Mengapa Harus Salafi?

Assalamu’alaikum wr. wb.

Mudah-mudahan Allah selalu melimpahkan rahmat bagi Ustadz dan keluarga. Maaf pak ustadz, pertanyaan saya panjang. Dari sebuah situs Islam www.assunnah.or.id saya membaca artikel dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani yang berjudul "Mengapa harus Salafi?" di antaranya menyebutkan "Siapa saja yang memisahkan antara Al-Kitab dan As-Sunnah dengan As-Salafus Shalih bukanlah seorang yang benar selama-lamanya." Dan juga artikel dari beliau lainnya yang menyebutkan, "Sesungguhnya kelompok atau perkumpulan Islam mana saja yang tidak tegak di atas kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wassalam serta di atas manhaj salafus shalih tentu ia dalam kesesatan yang nyata!"

Dalil ini seringkali digunakan teman-teman saya yang mengaku salafi untuk menganggap orang lain yang bukan salafi sesat dan bidah.

Pertanyaan saya:
1. Sebenarnya apakah salafi itu? dan apakah hanya ada satu salafi dalam Islam?
2. Pak ustadz pernah menuliskan derajat keshahihan suatu hadis seringkali berbeda dalam pandangan para ulama, apakah ulama-ulama salafi selalu satu suara dalam menentukan keshahihan suatu hadis dan satu suara dalam mentafsirkan hadis atau al-Quran?
3. Jika para ulama salafi bisa berbeda pendapat, jadi yang mana salafi yang benar?
4. Dalam tulisan-tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terkesan sangat tegas dalam menganggap sesuatu itu bidah atau sesat, di mana ulama lain menganggap tidak bidah atau sesat, bagaimana sikap kita seharusnya?
5. Dalam artikel lain disebutkan Hizbut Tahrir dan Jamaah Tabligh adalah sesat? Benarkah? Di mana letak kesesatan mereka? Secara lahir, mereka tampak sangat zuhud dan ahli ibadah, serta rata-rata sepengetahuan saya berakhlak sangat baik (sangat berhati-hati dalam ibadah, bergaul, banyak-banyak berzikir dan sebagainya).

Terima kasih banyak pak ustadz, mudah-mudahan melimpahkan hidayah-Nya bagi kita semua. Amin

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Salaf itu bukan nama sebuah jamaah, organisasi atau pun kelompok. Tetapi salaf itu adalah nama periode dalam sejarah Islam. Yang artinya adalah zaman terdahulu. Lawan kata salaf adalah khalaf yang artinya masa yang ada kemudian.

Salafi adalah sifat seseorang atau sekelompok orang beserta pemikirannya atau sikap yang nisbahkan atau dikaitkan dengan apa yang ada di masa terdahulu. Maksudnya masa nabi Muhammad SAW serta para shahabatnya, hingga para pengikutnya. Sebagai lawan dari orang, pemikiran atau sikap yang dinisbahkan kepada masa sesudahnya.

Dan pada hakikatnya, semua umat Islam ini harus menjadi salafi dalam arti yang sesungguhnya. Yaitu selalu mengacu dan berparameter kepada masa nabi SAW dan para shahabat.

Tetapi maknanya bukan berarti hari ini kemana-mana kita harus naik unta, atau minum susu kambing mentah, atau mengganti nasi dengan tepung syair sebagaimana makanan nabi saat itu. Sikap yang begini bukan salafi yang dimaksud.

Bentuk kesalafian kita adalah kalau kita shalat, maka tata cara shalat kita ini mengacu kepada shalatnya nabi Muhammad SAW. Begitu juga pada saat kita berpuasa, zakat, haji dan mengerjakan amal ibadah lainnya. Termasuk juga dalam hal beraqidah dan bertauhid. Semua itu harus dikembalikan kepada apa yang telah ditetapkan oleh beliau dan para shahabat di masa lalu.

Maka ungkapan Syeikh Nasiruddin Al-Albani 100% benar. Tidak ada yang salah dengan ungkapan beliau. Coba perhatikan baik-baik perkataan beliau, "Sesungguhnya kelompok atau perkumpulan Islam mana saja yang tidak tegak di atas kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wassalam serta di atas manhaj salafus shalih tentu ia dalam kesesatan yang nyata."

Kita setuju sekali dengan pernyataan beliau. Sebab kelompok atau perkumpulan yang mengaku Islam tapi tidak tegak di atas kitab Allah dan sunnah Rasulnya serta manhaj salafus-shalih, pastilah bukan kelompok Islam. Misalnya, ada kelompok yang mengaku Islam, tetapi dasarnya bible, atau kitab primbon, atau undang-undang buatan manusia atau apa pun selain Quran dan Sunnah, tentu kita sepakat bahwa kelompok itu sesat.

Mengaku Salafi

Lain Syeikh Nasiruddin Al-Albani lain pula orang yang mengaku jadi pengikutnya. Boleh jadi orang yang mengaku sebagai salafi tidak dikenal oleh beliau, sehingga ketika membawa-bawa nama Syeikh dengan cara yang tidak bertanggung-jawab, beliau sama sekali tidak tahu.

Sementara dari segi ilmu, akhlaq dan adab, perbedaan antara keduanya bisa jadi sangat jauh. Yang satu seorang ulama ahli hadits sedangkan yang lain bukan. Kecuali hanya mengaku-ngaku menjadi pengikutnya.

Ketika kelompok ini memvonis bahwa semua orang yang tidak salafi itu sesat, kita masih bisa menerima. Sebab setiap muslim memang harus menjadi salafi dlaam arti yang sesungguhnya.Tetapi ketika mereka mengklaim bahwa yang salafi itu hanya kelompok mereka sendiri saja, sedangkan umat Islam yang tidak menyatakan kesetiaan kepada kelompok mereka langsung dicap sebagai bukan salafi kemudian pasti sesat, sebenarnya mereka sudah terjebak dengan wacana yang mereka buat sendiri.

Cara pandang seperti ini sangat berbahaya, karenanya harus diluruskan. Siapa yang bisa menjamin bahwa klaim bahwa diri mereka adalah salafi? Dan dari mana mereka bisa memastian bahwa selain diri mereka, semua orang pasti bukan salafi dan kemudian pasti sesat?

Lebih parah lagi kalau sampai kepada pemikiran begini, semua umat Islam yang cara ibadahnya tidak sama dengan mereka, dipandang sebagai bukan kelompok mereka. Lalu karena bukan kelompok mereka, divonislah sebagai bukan salafi. Dan karena bukan salafi, maka dimasukkan ke dalam kelompok orang sesat.

Jelaslah logika ini logika ngawur dan asal-asalan saja. Sama sekali tidak berangkat dari sebuah kajian ilmiyah, bahkan bertentangan dengan manhaj salaf itu sendiri.

Khilaf Dalam Menilai Derajat Keshahihan Hadis

Sesungguhnya khilaf pada ulama hadits tentang penilaian mereka atas keshahihan suatu hadits adalah hak yang sudah terjadi sejak dahulu. Suatu hadits yang dishahihkan oleh Imam Bukhari belum tentu masuk ke dalam kitab Shahih Muslim. Demikian juga sebaliknya.

Bahkan haditsyang telah masuk ke dalam kitab Shahih Bukhari, oleh sebagian kalangan masih ada yang diragukan validitasnya. Misalnya pendapat-pendapat Ibnu Khuzaemah atau bahkan Syeikh Nasiruddin Al-Albani sendiri. Pendeknya, berbeda pendapat bukan hal yang asing di kalangan ulama salaf.

Bahkan khilaf di antara ulama yang sering dijadikan tokoh rujukan oleh mereka yang mengaku salaf, tidak pernah sepi dari perbedaan pandangan. Begitu banyak pendapat Syeikh Nasirudin Al-Albani rahimahullah yang bertentangan dengan pendapat Syeikh Bin Baz. Dan pendpat keduanya juga seringkali berbeda dengan pendapat Syeikh Al-‘Utsaimin. Padahal para ulama itu seringkali dijadikan rujukan utama. Fatwa dan hasil ijtihad mereka selalu menghiasi lembar-lembar dakwah kalangan ini.

Walhasil, kalau ada saudara-saudara kita yang saling menuding sebagai sesat atau ahli bid’ah, bahkan sampai tidak mau bertegur sapa satu dengan lainnya, hanya lantaran perbedaan pendapat dalam ijtihad, sungguh sangat disayangkan. Sebab yang mereka sikapi dengan arogan itu sesungguhnya hanya sebuah pendapat di antara sekian banyak pendapat.

Lebih tepat bila sikap kasar dan keras itu ditujukan kepada orang-orang kafir harbi yang jelas-jelas telah membunuh jutaan nyawa umat Islam, semacam Slobodan Milosevic, George Bush atau Tony Blair. Tapi kalau hanya karena berbeda cara menilai keshahihan suatu hadits, lantas kita memaki-maki saudara muslim kita sendiri, bahkan menyudutkan, menggunjingkan, aau malah memvonisnya sebagai ahli neraka, sungguh sangat memalukan.

Tetapi itulah kenyataannya, saling maki dan saling cela itu bahkan ditulis di berbagai macam situs yang dibaca oleh ribuan orang, bahkan diterbitkan dalam berbagai majalah dan buku, termasuk di dalam VCD dan kaset, padahal penyebabnya hanya sebatas perbedaan pendapat, sungguh merupakan azab buat umat Islam.

Fatwa Al-Albani Yang ‘Tegas’

Beliau adalah sosok ulama yang telah banyak berjasa kepada umat Islam. Karya beliau dalam bidang hadits itu tentu sangat membantu dan bermanfaat besar. Tidak ada seorang pun yang menolaknya.

Dan sebagai ulama besar, tentu wajar bila kita dibolehkan untuk mengambil pendapat beliau, meski derajat beliau belum sampai ke tingkat mujtahid mutlak, sebagaimana keempat Imam mazhab. Dan tidak salah bila kita belajar dari beliau, memanfaatkan ilmunya, serta mengambil banyak pendapatnya.

Akan tetapi, bukan berarti sikap yang benar adalah menjadikan beliau sebagai satu-satunya sumber kebenaran, atau menjadikannya satu-satunya tolok ukur kebenaran. Sebagai mujtahid di bidangnya, beliau berhak untuk berfatwa. Namun tidak seorang pun yang selalu benar dalam semua ijtihadnya. Mungkin saja dalam hal-hal tertentu, pendapat beliau tidak disepakati oleh ulama lainnya, yang juga tidak kalah keilmuannya.

Dan kita juga tahu bahwa tidak ada seorang pun yang boleh secara mutlak wajib diikuti semua perkataannya kecuali hanya Rasulullah SAW. Setiap manusia, boleh diikuti perkataan tapi boleh juga tidak diikuti, kecuali Al-Ma’shum Sayyiduna Muhammad SAW.

Maka kita tidak perlu stress dulubila telah menjalankan suatu bentuk ibadah tertentu, tetapi ternyata oleh beliau dikatakan sebagai bid’ah, sesat atau batil. Kita harus tahu bahwa apa yang beliau katakan itu hanyalah hasil ijtihad beliau pribadi, belum semua ulama sepakat dengan beliau.

Namun bukan berarti kita harus mengurangi rasa hormat kita kepada beliau. Cuma perlu dibedakan antara hormat denganterpaku kepada hasil ijtihadnya. Orang yang dalam segala halnya selalu mengacu kepada pendapat Al-Albani belum tentu berarti dia hormat kepada beliau. Dan sebaliknya, orang yang dalam beberapa tidak menggunakan fatwa beliau jangan langsung divonis tidak hormat.

Hizbut Tahrir dan Jamaah Tabligh Sesat?

Siapa pun yang menuliskan artikel seperti ini, tentu harus punya hujjah yang kuat dan nyata. Bukan asal tulis dan asal tuding saja. Bahkan seharusnya berangkat dari hasil penelitian langsung, bukan sekedar membaca literatur.

Sebab boleh jadi apa yang dituduhkan itu hanya mewakili sikap suatu jamaah di mas lalu, padahal sekarang jamaah itu sudah berubah. Masak kita tidak rela bila ada jamaah yang telah memperbaiki diri? Masak kita justru mengharuskan suatu jamaah selalu sesat selamanya?

Dan yang paling penting, setiap vonis yang kita keluarkan wajib kita pertanggung-jawabannya bukan hanya di dunia ini saja, namun yang lebih berat lagi nanti di akhirat.

Mungkin ada baiknya sebelum melontarkan tuduhan sesat kepada sesama muslim, kita terlebih dahulu menziarahinya serta bermunaqasyah (diskusi) secara kepala dingin. Agar komplain kita ada sikap saudara kita itu tersampaikan terlebih dahulu kepada yang langsung berurusan.

Mungkin saja suatu kelompok atau jamaah punya satu dua kesalahan. Dan hal itu tentu sangat manusiawi. Bahkanmemang kita wajib meluruskan kesalahan yang ada pada saudara kita itu. Tapi kurang bijak rasanya bila setiap kesalahan saudara kita selalu kita sikapi dengan tuduhan sesat, caci maki atau pengumbaran aib mereka, di berbagai media. Seolah kita bergembira kalau ada saudara kita yang salah jalan. Karena bisa kita jadikan bahan pergunjingan dan cemoohan. Nauzubillahi min zalik

Tentu sikap seperti ini justru sangat bertentang dengan manhaj nabi SAW, para shahabat dan juga manhaj salafunashshalih.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ahmad Sarwat, Lc