Hukum Makan di Restoran yang ada Menu Babi

sigit1Assalamu’alaykum Ustadz,

Saya saat ini tinggal di Korea sbg pekerja. Negri ini adalah negri yg sangat banyak mengkonsumsi babi, hampir disemua restoran yang ada menyediakan menu babi. Yang ingin saya tanyakan:

1. Tiap kali makan direstoran saya pastikan makanan yg saya makan tidak mengandung babi ataupun minyak babi, tetapi bagaimana dengan najis yang ada ditempat masak dan makan yang sangat mungkin pernah digunakan untuk menu babi.

2. Lalu bagaimana pula sikap saya seharusnya jika saya diundang makan dirumah teman-teman korea, dimana sangat mungkin alat masak beserta piringnya pernah digunakan untuk menu babi. Dan jika memang tidak dibolehkan secara syari’ah, bagaimana juga seharusnya kita membangun silaturahmi dengan teman-teman korea ini.

Terimakasih sebelumnya Ustadz,

Wassalam,

Abdullah

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Abdullah yang dimuliakan Allah swt

Sebagaimana diketahui bahwa babi termasuk binaang yang najis dan diharamkan didalam islam berdasarkan firman-Nya :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ (٣)

Artinya : “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.” (QS. Al Maidah : 3)

Imam Nawawi mengatakan,”Didalam ayat digunakan lafazh daging dikarenakan bagian inilah yang paling penting (inti). Para ulama kaum muslimin telah bersepakat dengan pengharaman lemak, darah dan seluruh bagian tubuhnya.” (Shahih Muslim bi syarhin Nawawi juz XIII hal 142)

DR Wahbah memasukkan daging babi kedalam kelompok najis yang disepakati seluruh madzhab walaupun disembelih sesuai dengan syariat Islam karena nash Al Qur’an menunjukkan bahwa ia adalah najis ain (dzatnya). Oleh karena itu daging dan seluruh bagian tubuhnya berupa bulu, tulang dan kulitnya tetaplah najis walaupun sudah disamak. Sedangkan menurut ulama Mailiki bahwa daging dari babi yang hidup baik urat, air mata, ingus maupun air liurnya adalah suci. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz I hal 302)

Terkait dengan alat-alat yang digunakan untuk memasak atau alat-alat makan yang tersentuh oleh najis babi maka terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang cara mensucikannya :

1. Para ulama Syfi’i dan Hambali mengatakan bahwa alat-alat tersebut haruslah dicuci sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan tanah baik najisnya itu air liur, kencing, segala yang basah darinya atau bagian-bagiannya yang sudah kering namun disentuh dalam keadaan basah, berdasarkan sabda Rasulullah,”Sucikan bejana salah seorang diantara kalian apabila terkena jilatan anjing dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah.” Dalam riwayat lain,”permulaannya dengan tanah.” Dalam riwayat lain,”.. campurkan pada kali kedelapan dengan tanah.” Disini babi disertakan bersama dengan anjing dikarenakan keadaan babi lebih buruk darinya, berdasarkan firman Allah,”Atau daging babi, sesungguhnya ia adalah rijs (najis).”

2. Adapun para ulama Hanafi dan Maliki berpendapat cukuplah mencuci bejana yang dijilat anjing tanpa menggunakan tanah, alasan mereka bahwa riwayat-riwayat yang disebutkan didalamnya penggunaan tanah ada pada hadits yang mudhtharib (simpang siur), ada yang menggunakan lafazh,”yang pertama.” Ada dengan lafazh,”salah satunya,” lafazh ketiga,”kali yang lainnya.” riwayat keempat,”yang ketujuh dengan tanah.” Dan yang kelima,”dan campurkan pada kali kedelapan dengan tanah.” Kesimpang siuran ini mengharuskannya untuk dihilangkan. Dan sesungguhnya penyebutan tanah tidaklah tegas didalam setiap riwayat.

Sebagian dari para ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa babi tidaklah seperti anjing sehingga mensucikanya cukup dengan sekali cuci tanpa tanah sebagaimana najis-najis lainnya karena nash yang disebutkan didalamnya penggunaan tanah hanyalah terhadap anjing saja.

Pendapat inilah yang dipilih oleh oleh Syeikh Ibnu al Utsaimin didalam “asy Syarh al Mumti’” bahwa para fuqaha—semoga Allah merahmati mereka—mengaitkan najisnya (babi) dengan najis anjing dikarenakan babi lebih buruk daripada anjing sehingga lebih utama ditetapkan hukumnya dengannya (mencuci tujuh kali yang salah satunya dengan tanah, pen) dari pada anjing.

Ini merupakan qiyas (analog) yang lemah karena babi tidaklah disebutkan didalam al Qur’an dan babi itu sudah ada pada masa Nabi saw serta tidak pula ia dikaitkan dengan anjing. Yang benar adalah bahwa najis babi sebagaimana najis lainnya yang penyuciannya sama dengan penyucian najis-najis lain.”

Dengan demikian apabila juru masak atau tukang cuci restoran tersebut telah menyucikan alat-alat masak, makan tersebut dengan menggunakan air dan sabun walaupun hanya sekali cuci maka itu sudah cukup untuk anda bisa menggunakan alat-alat tersebut.

Adapun memenuhi undangan makan orang-orang Korea di rumahnya maka tidaklah diharamkan untuk memenuhinya terlebih lagi apabila ada maslahat syar’i didalamnya, seperti : menyampaikan da’wah islam kepadanya. Dalam hal ini maka dibolehkan makan bersamanya selama anda meyakini bahwa makanan yang disuguhkannya adalah yang dihalalkan oleh islam.

Sebagaimana pembahasan diatas tentang peralatan makan yang digunakan, seperti : piring, sendok, garpu maka gunakanlah peralatan-peralatan itu dalam keadaan kering dikarenakan najis tidaklah berpindah kecuali dalam keadaan basah setelah pula anda pastikan bahwa si pemiliknya telah mencucinya dengan bersih walaupun hanya dengan sekali cuci.

Wallahu A’lam

Ustadz Sigit Pranowo Lc

Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :

Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…