Masalah Halaqoh dengan Murobbi Lawan Jenis

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Kahal Ustadz? Semoga selalu dalam lindungan dan rahmat Alloh SWT.

Bagaimana menurut pendapat dan solusi ustad Jika sebuah halaqoh akhwat dipegang oleh seorang murobbi ikhwan (status sudah menikah).. apakah ini diperbolehkan? Saya berpikir bahwa kondisi pengajian seperti halaqoh tidak baik, lebih cocok dengan kondisi seperi taklim (lebih dari 20 orang) dengan alasan ketika dengan halaqoh:

  1. tentu bagi seorang akhwat akan sangat malu ketika dalam kondisi haid, kondisinya tersebut diketahui oleh murobbi ikhwan ketika agenda tilawah.
  2. terkadang murobbi ikhwan tersebut ketika ada keperluan dengan mad’unya akhwat langsung telepon bercakap-cakap(tidak melalui SMS) bahkan pernah ketika ada keperluan MR itu telepon berkali-kali dan sengaja memang tidak diangkat agar melalui SMS agar lebih ahsan
  3. rentan peluang tidak adanya ghodul bashor

Jazakalloh atas perhatiannya.

Wassalamu’alaikum Wr Wb

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sesungguhnya pertanyaan anda lebih layak untuk disampaikan kepada departemen kaderisasi, karena biasanya yang punya wewenang atau kebijakan atas apa yang anda tanyakan itu memang mereka.

Kami bukan berada pada posisi sebagai departemen kaderisasi suatu ormas/orsospol yang bertanggung-jawab atas sistem dan managemen sebuah uslub dalam pengkaderan. Kami hanya akan melakukan pendekatan dari sisi syariah saja, dan tidak akan masuk ke dalam wilayah kebijakan atas managemen sebuah halaqah pengkaderan.

Halaqah pengkaderan memang punya karakteristik unik yang berbeda dengan sebuah majelis taklim. Di dalam majelis taklim umumnya, hubungan antara nara sumber atau ustadz dengan murid-muridnya bersifat terbuka, umum dan apa adanya. Tidak melibatkan hal-hal yang spesifik, pribadi dan hubungan khusus yang intens.

Hal itu berbeda dengan hubungan seorang murabbi dalam suatu halaqah pengkaderan dengan para mad’unya. Hubungan yang dibangun lebih intens, unik bahkan melibatkan urusan mendengar dan metaati, setelah sebelumnya dibangun hubungan tsiqah (kepercayaan) antara qiyadah (komandan) dan jundiyah (prajurit).

Dengan demikian, tentunya akan menjadi sulit manakala sang murabbi berbeda jenis kelamin serta bukan mahram terhadap mad’u-nya.

Idealnya memang seperti apa yang anda sampaikan, yaitu seorang murabbi yang memimpin sebuah halaqah para wanita (akhawat) hendaknya beliau juga seorang wanita. Agar tidak terjadi halangan-halangan yang bersifat syar’i. Setidaknya dengan cara itu kita akan terhindar dari fitnah, khususnya dalam hubungan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram.

Dan perlu juga ditekankan, sebenarnya dalam urusan fitnah terhadap wanita, tidak ada beda antara laki-laki yang sudah menikah dengan yang belum menikah. Mereka yang belum menikah tidak selalu lebih berbahaya dari yang sudah menikah. Bahkan dalam banyak kasus, mereka yang sudah menikah pun seringkali mendapat ‘kasus’ dalam masalah ini.

Namun terkadang apa yang ideal menurut kita, belum tentu bisa didapat pada semua kasus. Di beberapa tempat tertentu, atau pada marhalah (periode) tertentu, mungkin saja tidak terdapat kualifikasi seorang murabbi wanita (akhawat) yang dinilai punya kapasitas yang cukup. Sementara kebutuhan atas adanya halaqah pengkaderan terhadap para akhawat dirasakan cukup besar. Maka dengan pertimbangan tertentu serta mekanisme yang disesuaikan, mungkin saja diambil kebijakan yang jugasedikit disesuaikan. Maksudnya, dimungkinkan adanya halaqah wanita yang dibina oleh seorang ustadz laki-laki.

Tentu yang namanya kebijakan yang tidak sesuai standarnya, maka kebijakan itu harus lahir dari sebuah syura majelis pertimbangan, atau majelis syariah, atau apapun lembaga yang terkait. Bukan ditetapkan secara sepihak oleh orang per orang.

Berbeda dengan fatwa hukum syariah, seorang ahli syariah yang punya kapasitas tertentu, berhak untuk mengeluarkan fatwa pribadinya. Namun apakah fatwa itu mengikat atau tidak, kembali masalahnya kepada kebijakan. Sedangkan yang namanya kebijakan, haruslah merupakan ketetapan yang disepakati bersama(qarar jama’i).

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc