Keharusan Rajam dalam Syariat Islam

Assalamu’alaykum ustadz,

Baru-baru ini tetangga terdekat saya mengalami musibah, anak perempuannya hamil diluar nikah dengan lelaki non Islam. Sampai saat ini pemuka di daerah saya tidak mau menikahkan mereka, karena si lelakinya tidak mau pindah agama. Yang ingin saya tanyakan, apakah hukum rajam berlaku juga untuk non Islam, dan apakah benar jika kita telah melaksanakan hukum rajam, maka kita terbebas dari hukum di akhirat kelak.

Syukron atas penjelasannya.

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Salwa yang dimuliakan Allah swt

Allah swt mengharamkan perzinahan serta mengancam pelakunya apabila ia seorang yang belum pernah menikah dengan hukuman dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun sedangkan apabila pelakunya adalah seorang yang pernah menikah maka hukumannya adalah dirajam, sebagaimana dalil-dalil berikut :

1. Firman Allah swt :

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nuur : 2)

2. Dari Abu Hurairoh ra bahwasanya Rasulullah saw pernah memberikan hukuman kepada orang yang berzina (belum menikah) dengan hukuman dibuang (diasingkan) satu tahun dan pukulan seratus kali.” (HR. Bukhori)

3. Rasulullah saw menanyakan kepada seorang laki-laki yang mengaku berzina,”Apakah engkau seorang muhshon (sudah menikah)? Orang itu menjawab,’Ya’. Kemudian Nabi bersabda lagi,’Bawalah orang ini dan rajamlah.” (HR Bukhori Muslim)

Meskipun terlihat berat hukuman bagi seorang pezina namun jauh lebih ringan dari pada efek yang ditimbulkannya terhadap masyarakat, inilah keadilan. Ketika hukuman berat ini tidak diterapkan dalam suatu masyarakat yang berarti tidak ada efek jera bagi para pelakunya maka akan berakibat semakin merajalelanya perbuatan mesum, perzinahan, pelacuran, banyak anak-anak yang tidak jelas nasabnya yang pada akhirnya akan menggeser masyarakat manusia menjadi masyarakat binatang.

Karena itulah Allah meminta kepada setiap insan untuk menjauhi prilaku buruk itu didalam firman-Nya :

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً

Artinya : ”Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32)

Hukuman terhadap para pelaku zina ini hanyalah bisa dilakukan oleh sultan atau hakim dan tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, tokoh agama, tokoh masyarakat tertentu. Ini berarti hukuman cambuk dan rajam tidaklah bisa dilakukan kecuali di suatu negeri yang didalamnya telah diterapkan hukum islam.

Adapun apabila pelaku perzinahan ini adalah seorang non muslim (ahli dzimmah) maka apakah akan diterapkan atasnya hadd / hukuman sepertihalnya terhadap seorang muslim?

Didalam kitab ”al Mausu’ah” dsebutkan :

Apabila seorang dari ahli dzimmah melakukan suatu kejahatan dari kejahatan yang konsekuensinya adalah hadd, seperti : zina, menuduh seorang berzina, mencuri atau begal maka orang itu haruslah dihukum dengan hukuman hadd terhadap kejahatan yang dilakukannya itu karena posisi mereka dalam hal ini adalah seperti kaum muslimin. Kecuali minum khomr ketika mereka meyakini kehalalannya sebagai bentuk perhatian kepada perjanjian tehadap ahli dzimmah kecuali jika mereka sengaja menampakkan diri saat meminumnya maka mereka harus diberikan teguran. Demikianlah menurut jumhur fuqaha.

Para ulama Syafi’i, Hambali dan Abu Yusuf menyamakan dalam penerapan hukuman rajam antara seorang kafir dzimmi dengan seorang muslim berdasarkan keumuman nash-nashnya didalam penerapan hukuman ini. ”Bahwa Nabi saw memerintahkan agar merajam dua orang Yahudi.”

Imam Abu Hanifah dan Malik menegaskan bahwa seorang ahli dzimmah yang berzina apabila orang itu sudah menikah maka tidaklah dirajam dikarenakan adanya persyaratan islam didalam penerapan hukuman rajam menurut kedua imam tersebut. Demikian pula seorang muslim yang menikah dengan seorang wanita ahli kitab maka menurut Abu Hanif dia tidaklah dirajam karena beliau mensyaratkan didalam ihshan (memberikan perlindungan) adalah islam dan menikah dengan seorang wanta muslimah berdasarkan sabda Nabi saw kepada Hudzaifah ketika ingin menikah dengan seorang wanita Yahudi,”Tinggalkanlah wanita itu sesungguhnya dia tidaklah melindungimu.” (”al Mausu’ah al Fiqhiyah” juz II hal 2506)

Dan bagi para pelaku perzinahan di suatu negeri yang tidak diterapkan hukum Allah maka diharuskan baginya untuk bertaubat atas perbuatannya itu dengan taubat nashuha, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi kemudian hendaklah ia menutupi aibnya tersebut dari menceritakannya kepada orang lain semoga Allah swt menerima pertaubatannya dan kelak akan menutupi aibnya.

Markaz al Fatwa didalam fatwanya tentang permasalahan ini menyebutkan Ibnu Hajar didalam kiitabnya ”Fathul Bari” mengatakan bahwa apabila muncul hak Allah maka sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Mulia dan rahmat-Nya mendahului murka-Nya. Oleh karena itu apabila Dia swt telah menutupi suatu aib di dunia maka Dia tidak akan membongkarnya di akherat. Sedangkan orang-orang yang membongkar (aibnya sendiri) maka dia telah memusnahkan itu semua (penutupan Allah, pen).

Sebagaimana diketahui sesungguhnya hukuman di dunia dapat menghilangkan hukuman di akherat. Barangsiapa yang tidak dihukum di dunia dikarenakan tidak diterapkannya hukum (Allah) tersebut atau tidak ada bukti terhadap pelakunya atau tidak ada pengakuan dari si pelaku maka yang paling utama adalah memohon kepada Allah agar Dia menutupi aibnya itu. Lalu dirinya berada dibawah kehendak Allah swt apakah dirinya akan diampuni atau diberikan sangsi.

Didalam shahih al Bukhori dai hadits Ubadah bin ash Shamit bahwa Rasulullah saw–dikelilingi oleh sejumlah sahabat—dan bersabda,”Kemarilah kalian dan baiatlah aku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, jangan mencuri, jangan berzina, jangan membunuh anak-anak kalian, jangan berdusta yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, jangan maksiat terhadapku dalam urusan yang baik. Maka barangsiapa yang dari kalian yang menunaikannya maka pahalanya dari Allah swt dan barangsiapa yang melanggarnya sedikit saja maka dia akan dihukum di dunia sebagai kafarat (balasan) baginya. Dan barangsiapa yang melanggarnya sedikit saja kemudian Allah tutupi maka urusannya kembali kepada Allah. Jika Dia berkehendak maka dia akan dihukum dan jika Dia berkehendak maka dia akan dimaafkan.”

Ibnu Hajar mengatakan mengatakan bahwa al Qodhi ’Iyadh berkata,”Kebanyakan ulama berpendapat bahwa al hudud (hukuman-hukuman) itu adalah kafarat. Dan mereka berargumentasi degan hadits ini.” (Markaz Al Fatwa 22413)

Demikian pula bagi pelaku perzinahan yang telah dilakukan atasnya hukuman terhadap dirinya dengan hukum Allah yaitu dicambuk seratus kali dan diasingkan apabila dirinya belum menikah atau dirajam apabila telah menikah maka apabila dirinya telah bertaubat kepada Allah swt maka dirinya terlepas dari siksa di akherat akan tetapi jika dirinya tidak bertaubat maka dirinya dihukum dengan hukuman tersebut di dunia dan diakherat dirinya juga akan disiksa dikarenakan dosanya itu.

Wallahu A’lam