Izin Puasa Isteri

Assalamu ‘alaikum ustad …

semoga Allah Swt selalu melindungi kita dengan segala Rahmat-Nya …

begini ustad ana mau nanya kenapa istri harus ijin dulu kepada suaminya kalau mau puasa sedangkan suaminya tidak ada harus iji … ada dalil atau alasan yang bisa di pegang untuk menjadi hujjah …

atas jawabannya Jazakallah Khair …

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Catatan: kalu tidak layak ditampilkan jawaban bisa dikirim ke email ana: [email protected], [email protected]

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Addin yang dirahmati Allah swt

Nabi saw melarang seorang isteri untuk melakukan puasa sunnah sementara suaminya ada bersamanya kecuali dengan izinnya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw bersabda,”Tidak halal bagi seorang isteri berpuasa sementara suaminya ada bersamanya kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhori Muslim) sementara didalam lafazh Ahmad disebutkan,”Tidaklah seorang isteri berpuasa satu hari saja sementara suaminya ada bersamanya kecuali dengan izinnya kecuali puasa Ramadhan.” (Hadits ini dinyatakan hasan oleh Albani didalam “Shahih at Targhib)

Nawawi mengatakan bahwa hadits ini diperuntukkan untuk puasa sunnah yang tidak memiliki waktu tertentu dan larangan tersebut mengandung pengharaman sebagaimana diterangkan oleh para sahabat kami. Hal ini disebabkan bahwa seorang suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan isterinya setiap hari dan haknya ini wajib untuk segera ditunaikan dan tidak bisa dihilangkan dengan puasa sunnah serta tidak juga dilonggarkan dengan puasa wajib. (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi juz V hal 7)

Adapun sebab adanya pelarangan seorang isteri itu kemungkinan didasarkan beberapa hikmah berikut :

1. Hak suami terhadap isterinya lebih kuat daripada hak isteri terhadapnya maka tidak dibenarkan menganalogkan suami dengan isteri didalam permasalahan ini.
Ibnu Qudamah mengatakan didalam “Al Mughni” (7/233) bahwa hak suami terhadap isterinya lebih besar daripada hak isteri terhadapnya sebagaimana firman Allah swt :
 

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

Artinya : “Akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.” (QS. Al Baqoroh : 228)

Juga sabda Nabi saw,”Seandainya aku (diperkenankan) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain maka pasti aku akan perintahkan para wanita untuk sujud kepada suaminya dikarenakan Allah swt telah menjadikan bagi mereka (para suami) kelebihan hak terhadapnya.” (HR. Abu Daud)

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah didalam “Al Fatawa al Kubro” (3/144) mengatakan bahwa tidak ada bagi seorang isteri setelah hak Allah dan Rasul-Nya yang wajib terhadapnya daripada hak suaminya sehingga Nabi saw bersabda,” Seandainya aku (diperkenankan) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain maka pasti aku akan perintahkan para wanita untuk sujud kepada suaminya dikarenakan suaminya itu memiliki hak yang lebih besar atasnya.”

2. Bahwa suami—pada umumnya—yang menuntut untuk melakukan persetuuhan (jima’) sedangkan isteri adalah pihak yang dimintanya. Pada umumnya keinginan untuk melakukan hubungan suami isteri ini berasal dari suami untuk itu seyogyanya seorang isteri meminta izinnya dahulu sebelum melakukan puasa sunnah karena terkadang pada saat itu suaminya memiliki keinginan untuk berjima’ dengannya.

3. Syahwat seorang laki-laki lebih besar daripada syahwat seorang wanita karena itu dibolehkan bagi kaum lelaki untuk menikahi empat orang wanita dan hal ini tidak bagi kaum wanita. Untuk itu pula kesabaran kaum laki-laki untuk menahan dari berjima’ lebih lemah daripada kesabaran kaum wanita. Oleh karena itu diperintahkan bagi para isteri untuk meminta izin dan juga adanya ancaman bagi mereka manakala menolak untuk berjima’ ketika diajak suaminya.

Beberapa hadits yang menguatkan hikmah ini :

Sesungguhnya Nabi saw telah melarang seorang isteri untuk melakukan puasa sunnah ketika suaminya mengadukan kepadanya bahwa dirinya menginginkan bersetubuh dengannya sementara isterinya terus memperbanyak puasa dan menghambat hak suaminya.

Dari Abi Said ra berkata,”Telah datang seorang wanita kepada Nai saw sementara kami berada disisi beliau saw. Wanita itu berkata,’Wahai Rasulullah, sesungguhnya suamiku Shafwan bin al Muatthal memukulku apabila aku melakukan shalat dan menyalahkanku apabila aku berpuasa…..’ Abu Said berkata,’Shafwan saat itu ada di sisinya saw.’ Rasulullah saw bertanya kepada Shafwan tentang yang dikatakan isterinya itu. Shafwan menjawab,’Wahai Rasulullah adapun apa yang dikatakannya,’dia memukulku apabila aku shalat.’ dikarenakan dia membaca dua surat dan aku melarangnya.’ Abu Said berkata,’Maka Rasulullah saw bersabda,’Seandainya dia membaca satu surat saja sungguh hal itu sudah cukup bagi manusia.’ Adapun perkataannya,’dia menyalahkanku.’ karena sesungguhnya isteriku bersegera melakukan puasa.’ Sementara aku adalah seorang pemuda yang tidak mampu bersabar (menahan untuk berjima’,pen).’… “ (HR. Ibnu Hibban)

Syeikh al Utsaimin mengatakan bahwa diantara hak-hak suami atas isterinya adalah tidak melakukan suatu perbuatan yang dapat menghilangkan kesempurnaan dari kenikmatan berhubungan walaupun perbuatan itu termasuk ibadah yang disunnahkan berdasarkan sada Rasulullah saw,”Tidaklah dihalalkan bagi seorang isteri melakukan puasa sementara suaminya ada bersamanya kecuali dengan izinnya dan tidaklah dia memperkenankan seseorang berada di rumahnya kecuali dengan izin (suami)nya.”

Syeikh Shalih al Fauzan mengatakan bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang isteri untuk berpuasa sunnah sementara suaminya ada bersamanya kecuali dengan izinnya karena suaminya itu mempunyai hak untuk melakukan hubungan dan bersenang-senang dengannya. Dan apabila isterinya itu berpuasa maka hal itu akan menghalanginya untuk mendapatkan hak-haknya sehingga tidak diperbolehkan baginya untuk berpuasa dan tidak sah puasa sunnahnya itu kecuali dengan izin suaminya.” (al Muntaqa Min Fatawa asy Syeikh al Fauzan 4/73 – 74)

4. Menunaikan hak-hak suami dan memelihara rumah serta mendidik anak-anak merupakan kewajiban seorang isteri. Dan terkadang seorang suami melihat kewajian-kewajiban ini berbenturan dengan puasa sunnah yang dilakukan isterinya. Pemandangan ini kadang dari sisi isteri—bahkan juga pada sebagian suami—yang apabila isterinya itu berpuasa dapat menyebabkan pengurangan kewajiban-kewajiban di rumahnya itu, untuk itu diminta bagi seorang isteri untuk meminta izin kepada suami sebelum melakukan puasa sunnah bukan yang wajib.

5. Bahwasanya seorang suami—didalam beribadah—memiliki kewajiban untuk bekerja dan mencari nafkah berbeda dengan seorang isteri yang pekerjaannya adalah di rumah. Tidak disyariatkan bagi seorang suami untuk meminta izin terlebih dahulu kepada isterinya berbeda dengan seorang isteri yang harus meminta izin dari suaminya.

Namun bagaimanapun bahwa perintah-perintah dan larangan-larangan syariat seluruhnya mengandung hikmah dan diwajibkan agi seorang muslim untuk mengatakan,”Kami dengar dan kami mentaatinya.” Pada asalnya ada kesertaan antara laki-laki dan perempuan didalam hukum kecuali yang dikecualikan Allah diantara mereka dikarenakan adanya suatu hikmah yang berkaitan dengan tabiat penciptaannya atau sebagai ujian untuk mengetahui mana seorang mukmin yang benar dan mana yang tidak. (www.islamonline.net)

Wallahu A’lam