Inseminasi untuk Punya Anak

Ass.Wr.Wb

Pak ustaz saya telah 4 th menikah dan belum dikarunia anak/keturunan. Saya dan suami berniat ingin melakukan inseminasi sesuai dengan anjuran dokter untuk mendapatkan keturunan.

Inseminasi adalah proses pembuahan dengan jalan menyuntikkan sperma suami ke indung telur istri.

Yang ingin saya tanyakan, bolehkan dalam agama islam menjalankan proses inseminasi tersebut guna mendapatkan keturunan.

Saya sangat berharap mendapatkan jawaban dari Pak Ustaz secepatnya. TErimakasih.

Hormat saya

Waalaikumussalam Wr Wb

Syeikh Athiyah Saqar mengatakan bahwa inseminasi atau bayi tabung adalah pembuatan makhluk baru bukan melalui hubungan seksual secara langsung antara laki-laki dan perempuan atau dinamakan juga dengan perkawinan buatan yang percobaan pertamanya terhadap manusia dilakukan pada tahun 1799 melalui tangan seorang dokter berkebangsaan Inggris yang bernama DR. John Hunter.

Terhadap praktek seperti ini yang dilakukan antara seorang suami dan isterinya atau antara spermanya dan sel telur isterinya dan pertemuan keduanya dilakukan didalam rahim isterinya secara langsung atau didalam suatu tabung eksternal kemudian dipindahkan kedalam rahimnya hingga sempurna pertumbuhannya maka tidaklah dilarang dengan tetap memberikan peringatan agar berhati-hati dan waspada saat melakukan praktek tersebut didalam tabung atau penyuntikan atau yang lainnya sehingga tidak bercampur dengan suatu unsur asing terhadap suami atau isteri.

Adapun apabila pertemuan dilakukan dengan selain sperma suaminya atau selain sel telur isterinya atau dengan rahim wanita lain maka hal itu adalah haram dan dihukum seperti zina walaupun ia tidak termasuk zina yang wajib mendapakan had (hukuman) baik dengan kerelaan kedua suami isteri itu atau tanpa kerelaan mereka berdua. (Fatawa Al Azhar juz X hal 132)

Hal yang sama dikuatkan oleh Syeikh Yusuf al Qaradhawi bahwa apabila islam melindungi nasab dengan jalan mengharamkan zina dan adopsi, sehingga dengan demikian sebuah keluarga bersih dari unsur-unsur asing, maka islam juga mengharamkan inseminasi yang bukan dengan sperma suaminya. Bahkan dalam hal ini tindakan tersebut—sebagaimana dikatakan oleh Syeikh Syaltut—sebagai pelanggaran yang keji dan dosa besar, sama dengan zina, karena intinya adalah satu dan hasilnya juga sama yaitu menaruh sperma lelaki asing secara sengaja di “ladang” yang tidak dijalin melalui akad perkawinan syar’i yang dilindungi oleh UU hukum perdata dan syariat dari langit.

Seandainya tidak ada pembatasan-pembatasan dalam bentuk pelanggaran hukum, niscaya hukum inseminasi dalam keadaan seperti ini (dengan sperma orang lain) sama dengan hukum zina yang dikenakan hukum had oleh syariat Ilahi dan ditetapkan dalam kitab suci yang diturunkan dari langit.

Apabila inseminasi buatan yang dilakukan dengan sperma orang lain yang bukan suaminya ini demikian kedudukannya, yakni tidak diragukan lagi sebagai tindak kejahatan yang sangat buruk dan lebih keji dari adopsi, maka anak yang dihasilkan dari inseminasi atau pencangkokan ini menghimpun antara adopsi yang memasukkan unsur asing ke dalam nasab, dengan kehinaan lain berupa kesamaannya dengan zina dalam sebuah bingkai yang ditentang oleh syara’ dan undang-undang dan ditentang pula oleh rasa kemanusiaan yang tinggi, dan akan meluncur ke derajat binatang yang tidak berperikemanusiaan dengan ikatan kemasyarakatan yang mulia. (Halal dan Haram hal 259)

Wallahu A’lam