Sujud Syukur dengan Sujud Tilawah, Apa Bedanya?

Assalamu ‘alaikum

1. Afwan ustadz, ana hanya mau bertanya tentang perbedaan sujud tilawah dengan sujud syukur? Mohon diperjelas dengan rukun-rukunnya serta doanya. Terus terang ana sujud syukur biasa membaca doa yang dibaca pada sujud tilawah juga, itu bagaimana?

2. Jika seorang akhwat mendapat tamu bulannya terus dia melakukan wudhu, hal itu bagaimana apakah diperbolehkan?

3. Dan jika kita mendapat makanan atau hadiah dari orang yang benar-benar kita ketahui asal-usul uang yang dia peroleh tidak benar dalam hal ini diperoleh dengan cara terlarang, apa yang harus kita lakukan dengan makanan atau hadiah tersebut?

Syukran atas jawaban ustadz.

Wassalam,

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Perbedaan antara keduanya tergambar jelas dari namanya. Sujud tilawah adalah sujud yang disunnahkan saat kita bertilawah (membaca) Al-Quran Al-Kariem. Sedangkan sujud syukur adalah sujud yang dilakukan berdasarkan rasa sykur kita setelah mendengar kabar baik atau nasib baik.

Sujud tilawah berbeda dengan sujud syukur. Sujud tilawah bisa dilakukan ketika shalat dan di luar shalat. Sebaliknya, sujud syukur hanya dilakukan di luar shalat saja, tidak boleh di dalam shalat.

Sujud Tilawah

Sujud ini bisa saja dilakukan saat kita sedang shalat dan kebetulan membaca ayat-ayat sujud tilawah, tetapi bisa juga dilakukan di luar shalat, yaitu saat membaca Al-Quran dan membaca ayat-ayat tersebut.

Sujud tilawah dilakukan hanya sekali saja, baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Di dalam shalat, begitu selesai membaca ayat sajdah, kita disunnahkan untuk langsung sujud, tanpa ruku’ atau i’tidal. Sujudnya hanya sekali dan langsung berdiri kembali untuk meneruskan bacaan yang tadi sempat terjeda untuk sujud.

Sujud tilawah di dalam atau di luar shalat dilakukan di tengah dua takbir. Maksudnya, sujud itu dimulai dengan takbir lalu sujud lalu bangun dari sujud dengan takbir juga.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW;

عن عبد الله بن مسعود رضي الله تعالى عنه أنه قال للتالي ‏:‏ إذا قرأت سجدة فكبر واسجد وإذا رفعت رأسك فكبر

Dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada orang yang membaca ayat sajdah,"Bila kamu membaca ayat sajdah, maka bertakbirlah lalu sujudlah. Bila kamu mengangkat kepalamu, bertakbirlah."

Sujud Syukur

Sedangkan sujud syukur dilakukan lantaran kita mendapatkan kabar yang menggembirakan. Misalnya lulus ujian, dapat harta yang banyak, naik jabatan atau lainnya.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini:

فعن أبى بكرة رضى الله عنه أن النبى صلى الله عليه وسلم كان إذا أتاه أمر يسرّه أو بُشَر به خر ساجدًا شكرًا لله تعالى ، رواه أبو داود وابن ماجه والترمذى وحسنه

Dari Abi Bakrah ra. bahw nabi SAW bila menerima kabar yang menggembirakannya, beliau tersungkur bersujud syukur kepada Allah ta’ala. (HR Abu Daud, Ibnu majah dan At-Tirmizy)

Jumhur ulama mengatakan bahwa disyaratkan untuk sujud syukur ini beberapa persyaratan sebagaimana yang ada di dalam sujud lainnya. Di antaranya harus suci dari hadats, harus menghadap kiblat dan menutup aurat.

Tapi sebagian ulama tidak mensyaratkan hal-hal di atas. Misalnya saja Asy-Syaukani. Beliau mengatakan bahwa tidak terdapat keterangan dari hadits tentang syarat suci dari hadats, menghadap kiblat atau bertakbir sebelumnya.

Sedangkan Imam Malik mengatakan tidak ada sujud syukur. Yang ada menurut beliau dalam keadaan gembira adalah shalat 2 rakaat.

Berwudhu Ketika Haidh

Di antara hal-hal yang terlarang ketika seorang wanita sedang mendapatkan haidh rutinnya adalah berwudhu dan mandi janabah. Mengapa dilarang?

Hal itu disebabkan karena dirinya sedang dalam keadaan tidak suci dari hadats besar dan kecil. Sehingga bila secara sengaja dia berwudhu atau mandi janabah dengan niat sebagai bagian dari ritual ibadah, maka dia telah melanggar ketentuan. Sebab pada hakikatnya, diirnya masih belum suci dari kedua hadats itu.

Namun bila niatnya bukan berwudhu’ atau mandi janabah, melainkan hanya sekedar bersih-bersih, mencuci wajah atau mandi biasa dengan menggunakan sabun, tentu saja tetap disunnahkan.

Tahu Keharaman

Bila kita tahu suatu makanan didapat dari cara yang haram, tentu saja kita diharamkan untuk memakannya. Namun secara hukum, kita tidak dibebani untuk selalu mencari-cari tahu asal-usul suatu makanan.

Kita hanya dibebankan untuk menyikapi suatu hukum berdasarkan apa yang nampak secara lahiriyahnya. Sedangkan sesuatu yang tersembunyi di belakangnya, bukan beban kita.

Tapi kalau kita sudah terlanjur tahu dan memang terbukti dengan sangat kuat dengan dilandasi keputusan lembaga yang resmi bahwa memang makanan itu haram atau berasal dari sumber yang haram, tentu saja kita haram memakannya.

Wallahu a’lam bishshwab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ahmad Sarwat, Lc.