Pemikiran Tentang Pembangunan Masjid

Assalamu a’laikum Wr, Wb

Pak Ustadz Yang di rahmati Allah Swt,

Saya sering melihat, kaum kita, muslim bila ingin membangun ataupun memperbaiki masjid, dengan cara meminta – minta dijalan bahkan sampai menutup bagian jalan, sehingga kadang – kadang memacetkan jalan dan membuat sebagian orang kesal dan menggerutu, belum lagi yang ada di dalam bus-bus umum terminal ataupun tempat keramaian lainnya. Terkadang sebagai muslim saya risih dan malu dengan kondisi seperti itu, apakah saya berdosa pak ustadz mempunyai perasaan seperti itu..? Dan bagaimana hukumnya bilayangmemberi bukan orang muslim, karena biasanya setiap orangyangmemberi selalu diiringi dengan doa oleh panitiayangbertugas.

Pak ustadz, saya sering berpikir bagaimana caranya kita muslim, bila ingin membangun tempat ibadah (masjid dlsb) tanpa harus meminta-minta seprti hal di atas, sampai ahirnya saya mempunyai pemikiran seperti ini.

Pada sebuah peresmian pembangunan masjid, seorang penceramah mengatakan, bahwa Masjid besaryangada diseluruh Indonesia jumlahnya ada -+ 40 masjid, dalam hati saya bangga..wah banyak juga, dari penceramah itulah saya timbul pemikiran, kalau saja setiap jum’at dari masing – masing masjid mengeluarkan Rp 5000, – dari kotak tromol atau dari infaq shodakoh dan dikumpulkan ke dalam sebuah wadah oragnisasi, Lembaga atau Departemen, dalam satu tahun ada 52 Jum’at maka uang yang akan terkumpul dari Jum’at/tahun adalah 40. 000x52x Rp 5000, – =Rp 10, 400, 000, 000, – (sepuluh milyar empat ratus juta rupiah) itu baru dari masjid dan hanya tiap hari jum’atyangdikumpulkan.

Kalau ditambah lagi dengan pegawai negri dan BUMN diseluruh Indonesia yang muslim, katakan jumlahnya 2 juta orang, dan dari tiap orang dipotong gajinya untuk infaq ke masjid Rp 1000, -saja/bulan, maka akan kita dapat 2. 000. 000 x 1000 x 12 =Rp 24, 000, 000, 000, – + Rp 10, 400, 000, 000, -= Rp 34, 400, 000, 000, – (tiga puluh empat milyar empat ratus juta rupiah)/tahun, kita bayangkan dari dua elemen itu saja kita sudah dapat nilaiyangbegitu tinggi, dan saya yakin bila itu berjalan setiap tahun bisa beberapa masjidyangbisa kita bangun atau kita perbaiki.

Tinggal masalahnya sekarang, siapa orang, atau badan, lembaga, departemenyangdapat dipercaya, jujur tidak korup, untk dapat melaksanakan amanah tersebut, atau membentuk lembaga baru yang pungsinya nanti khusus, sebagai jembatan untuk mempasitilisasi pengajuan rehabilitasi masjid atau membangun masjid, bisa saja lembaga itu bernama Lembaga Pembangunan dan Rehabilitasi Masjid Seluruh Indonesia (LPRMSI) di bawah naungan Departemen Agama atau Departemen lainyangcocok untuk dan kejasama dengan pihak terkait lainnya.

Demikian pak ustadz ats pertanyaan dan sumbang saran saya, mohon maaf bila adayangsalah atau kepanjangan tulisannya.

Wassalam – Rachmat

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Hitung-hitungan dari Anda adalah salah satu usulan yang sangat menarik. Dan bukan tidak mungkin untuk direalisasikan. Setidaknya, di atas kertas, hitungan itu cukup menggiurkan, karena begitu banyak bangunan pisik masjid yang bisa dibangun atau direhabilitasi dengan dana yang melimpah itu.

Namun kalau usulan anda agar semua itu diserahkan pekerjaannya kepada Departemen Agama, rasanya akan banyak timbul keberatan. Bukan su’uzhan, tetapi beban Departemen Agama RI sudah terlalu sarat. Nyaris semua urusan diurus oleh Departemen ini, dari hulu sampai hilir, hingga bila diberi beban lagi, sungguh kasihan.

Tetapi sayangnya, SDM yang dimiliki Departemen Agama RI sangat terbatas, baik dari segi kuantitas, apalagi kualitas. Maka akan banyak pihak yang pesimis bila urusan pengumpulan dana untuk membangun masjid dikerjakan oleh Departemen Agama.

Belum lagi issue tindakan kurang terpuji dari oknum-oknum di dalamnya, yang bertindak kurang profesional dalam mengelola dana, hingga seorang mantan Menteri Agama pun harus masuk bui hanya karena urusan yang memalukan ini.

Dahulu di masa rezim Soeharto, ada proyek Amal Bhakti Muslim Pancasila. Salah satu hasilnya adalah dibangunnya masjid di berbagai tempat. Bentuknya sangat khas, dan sampai hari ini berhenti begitu saja dengan lengsernya sang Penguasa. Konon dananya diambil dari potongan gaji pegawai negeri yang saat itu menimbulkan kontroversi.

Minta Dana di Tengah Jalan

Pemandangan meminta-minta dana pembangunan masjid di tengah jalan sudah sering dikeluhkan banyak pihak. Selain kurang enak dipandang, juga seringkali mengganggu arus lalu lintas.

Namun biasanya para pengurus masjid berasalan bahwa mereka tidak punya lagi alternatif lain. Padahal dengan cara itu, dari segi pemasukan ternyata sangat berarti. Karena meski lewat uang seribuan perak, pada akhirnya pembangunan masjid bisa rampung.

Maka kasus ini memang agak dilemmatis. Di satu sisi, kita memandang tindakan minta dana di tengah jalan itu sebagai sebuah hal yang memalukan, akan tetapi seolah tanpa cara itu masjid tidak bisa berdiri. Sedangkan alternatif lain seperti yang anda usulkan, masih panjang birokrasinya, dan tentu masih akan jadi perdebatan yang belum tentu langsung menghasilkan dana.

Pembangunan SDM

Kalau kita merujuk kepada nilai-nilai sirah nabawiyah, pembangunan pisik masjid Madinah dilakukan dengan cara singkat, sederhana, cepat dan bersahaja. Rupanya beliau SAW dan para shahabat nyaris tidak terlalu mementingkan bangunan pisik. Alih-alih menara, hiasan kaligrafi, marmer dan karpet tebal, atapnya pun tidak ada. Sebagiannya hanya beratap pelepah dan daun kurma.

Lantainya pasir alias tanpa lantai. Sehingga ketika ada seorang arab desa (a’rabi) kencing di dalam masjid, cukup disiram seember air dan najis itu pun langsung menyerap ke dalam tanah. Tidak perlu dipel lagi.

Namun lihatlah apa yang dihasilkan oleh masjid Nabawi di Madinah. Ribuan shahabat nabi dididik, dibina, ditarbiyah, digodok di masjidi ini. Lahirlah dari masjid itu ribuan kader ulama dan umara’ yang tersebar ke seantero dunia.

Rupanya masjid Nabawi saat itu bukan hanya berfungsi sebagai rumah ibadah semata, tetapi di masjid itu Rasulullah SAW melatih para calon kjhalifah, calon gubernur, para calon penguasa dunia.

Di masjid itu Rasulullah SAW menyampaikan wahyu dari langit untuk dipelajari, dihafal, dibedah makna dan isinya serta disebarkan ke seluruh penjuru dunia.

Di masjid itu Rasulullah SAW melahirkan para ulama sejati semacam Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum ajmain.

Di masjid itu Rasulullah SAW menampuk para ahli shufah semacam Abu Hurairah ra, yang menghabiskan waktunya untuk menimba ilmu dari beliau, 24 jam dalam sehari.

Di masjid itu RAsulullah SAW menggarap para ahli strategi perang, para ilmuwan, para penakluk kerajaan dunia, dan kader-kader unggulan sejati.

Di masjid itu Rasulullah SAW mengatur ekonomi umat, menggerakkan roda keuangan, etika berbisnis dan segala hal yang terkait dengan kepentingan finansial masyarakat.

Esensi Sebuah Masjid

Dan demikianlah sunnahnya sebuah masjid di dalam sejarah Islam, dari sana selalu lahir para ulama, kader dan pemimpin dunia. Sebah masjid akan tidak sesuai sunnah kalau hanya berisi shaf orang yang shalat saja, tanpa ada taklim dan tarbiyah, atau aktifitas sosial, ekonomi dan tindakan real terkait dengan kebutuhan umat.

Lihatlah bagaimana masjid Al-Azhar yang telah berusia lebih dari 1.000 tahun, bukan hanya terdiri orang shalat, tetapi telah menjadi pembela dan pemelihara ajaran Islam. Dari masjid itu lahir ribuan ulama sepanjang zaman yang hingga hari ini masih terus berproduksi.

Dan demikian juga dengan masjid-masjid bersejarah di dunia Islam lainnya, seperti masjid Bani Umayyah di Syria, Damaskus. Telah lahir dari masjid itu ribuan ulama sangat berkuliatas. Bahkan pengelolaan baitulmal di masjid itu pernah membuat jumlah orang miskin mencapai titik nol, di zaman Umar bin Abdul Aziz.

Semua itu akan terbalik 180 derajat dibandingkan dengan ciri-ciri masjid di negeri kita. Selain sepi orang shalat, masjid-masijd itu nyaris tidak pernah melahirkan kader ulama apalagi umara’. Sebab masjid itu sudah nyaris seperti gereja dan kuil, yaitu hanya dikhususkan untuk ritual ibadah saja. Tidak ada aktifitas pembinaan, tidak ada taklim, tidak ada ulama berkapasitas unggul yang siap membaktikan ilmunya dan melazimkan diri di masjidi itu.

Memang ada khutbah jumat, tapi sayangnya sayangnya tanpa kurikulum, tanpa managemen pembinaan, tanpa evaluasi, tanpa sistem kaderisasi. Di sebagian masjid lagi, nyaris tidak ada aktifitas pembinaan. Bahkan selesai shalat, masjid itu pun langsung dikunci oleh petugasnya.

Dari sudut pandang takmir, yang terpikir akhirnya hanya urusan pisik masjid saja. Mulia dari bangunan, alas, cat, hiasan kaligrafi, tempat wudhu, WC dan pengeras suara. Hanya itu saja. Adapun urusan berapa banyak masjid itu bisa melahirkan ulama dan ahli ilmu, mungkin malah belum pernah terlintas dalam pemikiran.

Itulah ciri khas masjid di negeri kita, di mana para pengurusnya masih terkerangkeng dengan pemikiran dari segi pisik masjid saja. Berbeda dengan masjid di masa nabi, meski pisiknya jauh lebih jelek dari semua masjid di negeri kita, tetapi hasilnya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc