Wali Songo, Apakah Memang Ada atau Hanya Khayalan?

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Ustadz, menurut ustadz, apakah Wali Songo yang selama ini dikenal orang Indonesia sebagai Orang-orang yang punya jasa besar dalam menyebarkan Agama Islam memang benar-benar ada, atau hanya tokoh khayalan saja? Sepintas, sepertinya Ustadz tidak yakin jika Wali Songo memang benar-benar ada (Maaf jika saya salah sangka).

Jika memang benar-benar ada, salahkah kita menghargai jasa-jasa Wali Songo tersebut?

Jika memang ada, dengan Izin Allah, apakah kemampuan yang dimiliki oleh Wali Songo itu tidak mungkin terjadi? Bukankah, dengan Allah telah memberikan contoh, dengan seizinnya, banyak orang yang bisa melakukab sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh kebanyakan orang.

Bagaimana kita mensikapi atau menghargai para penyebar agama Islam ke Indonesia, sehingga Islam menjadi mayoritas di Indonesia?

Terima kasih Ustadzt

Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Para tokoh penyebar agama Islam yang sering disebut-sebut sebagai Wali Songo memang ada dan merupakan bagian dari sejarah Islam Indonesia. Mereka tokoh nyata bukan tokoh hayalan.

Yang merupakan hayalan adalah pembunuhan karakter mereka. Entah siapa yang memulainya, yang jelas sosok para penyebar agama Islam yang baik itu tiba-tiba berubah menjadi tokoh dunia persilatan dengan beragam ilmu kedigjayaan.

Sebagai tokoh penyebar agama Islam, tentu sangat tidak layak untuk digambarkan bagai tokoh dagelan sakti mandraguna. Kita bukan bangga dengan penggambaran yang keliru itu, tetapi kita malah bersedih hati. Kami cenderung berpendapat bahwa rekaan-rekaan seperti ini justru merupakan pembunuhan karakter para tokoh yang sudah berjasa menyebarkan agama.

Salah satu asumsi mengapa ada pembunuhan karakter seperti ini adalah bersumber dari kalangan yang melakukan perlawanan atas usaha Islamisasi yang dilaksanakan oleh para wali songo sendiri. Perlawanan itu memang tidak dengan cara terbuka, perlawanan itu dilakukandengan cara-cara tersembunyi, liciknamun amat nyata.

Kira-kira mirip dengan konspirasi yang dilakukan oleh munafiqin Madinah saat Rasulullah SAW mengIslamkan kota itu. Mereka berpura-pura masuk Islam, tetapi kemudian melakukan perlawanan di dalam selimut.

Yang dilakukan oleh pihak-pihak yang melawan proses Islamisasi di tanah Jawa bukan angkat senjata, melainkan masuk Islam tetapi kemudian melakukan berbagai pembusukan dan pencorengan aqidah dari dalam. Selain bermunculanya aliran tarekat kejawen yang sesat, mereka berhasil mencoreng sejarah para penyebar agama Islam (Walisongo) dengan membuat seburuk-buruk cerita bohong tentang mereka.

Ada wali yangdikatakan bisa menunjuk pohon lontar berubah menjadi emas, ada tokoh wali yang diceritakan duduk melakukan tapa bertahun-tahun di pinggir kali, ada wali yang dibilang bisa berjalan di atas air, bisa terbang, bisa menghilang bahkan ada yang immortal (hidup abadi) dan macam-macam dongeng sampah lainnnya.

Haram bagi umat Islam menerima cerita khurafat seperti itu. Apalagi dikaitkan dengan ulama para penyebar agama Islam. Kita punya kewajiban untuk membersihkan sejarah Islam di negeri ini dari dongeng yang sebenarnya bertujuan buruk. Seharusnya kita tidak bangga tetapi kita harus prihatin dengan cerita yang sudah jadi dongeng rakyat.

Karamah Para Wali

Kita tidak mengingkari adanya karamah, akan tetapi karamah itu sangat berbeda dengan mukjizat para nabi. Kalau mukjizat itu memang sengaja Allah tunjukkan kepada orang untuk membuktikan kenabian atau untuk menantang orang-orang kafir, maka karamah bersifat sebaliknya.

Karamah tidak ditonjol-tonjolkan bahkan cenderung dirahasiakan. Karamah mungkin saja terjadi pada diri siapa saja yang Allah SWT ingin bantu. Bahkan sangat mungkin terjadi pada diri kita sebagai manusia biasa.

Jadi karamah itu tidak bisa dipamerkan, karena karamah merupakan pemberian spontan yang terjadi secara spotan juga. Karamah tidak dimiliki tetapi diberikan sesekali. Karamah tidak identik dengan tokooh atau orang tertentu. Karamah milik siapa saja dari hamba Allah yang Allah ingin berikan.

Sosok Wali

Salah satu kekeliruan fatal yang berkembang di tengah masyarakat adalah istilah ‘wali’. Ada dua makna wali, yang pertama orang yang dicintai Allah, dan yang kedua adalah pemimpin.

Wali Songo sebenarnya lebih tepat menggunakan makna istilah kedua, yaitu wali dalam arti pemimpin. Karena kenyataannya mereka memang pemimpin dalam arti menjadi pejabat pemerintahan suatu negara. Konon ada sembilan wilayah negara yang telah dibentuk pada abad ke-13 itu. Dan mereka adalah pemimpin atau sebagai Gubernur dari kesembilan wilayah itu.

Meski ada juga juga pengamat yang mengatakan bahwa angka sembilan itu bukan mewakili jumlah propinsi atau negara Federasi, tetapi merupakan angka yang menunjukkan jumlah yang banyak.

Jadi sebutan Wali Songo itu bukan wali dalam arti sebagai tokoh sakti mandraguna, melainkan sebutan untuk tokoh pejabat pada pemerintahan Islam yang berkuasa di abad 13 di tanah Jawa. Dan yang menarik, selain menjabat sebagai pemimpin negara, mereka juga berprofesi sebagai ulama dan penyebar agama Islam.

Penghargaan kepada Wali Songo

Kalau ada bentuk penghargaan yang bisa kita berikan kepada orang-orang yang pernah berjasa menyebarkan agama Islam di tanah Jawa seperti para Wali Songo, maka bentuknya adalah pembersihan sejarah mereka dari unsur khurafat dan tahayul.

Penghargaan kita berbentuk penulisan ulang sejarah mereka. Agar sosok mereka bisa dilihat dari sudut pandang yang bersih dari dongeng yang disuntikkan oleh musuh-musuh agama.

Penghargaan kita adalah mengajarkan sejarah mereka dengan benar, baik lewat buku maupun kurikulum pendidikan di sekolah formal. Setidaknya, ketika kita sudah berhasil membangun berbagai lembaga pendidikan formal semacam SDIT dan SMPIT, maka wajib hukumnya untuk mengajarkan sejarah Islam di dalam kurikulumnya, namun dengan revisi total sejarah yang sudah steril dari unsur khurafat.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc