Tuduhan Rasulullah Bisa Mengawini Semua Wanita

sigit1Assalamu’alaykum ustadz

Saya mendapat sebuah email spam dari seorang misionaris yang mengatakan bahwa rasulullah ‘diperbolehkan’ untuk ‘menggauli’ wanita mana saja termasuk istri yang sudah diceraikan, bahkan ‘dihalalkan’  anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapaknya, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapaknya, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibunya.

Sebenarnya maksud dari QS: Al-ahzab :50-51 ini bagaimana ustadz ? mohon pencerahannya

Terimakasih atas jawabannya

Wassalamu’alaykum

Waalaikumussalam Wr Wb

Perkataan bahwa Rasulullah saw diperbolehkan untuk menggauli wanita mana saja adalah perkataan buruk, dusta dan tidak berdasar yang biasa dikatakan oleh para pendengki syariat Allah dan Rasul-Nya.

Kemudian perkataan ‘termasuk istri yang sudah diceraikan’ barangkali yang dimaksudkan oleh misionaris itu adalah pernikahan Rasulullah saw dengan Zainab binti Jahsy. Sebagaimana diketahui bahwa sebelumnya Zainab adalah istri dari Zaid bin Haritsah sehingga terkadang dia dipanggil dengan Zaid bin Muhammad dan sesungguhnya pernikahan Rasulullah saw dengan Zainab binti Jahsy—setelah diceraikan oleh Zaid—mengandung berbagai hikmah tasyri’iyah (perundang-undangan syariah) yaitu : membatalkan kebiasaan pengangkatan anak yang banyak tersebar luas dikalangan masyarakat jahiliyah.

Zaid mendatangi Nabi saw dengan mengeluhkan istrinya, Zainab. Dan sesungguhnya Allah swt telah memberitahu kepada Nabi-Nya bahwa Zaid akan menceraikannya lalu Nabi saw yang akan menikahinya. Kemudian Rasulullah saw menolaknya dengan mengatakan : “أمسك عليك زوجك واتق الله” (“Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah” (QS. Al Ahzab : 37)

Kemudian tatkala terjadi perpecahan antara Zainab dan Zaid yang kemudian dinikahi oleh Nabi saw dikarenakan hikmah tasyri’iyah yaitu membatalkan kebiasaan pengangkatan anak. (Markaz al Fatwa no. 1570)

Sebagaimana diketahui bahwa kebiasaan yang berlaku pada bangsa Arab didalam adopsi (tabanni) ini adalah mereka menyamakan anak angkat dengan anak-anak kandung mereka didalam warisan dan pernikahan atau menasabkan anak-anak angkat itu kepada mereka, seperti pemanggilan masyarakat Quraisy terhadap Zaid dengan Zaid bin Muhammad.

Adapun permasalahan kedua tentang ‘dihalalkan’ anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapaknya, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapaknya, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibunya sebagaimana disebutkan didalam surat al Ahzab ayat 50 :

وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاء اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ

Artinya : “Dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu” (QS. Al Ahzab : 50)

Ibnu Katsir mengatakan bahwa ini merupakan sikap moderat dan tengah-tengah yang jauh dari peremehan dan berlebih-lebihan. Sesungguhnya seorang Nasrani tidaklah dibolehkan menikahi seorang wanita kecuali jika jarak antara laki-laki dan wanita itu dipisahkan dengan tujuh orang kakek atau lebih. Sedangkan didalam agama Yahudi maka dibolehkan seorang laki-lakinya menikahi anak perempuan dari saudara laki-laki kandungnya dan anak perempuan dari saudara perempuan kandungnya.

Kemudian datanglah syariat (islam) yang sempurna dan suci ini menghancurkan sikap berlebih-lebihan orang-orang Nasrani dengan membolehkan menikahi anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapaknya, anak perempuan dari saudara perempuan bapaknya, anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya dan anak perempuan dari saudara perempuan ibunya.

Syariat ini juga mengharamkan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi yang membolehkan menikahi anak perempuan dari saudara laki-laki kandungnya dan anak perempuan dari saudara perempuan kandungnya dan sungguh ini adalah perbutan buruk dan megerikan. (Tafsir al Qur’an al Azhim juz VI hal 442)

Wallahu A’lam