khilaf di antara mereka.

Bukan karena kita tidak boleh melakukan upaya ijtihad seperti mereka, juga bukan karena pintu ijtihad telah tertutup, namun karena persoalan kapasitas keilmuwan.

Tentu sangat kurang pantas ketika para ulama ahli di tingkat elit masih berbeda pendapat, ternyata kita yang ada di level grassroot juga ikut-ikutan saling meributkannya.

Yang Diharamkan Adalah Perpecahan dan Saling Memerangi

Yang diharamkan adalah perpecahan, bukan perbedaan cara pandang. Bentuk-bentuk perpecahan yang diharamkan misalnya:

  1. Mencaci maki orang yang pendapatnya tidak sama dengan pendapat dirinya. Baik dengan tuduhan ahli bid’ah, pelaku kemusyrikan atau gelar-gelar lain yang tidak layak.
  2. Memutuskan tali silaturrahim dengan orang yang dianggap pendapatnya tidak sama.
  3. Membuat kampanye fitnah serta menghujat saudaranya di muka umum, padahal akar masalahnya hanya beda pendapat yang telah terjadi sejak zaman shahabat
  4. Menyakiti bahkan melukai perasaan saudaranya, dengan beragama cara.
  5. Cara yang paling buruk adalah dengan menyakiti secara pisik bahkan melakukan pembunuhan, seperti tragedi fitnah besar antara sunnah syiah.

Bukankah kita bisa duduk bersama untuk memecahkan masalah? Mengapa kita harus angkat suara dengan nada yang tinggi, padahal kita saudara?

Mengapa kita harus saling berbunuhan, satu dengan lainnya, padahal mereka adalah saudara kita juga?

Semoga Allah SWT menentramkan hati kita dan menguatkan persaudaraan kita, serta merajut kembali keping-keping ukhuwah di antara kita. Amien

Wallahu a’lam bishshsawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc