Hukum Sepatu Berkulit Babi

Assalamu’aaalaikum Wr. Wb.

Semoga pak Ustadz diberkahi oleh Allah SWT. Amin

Pak Ustad, teman saya di kantor mendapat email dari teman yang lain yang menginformasikan ternyata beberapa sepatu dengan merk terkenal seperti CLARKS, HUSH PUPPIES, KICKERS, PUMA, NEXT, BEEBUG (anak-anak) dan ANYO (anak-anak) ternyata terbuat dari kulit babi.

Informasi ini didapat dari anggota milis yang sedang berada di UK (United Kingdom, Inggris), Informasi mengenai sepatu dari kulit babi saya dengar langsung dari produsen (clarks dan hush puppies). Kebetulan saya dan keluarga juga pernah punya sepatu clarks dan ketika saya tanyakan ke produsen (via email)dan juga teman saya di UK bertanya via phone, dijawab bahwa beberapa produk mereka yang kami miliki itu memang benar mengandung babi.

Yang ingin saya tanyakan adalah, apakah memakai sepatu terbuat dari kulit babi tersebut diharamkan oleh Agama (Islam), karena ada pertanyaan menggelitik dari teman dikantor bahwasanya yang diharamkan adalah meng-"konsumsi" daging babi, sedangkan memakai kulit/lainnya tidak jelas.

Tolong yaa pak Ustad, agar kami juga lebih hati-hati dalam membeli sepatu/produk lain (terutama untuk anak-2 yang terbuat dari organ-oran binatang babi/binatang yang diharamkan agama. Atas jawaban pak Ustad, kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Waalaikumussalam Wr Wb

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah penyamakan terhadap kulit dari binatang yang sudah mati. Terdapat tujuh pendapat dalam hal ini, yaitu :

1. Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa setiap kulit dari binatang yang sudah mati dapat disucikan dengan penyamakan kecuali kulit anjing, babi, atau binatang yang terlahir dari salah satu dari keduanya… Mereka meriwayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Masud ra.

2. Salah satu riwayat yang masyhur dari Ahmad dan juga dari Malik bahwa penyamakan tidaklah dapat mensucikan sama sekali kulit dari binatang yang telah mati. Ini juga riwayat dari Umar bin Khottob, anaknya dan Aisyah ra.

3. Auza’i, Ibnul Mubarok, Abu Tsaur, Ishaq bin Rohuyah berpendapat bahwa penyamakan dapat mensucikan setiap kulit dari binatang yang dapat dimakan saja tidak dari yang lainnya.

4. Madzhab Abu Hanifah berpendapat bahwa penyamakan dapat mensucikan seluruh kulit kecuali kulit babi.

5. Pendapat yang masyhur juga dari Malik bahwa penyamakan dapat mensucikan seluruh kulit, namun pensuciannya hanyalah pada bagian luarnya saja bukan dalamnya maka ia hanya digunakan untuk sesuatu yang padat bukan cair, sholat diatasnya bukan didalamnya.

6. Daud, Ahli Zhohir, diceritakan juga dari Abu Yusuf bahwa penyamakan dapat mensucikan seluruh kulit termasuk anjing dan babi baik bagian luar maupun dalamnya.

7. Zuhri berpendapat bahwa kulit dari binatang yang sudah mati dapat dimanfaatkan walaupun tidak disamak dan diperbolehkan menggunakannya dalam keadaan kering maupun basah, ini adalah pendapat yang aneh.. (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz IV hal 72 – 73)

Perbedaan yang terjadi dikalangan para ulama tersebut didalam masalah ini adalah adanya pertentangan diantara dalil-dalil yang berbicara tentang hal ini, yaitu :

1. Telah bercerita Ma’mar dari Zuhri dengan hadits ini dan tidak menyebutkan Maimunah dan berkata, Rasulullah saw bersabda,”Tidakkah engkau manfaatkan kulitnya?” (HR. Abu Daud)

2. Hadits yang diriwayatkan dari ‘Akim berkata,”Telah dibacakan dihadapan kami surat dari Rasulullah saw di daerah Juhainah, dan saya saat itu adalah seorang remaja, isinya; ‘Janganlah kalian memanfaatkan kulit maupun urat dari binatang yang telah mati.” (HR. Abu Daud)

3. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata,”Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, ”Apabila sebuah kulit sudah disamak maka ia telah suci.” (HR. Muslim)

Beberapa tanggapan terhadap dalil-dalil tersebut :

1. Terhadap hadits yang diriwayatkan dari Maimunah tersebut, Imam Nawawi mengatakan bahwa Zuhri hanya meriwayatkan, ”Tidakkah engkau memanfaatkan kulitnya.” Beliau tidak menyebutkan penyamakannya dan dijawab olehnya bahwa hadits ini bersifat mutlak, padahal ada riwayat-riwayat lainnya yang menyebutkan tentang penyamakannya, yaitu bahwa penyamakan kulit tersebut dapat mensucikannya.

2. Sedangkan terhadap hadits ‘Akim telah terjadi perbedaan pendapat para ulama dalam penggunaan hadits tersebut sebagai dalil. Sebagian ulama lebih mendahulukan hadits penyamakan terhadap hadits ‘Akim, dikarenakan hadits tentang penyamakan ini shohih artinya terhindar dari kekacauan. Mereka mengecam hadits ‘Akim karena dianggap terjadi kekacauan dalam sanadnya.

Sedangkan sebagian yang lain lebih mendahulukan hadits ‘Akim, dikarenakan para perawinya yang dapat dipercaya. Mereka mengatakan bahwa kekacauan dalam sanadnya tidaklah menghalanginya untuk dipakai sebagai dalil…

Sebagian ulama mengamalkan seluruh hadits dan mengatakan bahwa tidak ada pertentangan diantara hadits-hadits tersebut. Hadits ‘Akim menyebutkan adanya pelarangan terhadap memanfaatkan kulit dari binatang yang sudah mati. Al Ihaab disitu maksudnya kulit yang belum disamak, sebagaimana pendapat an Nadhor bin Syumail. Al Jauhari mengatakan bahwa al ihaab adalah kulit yang belum disamak, bentuk pluralnya adalah uhub. Sedangkan hadits-hadits tentang penyamakannya menunjukkan dalil untuk memnafaatkannya setelah disamak, maka tidak ada pertentangan didalamnya. (Aunul Ma’bud juz XI hal 135)

3. Adapun hadits yang ketiga tidak disangsikan lagi akan keshahihannya

Meskipun ada sabda Rasulullah saw,”Apabila sebuah kulit sudah disamak maka ia telah suci.” (HR. Muslim) diatas namun ia tidak bisa digunakan secara mutlak untuk seluruh jenis kulit dari binatang yang telah mati.

Penyamakan tetap tidak bisa mensucikan kulit anjing dan babi dikarenakan najisnya kedua binatang itu mencakup keseluruhan yang ada pada tubuhnya, termasuk kulit dan bulunya, sebagaimana pendapat jumhur ulama.

“Yang benar adalah bahwa kulit babi tidaklah dapat disucikan dengan disamak karena najisnya bukanlah pada darahnya atau pada saat dia basah akan tetapi pada dzatnya.” (Bada’iush Shona’I juz I hal 370)

Jadi menggunakan pakaian, tas maupun sepatu yang terbuat dari kulit babi bagi seorang muslim adalah tidak diperbolehkan  walaupun kulit yang digunakan untuk itu sudah disamak terlebih dahulu, sebagaimana pendapat jumhur ulama diatas.

Wallahu A’lam