Memajang Foto Para Ulama, Sunnahkah?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Bapak Uztadz Ahmad yang dirahmati Allah SWT. Saya agak bingung melihat sebagian orang yang memajang foto-foto para ulama, katanya dengan memandang foto tersebut kita sudah mendapat pahala karena melihat orang alim. Bahkan ada juga sebagian dari mereka minta izin/bicara depan foto bilang mau pergi. Bukankah nabi Muhammad SAW sendiri tidak diperolehkan adanya foto beliau.

Dan pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara salaman sesama muslim yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, karena saya melihat ada yang salam mencium tangan, adapula yang mencium tangan bolah balik telapak tangan, ada juga salaman yang dibarengi berpelukan cium pipi kiri dan kanan, ada juga salam saling berjabat tangan biasa. Mohon petunjuk Uztadz. Terima kasih.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memandang foto ulama dapat pahala? Ah… Rasanya terlalu mengada-ada.

Mencintai ulama memang dianjurkan, dengan alasan karena kita hormat dan menghargai ilmu yang mereka ajarkan. Bukankah para ulama itu memang diberikan derajat yang tinggi di sisi Allah SWT?

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Mujadilah: 11)

Namun ada dua catatan penting dalam masalah ini.

Pertama, siapakah yang dimaksud para ulama itu?

Kita harus pandai membedakan para ulama dengan sekedar tokoh yang dianggap seolah-olah dia itu ulama. Dalam disipin ilmu-ilmu keIslaman, para ulama adalah orang-orang yang benar-benar menguasai disiplin ilmu terutama ilmu yang terkait dengan masalah syariah. Seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqih, ilmu usul fiqih, qawa’id fiqhiyah, serta yang paling pokok adalah ilmu bahasa Arab.

Adapun bila sekedar tokoh masyarakat yang pandai memimpin doa, atau bisa menyembuhkan orang sakit, atau penceramah yang pandai berorasi di depan ribuan khalayak, belum tentu punya kapasitas sebagai ulama. Meski mereka berkostum seolah-olah ulama, bersorban bak pangeran Diponegoro, ke mana-mana bawa tasbih, semua itu haya kostum dan atribut. Semua itu tidak bisa dijadikan ukuran. Ukurannya adalah ilmunya yang bisa diukur dengan penguasaannya yang mendalam.

Kedua, bagaimana bentuk ungkapan rasa cinta kepada para ulama?

Kalau pengejawantahannya sekedar dengan memandangi foto mereka, ini sudah masuk ke dalam kategori ghuluw. Yaitu sikap berlebihan dan salah kaprah. Kalau kita mencintai ulama karena ilmunya, maka bentuk pengejawantahan kecintaan kita kepada mereka adalah dengan menjalankan dan mengamalkan ilmu yang telah diajarkannya. Juga bisa dengan mengajarkankembali ilmu yang telah mereka ajarkan. Atau bisa juga dengan mengembangkan ilmunya agar semakin lengkap dan sempurna.

Itulah yang telah dilakukan oleh murid-murid para imam mazhab, di mana mereka kemudian membuat beragam karya ilmiyah untuk mempopulerkan ilmu yang telah mreka warisi dari guru mereka. Sehingga mazhab-mazhab itu berkembang, punya banyak murid, punya banyak karya ilmiyah dan hingga hari ini masih tetap eksis. Semua itu berarti ilmu yang diajarkan oleh sang guru benar-benar bermanfaat, lantaran dikembangkan oleh para murid tercintanya.

Adapun memajang foto para ulama, bukan bagian dari penghormatan dan pengembangan sosok ulama itu. Apalagi mengingat bahwa ajaran Islam kurang terlalu memberikan dukungan buat umatnya dalam hal memajang foto siapapun. Sekedar untuk kepentingan dokumentasi dan administrasi, fotografi oleh sebagian ulama bisa dibenarkan. Akan tetapi kalau sudah sampai pada pengkultusan, apalagi sampai dianjurkan memandang fotonya, ketahuilah bahwa sikap ini sudah masuk ke area yang diharamkan.

Paganisme di muka bumi tidak tiba-tiba terjadi. Dimulai dengan rasa cinta dan hormat kepada para nabi dan orang-orang shaleh, lalu dibuatkan gambar mereka. Awalnya hanya untuk kenangan, namun generasi berikutnya sudah mulai melenceng dengan munculnya sikap mengagungkan gambar-gambar mereka. Generasi ketiga bahkan sudah mulai menyembah, meski beralasan bahwa gambar-gambar itu sekedar mendekatkan mereka kepada Allah.

Semua alasan itu tidak bisa dibenarkan, lantaran sejarah telah membuktikan bahwa ketika orang sudah mulai mengagungkan gambar nabi dan orang shalih, pada akhirnya yang terjadi adalah penyembahan berhala.

Hal itu pula yang terjadi pada saudara kita dari kalangan Nasrani, di mana mereka akhirnya menyembah salib dan patung nabi Isa alaihis-salam.

Kita tentu tidak bisa menerima kalau ada sebagian saudara muslim yang melakukan hal yang sama. Mungkin motivasi awalnya baik, yaitu mencintai orang shalih. Dan ini tidak kita nafikan. Namun yang perlu diluruskan adalah tata cara dalam mencintainya. Agar jangan sampai kita malah terperosok ke jurang yang sama, sebagaimana para penyembah berhala di masa lalu.

Menyimpan dan mendokumentasikan foto para ulama tentu tidak salah, sebagaimana tidak salahnya seorang yang menyimpan foto anaknya di dalam dompet. Ke mana-mana, foto anak tersayang itu bisa dilihat kapan saja. Yang salah adalah memajang foto para orang salih dengan tujuan untuk mengagungkan fotonya dan berkeyakinan bahwa dengan memandang foto itu akan menambah iman dan pahala. Ini adalah perbuatan bid’ah dan menjurus ke arah syirik.

Sebagai muslim yang taat, tentu kita harus menghindarkan diri dari perilaku yang menyimpang ini. Semoga Allah SWT melapangkan dada kita dari bisikan syetan yang terkutuk. Amien.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.