Ya Rabbi bil Musthafa, Apa Hukumnya?

Assalamualaikum wr. wb.

Ustaz, saya mau bertanya, apa hukumnya apabila saya membaca salawat ya rabbi bil musthafa dan apa artinya? Sejak zaman apa salawat itu mulai dibacakan?

Saya sering sekali mendengar larangan membaca salawat itu. Katanya itu bid’ah apa betul ustaz? Sedangkan ulama-ulama di indonesia sering membacanya salawat tersebut.dan bagaimana hukumnya bagi orang-orang yang pernah mengatakan salawat ya rabb bil musthafa itu bid’ah? Dan apa hukumnya bagi orang-orang yang sering mengatakan bid’ah?

Terimah kasih ustaz sebelumnya.

Asslamualaikum wr. wb.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Lafadz-lafadz yang anda maksud itu sebenarnya termasuk dalam rangkaian Qashidah Al-Burdah yang disusun oleh seorang pujangga tersohor, Imam Al-Bushairi atau Al-Bushiri. Namanya saja qashidah, tentu bukan dari teks Al-Quran atau pun rangkaian hadits syarif nabawi. Melainkan bait-bait syair indah gubahan para pujangga yang menumpahkan isi hatinya dengan sepenuh perasaan.

Ya rabbi bil musthafa balligh maqashidana waghfirlana maa madha ya waasi’ah karami.

Ya tuhanku, dengan adanya (Muhammad) Al-Mushthafa, sampaikanlah maksud-maksud kami… dan ampunilah dosa-dosa kami yang telah lewat, Wahai tuhan Yang Maha Luas pemberiannya…

Jadi bait-bait syair ini tepatnya bukan dikategorikan sebagai bid’ah, melainkan sering dikatakan sebagai ungkapan yang pada sebagian isinya mengandung pemahaman yang berlebihan kepada sosok Rasulullah SAW. Bukan berarti kita tidak cinta dan tidak hormat kepada beliau SAW, namun sikap melebih-lebihkan rasa cinta kepada Rasulullah SAW hingga keluar dari posisi yang sesungguhnya, juga bukan cara yang benar dalam mencintainya.

Bukankah saudara-saudara kita yang Nasrani, ketika menjadikan Nabi Isa as. sebagai tuhan, awalnya berangkat dari rasa cinta yang dalam, namun salah dalam bentuk ekspresinya. Sehingga mereka mendudukkan nabi Isa as. lebih dari apa yang boleh diposisikan. Hingga dijadikan sebagai anak tuhan bahkan disembah sebagaimana layaknya tuhan.

Sebagian ulama mengeritik beberapa lafadz yang dianggap berlebihan itu, sehingga nyaris memposisikan Rasulullah SAW selayaknya tuhan. Salah satu lirik yang paling sering diprotes adalah:

يا أكرم الخلق ما لي من ألوذ به ***** سواك عند حلول الحادث العمم

Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam). Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain dirimu, ketika datang musibah yang besar.

Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, rasanya memang tidak terlalu bermasalah. Namun dalam rasa bahasa Arab aslinya, ungkapan ini baru terasa berlebihan. Seolah-olah sosok Nabi Muhammad SAW itu adalah tempat satu-satunya bergantung buat manusia ketika mengalami mushibah besar. Padahal tempat bergantung itu hanya Allah SWT saja, bukan makhluqnya, meski pun dia seorang nabi Muhammad SAW.

Tetapi ketika diterjemahkan dan disebutkan dengan lafadz "tidak ada seorang pun", duduk perkaranya menjadi jelas. Sebab ruang lingkup pembicaraan hanyalah sebatas makhluq Allah saja, bahkan hanya sebatas manusia. Ungkapan itu bukan dimaksudkan untuk mengatakan bahwa yang bisa memberikan pertolongan bukan Allah tapi hanya Muhammad SAW saja. Meski pengertiannya memang bisa saja ditarik ke sana ke mari, tergantung siapa yang menginterpretasikannya.

Para ulama semacam Ibnu Taimiyah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang memang sangat ketat dalam urusan tauhid dan syirik, kurang sepakat yang ungkapan yang seperti itu. Menurutnya, ungkapan seperti itu berlebih-lebihan dalam mengungkapkan cinta mereka kepada Nabi Muhammad SW. Menurutnya, bukankah kita diperintahkan untuk memohon perlindungan hanya kepada Allah SAW ketika tertimpa musibah? Sebagaimana firman-Nya:

وَإِن يَمْسَسْكَ اللّهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِن يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدُيرٌ

Jika Allah menimpakan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. (QS Al-An’am: 17)

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

(QS. At Taghabun: 11).

Bait syair lainnya yang juga sering dikritik adalah

فإن من جودك الدنيا وضرتها ***** ومن علومك علم اللوح والقلم

Di antara kebaikanmu (Muhammad SAW) adanya dunia dan akhirat dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan qalam.

Bait ini dianggap sangat berlebihan, lantaran adanya dunia dan akhirat dikatakan sebagai bentuk kebaikan atau kedermawanan nabi Muhammad SAW. Seolah-olah dunia dan akhirat ini diciptakan semata-mata karena kemurahan hati Rasulullah SAW. Padahal adanya dunia dan akhirat ini hanyalah semata-mata kehendak Allah SWT saja.

Keberatan kedua dari bait syair initentang ilmu Rasulullah SAW. Kalau ilmu lauh mahfudz dan ilmu qalam adalah sebagian dari ilmu Nabi Muhammad SAW, lantas apa yang tersisa untuk Allah SWT?

Memahami Gaya Para Pujangga

Lepas dari urusan protes para ulama yang memang berniat baik, yaitu untuk memurnikan tauhid umat Islam, tidak ada salahnya kita juga menyelami ruang berpikir para pujangga. Sebagaimana kita tahu, ciri khas para pujangga memang biasa melebih-lebihkan dalam ungkapan-ungkapan mereka.

Jadi memang sudah terjalin komunikasi yang mulus antara bahasa pujangga dengan bahasa ahli hukum, apalagi ahli tauhid. Sebab sudut pandang dan dimensi berpikirnya sudah pasti berbeda. Pujangga menggunakan segala macam perumpamaan ketika berbicara. Bahkan boleh dibilang bahwa semua pembicaraannya hanyalah perumpamaan-perumpamaan saja.

Kalau seorang pujangga berkata, "Aku melihat singa di atas podium", jangan berpikir macam-macam dulu. Sebab belum tentu yang dimaksud itu singa betulan yang ada di hutan. Sangat boleh jadi yang dimaksudnya adalah seorang yang ahli berpidato dengan semanga berapi-api berorasi bagaikan seekor singa di atas podium.

Kalau seorang staf sekuriti suatu suatu gedung berkata, "Aku mellihat singa di atas podium", bolehlah segera mengambil langkah seribu. Sebab singa yang dimaksud itu pastilah singa betulan yang buas dan berbahaya.

Pujangga punya 1001 macam gaya bahasa untuk mengungkapkan luapan perasaannya. Dan cenderung berupa perumpamaan yang bersifat hiperbola. Sebaliknya, satpam punya gaya bahasa yang lugas dan kongkrit. Kalau hitam dibilang hitam dan kalau putih dibilang putih. Kalau satpam sampai berbicara dengan gaya pujangga, bisa repot kita semua. Sebaliknya, kalau pujangga berbahasa tegas seperti satpam, orang-orang di sekelilingnya pada lari meninggalkannya.

Tapi perumpamaan ini bukan ingin mendudukkan Imam Ibnu Taimiyah dan teman-temannya sebagai satpam. Tentu bukan itu maksudnya. Akan tetapi sekedar ingin memberikan gambaran bahwa bahasa para ulama tauhid itu biasanya memang terkesan tegas, apa adanya, hitam putih dan tidak pandang bulu. Dan memang harus demikian seharusnya sikap para ulama tauhid. Mereka adalah para penjaga benteng aqidah umat yang berjasa besar menyelamatkan umat dari bahaya syirik dan ghuluw (berlebihan) kepada para nabi dan orang shalih.

Yang paling penting, sajak dan gubahan Al-Bushiri dalam Qashidah Al-Burdah itu bukan sesuatu yang turun dari langit. Membacanya pun tidak melahirkan pahala khusus seperti membaca Al-Quran. Sebagai karangan manusia, kesalahan dan kekurangan pasti ada. Berbeda dengan Al-Quran yang merupakan kalamullah almunazzal al-muta’abbad bitilawatihi.

Mungkin sikap yang paling bijak adalah menyampaikan masalah ini dalam diskusi yang ringan dan santai, terutama kepada saudara-saudara kita yang sudah terbiasa melantunkan bait-bait syi’ir ini. Sebaiknya bahasa yang kita gunakan adalah bahasa yang santun, bukan bahasa yang menuduh, mencaci apalagi dihiasi dengan ungkapan sebagai ahli bid’ah. Kalau kita mampu menyampaikan pesan dengan kesan lembut, tanpa menoreh luka di dada, insya Allah siapa pun bisa dengan mudah memahami duduk perkaranya.

Sebab boleh jadi para para pelantun Qashidah Al-Burdah itu hanya menjalankan sesuatu yang mereka terima dari warisan orang-orang sebelumnya, mungkin malah tanpa pernah memahami artinya.

Ada baiknya bila kita mendekati mereka dalam format diskusi kritik sastra. Di mana kita melakukan diskusi yang isinya membedah dan mengkritisi nilai-nilai sastra yang terkandung di dalam lafadz-lafadz yang populer di tengah umat Islam. Sangat boleh jadi, Imam Al-Bushiri sendiri akan berbahagia, bila puisi ciptaannya didiskusikan orang dan diadakan forum kritik sastra. Boleh jadi beliau kalau masih hidup akan menerima masukan dari orang lain. Namanya saja karya sastra, tidak apa-apa kalau diubah dan diedit ulang sesuai kebutuhan.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.