Hukum Allah Terkait Sifat Kafir, Fasik, Zhalim

sigitAssalaamu ‘alaikum wr. wb.

Ustadz ana mau menanyakan tentang kriteria Kafir, Dhalim dan Fasik karena tidak mau berhukum dengan Syariat Allah seperti yang tertulis dalam surat yang menentukan seseorang itu Kafir, Dhalim dan Fasik. Mohon penjelasannya Ustadz. Jazakallaku khair.

Waalaikumussalam Wr Wb

Berhukum dengan selain yang diturunkan Allah swt bukanlah terbatas hanya untuk para hakim akan tetapi mencakup seluruh manusia yang menghukum (mengadili) terhadap perkara apa pun dengan selain yang diturunkan Allah swt, baik fatwa, putusan pengadilan atau lainnya seperti terhadap orang yang meminum khamr lalu dia mengatakan bahwa ini halal atau terhadap orang yang melakukan praktek riba lalu dia mengatakan ini halal, dan lainnya.

Apabila hukum terhadap orang yang tidak mengadili dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir atau zhalim atau fasiq maka ini adalah hukum yang tepat karena kefasikan adalah keluar dari apa yang disyariatkan, kezhaliman adalah melampaui batas yang telah disyariatkan sedangkan kekufuran adalah tidak mengimaninya.

Sesungguhnya pendapat sebagian mufasir bahwa menghukum dengan kafir adalah terhadap orang yang mengingkari hukum Allah atau menghinakannya, ini seperti pada ayat pertama berupa penolakan orang-orang Yahudi terhadap hukum Allah swt yang ada didalam taurat.

إِنَّا أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُواْ لِلَّذِينَ هَادُواْ وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُواْ مِن كِتَابِ اللّهِ وَكَانُواْ عَلَيْهِ شُهَدَاء فَلاَ تَخْشَوُاْ النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلاَ تَشْتَرُواْ بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلاً وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al maidah : 44)

Dan menghukum dengan zhalim adalah terhadap mereka yang melanggar hukum qishash yang disebutkan didalam ayatnya :

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأَنفَ بِالأَنفِ وَالأُذُنَ بِالأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya : “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah : 45) Didalam ayat itu jelas disebutkan kezhaliman.

Sedangkan menghukum fasiq orang-orang yang memiliki kitab injil itu mencakup kekufuran karena mengingkari hukum Allah dan mencakup juga kezhaliman karena melampaui batas.

Namun demikian, sesungguhnya para ahli tafsir telah banyak memberikan pendapatnya dan pendapat mereka semua bermuara kepada bahwa pengingkaran terhadap hukum Allah atau penghinaan terhadapnya adalah kufur dan jika tidak mengingkari atau menghinakannya tetapi melampaui batas atau kurang didalam penerapannya maka hal itu bukanlah kekufuran akan tetapi ia adalah kezhaliman dan kefasikan.

Maka tidaklah dibenarkan untuk bersegera menghukum dengan kafir terhadap yang tidak menerapkan syariah Allah swt baik terhadap seseorang, jama’ah atau negara kecuali jika mereka meninggalkan hukum Allah dikarenakan pengingakaran atau penghinaan terhadapnya.

Permasalahan seperti ini pada umumnya adalah permasalahan yang tersembunyi dan tidak tampak secara jelas dan jika pun tampak secara jelas yang tidak memungkinkan adanya suatu tawil lain maka dibolehkan menghukumnya dengan kafir. Jika hal tersebut tidak diketahui dengan suatu keyakinan maka wajib baginya untuk tidak menghukumnya dengan kekafiran berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya.’Wahai Kafir’ maka hal itu akan kembali diantara mereka berdua. Bisa (kekafiran) itu menimpa dia (orang yang dituduh) dan jika tidak maka (kekafiran) itu akan kembali kepada dirinya (orang yang menuduh).” (HR. Muslim)

Berikut beberapa pendapat para mufasir klasik dan kontemporer.. :

Al Fakhrurozi (wafat 606 H) menyebutkan lima jawaban, diantaranya adalah apa yang dikatakan oleh Ikrimah, yaitu : bahwa hukum kafir adalah untuk orang yang mengkufuri dan mengingkari. Adapun seorang mukmin yang menghukum dengan hukum Allah akan tetapi orang itu melanggarnya maka ia telah berbuat maksiat. Dia mengatakan bahwa kufur adalah mengurangi hak Allah swt sedangkan zhalim adalah mengurangi hak jiwa.

Al Baidhowi (wafat. 685 H) menyebutkan bahwa kekufuran mereka adalah karena pengingkaran mereka, kezhaliman mereka adalah karena menghukum dengan menyalahinya sedangkan kefasikan mereka adalah karena keluar darinya.

Az Zamakhsyari (wafat 528 H) mengatakan bahwa barangsiapa yang mengingkari hukum Allah adalah kafir, barangsiapa yang tidak menghukum dengannya sedangkan dirinya meyakini—hukum tersebut—maka ia adalah zhalim fasik.

Al Alusiy (wafat 1270 H) mengatakan bahwa bisa jadi disifatkannya mereka dengan tiga sifat yang berbeda-beda itu adalah bahwa barangsiapa yang mengingkarinya maka mereka disifatkan dengan orang-orang kafir, jika mereka meletakkan hukum Allah bukan pada tempat yang sebenarnya maka mereka disifatkan dengan orang-orang zhalim sedangkan jika mereka keluar dari kebenaran maka mereka disifatkan dengan orang-orang fasiq. (Fatawa al Azhar juz VIII hal 2)

Wallahu A’lam