Ritual Pasca Meninggal Dunia

Assalaamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz yang terhormat! Ada beberapa hal yang akan saya tanyakan.

Saya merupakan orang pendatang yang tinggal di suatu tempat namun saya heran dengan cara penduduk asli setempat (Betawi) jika ada orang yang meninggal dunia.

1. Orang (kyai/ustadz) yang akan menyolatkan jenazah, harus diundang terlebih dahulu?

2. Ahli waris membagikan beras, yang katanya beras tersebut sebagai fidyah?

3. Membaca Al-Qur’an sampai tamat (+/- 7 hari) yang dilaksanakan di kuburan si mayat?

Demikian! Mohon penjelasan ustadz, apakah yang mereka lakukan bisa dibenarkan?

Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Praktek seperti itu bukan hanya budaya orang betawi semata, melainkan cerminan dari tipologi model religiusitas masyarakat kita secara keseluruhannya. Budaya mengundang untuk menyalatkan jenazah misalnya, bukan hanya ciri khas orang betawi, tetapi kita dapati di berbagai belahan nusantara.

Kalau kita telusuri satu per satu tentang latar belakang kebiasaan ini, kita mungkin akan mendapatkan alur cerita dan latar belakangnya, lepas dari apakah hal itu bisa diterima atau tidak.

Misalnya tentang mengundang para kiyai untuk menshalati jenazah, budaya ini sebenarnya tidak melanggar apapun dari hukum syariah. Adapun latar belakang pemikirannya, kira-kira demikian. Bahwa shalat jenazah itu tidak lain merupakan doa yang amat bermanfaat buat jenazah. Maka semakin banyak yang menshalati, akan semakinbanyak orang yang mendoakan. Apalagi bila yang mendoakan orang-orang shalih, yang kemudian dijatuhkan pada sosok para kiyai, maka harapan untuk lebih maqbul doanya tentu lebih besar.

Inilah kira-kira alasan keluarga mayit untuk secara khusus memohon agar parakiyai berkenan hadir untuk menshalati jenazah keluarga mereka.

Bahkan bukan hanya itu, para kiyai yang sangat dihormati itu kemudian diberi hadiah. Bentuknyadalam bentuk uang dalamamplop. Tentu yang ini agak keterlaluan, tetapi begitulah cara keluarga menghormati tokoh agamanya.

Fidyah

Sebenarnya istilah fidyah lebih dikenal dalam urusan membayar hutang puasa Ramadhan, yaitu buat orang tua atau orang yang kondisinya tidak mampu melakukan kewajiban itu. Untuk mengganti puasa yang ditinggalkan, mereka tidak perlu melakukan puasa melainkan membayar fidyah sebesar satu mud (dua genggam tapak tangan) untuk satu hari puasa yang ditinggal.

Namun yang menarik untuk diperhatikan, sebagian ulama kemudian melakukan qiyas atas hal ini. Fidyah yang awalnya untuk mengganti puasa yang luput, kemudian diberlakukan juga pada kasus luputnya seseorang dari melakukan shalat wajib.

Ada sementara kalangan yang kurang dapat menerima qiyas seperti ini, karena menyangkut masalah ibadah mahdhah. Bukan menolak qiyas, melainkan cara mengqiyas antara puasa dan shalat kurang tepat.

Sayangnya, dalam prakteknya, bayar fidyah itu sekedar menjadi seremonial yang lucu, karena beras itu hanya dipindah-pindah kepemilikannya sebelum akhirnya semua jamaah yang hadit ikut shalat mendapat bagian masing-masing.

Kalaulah ingin menggunakan qiyas, seharusnya yang dibagi beras adalah khusu orang-orang miskin yang memang berhak. Bukan setiap orang diberi, karena fiyah itu memang memberi makan orang miskin.

Membaca Al-Quran di Kuburan

Demikian juga dengan budaya membaca Al-Quran yang dihadiahkan pahalanya untuk arwah mereka yang sudah meninggal dunia, ternyata juga ada beberapa landasannya, meski tetap merupakan wilayah ikhtilaf di kalangan fuqaha’.

Sebagian besar dari fuqaha’ sepakat mengatakan bahwa seseorang bisa mengirim pahala bacaan Al-|quran yang dibacanya untuk siapapun ruh jenazah yang diniatkan.

Oleh karena itu, maka banyak orang yang kini melakukannya, semata-mata karena memang mendasari tindakannya dari apa yang difatwakan oleh para ulama.

Namun kalau harus membaca hingga 7 hari 7 malam, apalagi harus dilakukan di kuburan, tentu saja tidak ada ketentuannya dari nash-nash syariah. Malah, ada dalil yang melarang kita duduk-duduk di kuburan.

Sebenarnya membaca Al-Quran tidak harus di kuburan, lagi pula urusannya bukan dengan kuburan. Urusannya dengan Allah SWT yang akan memberi pahala kepada orang yang membaca Al-Quran. Setelah itu baru kemudian pahala ditransfer kepada orang yang sudah meninggal dunia. Dan tempatnya bukan di kuburan. Pada titik inilah sebenarnya kita bisa melakukan kritisasi.

Adapun kalau masalah sampai atau tidak sampaonya pahala bacaan A-Quran kepada mayyit, itu urusan khilaf di antara para ulama.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc