Menikah Pada Saat Hamil

Assalamu’alaikum wr. wb.

Pak Ustadz yang saya hormati dan semoga selalu dalam lindungan Allah SWT, sekarang ini tidak sedikit kasus orang menikah pada saat sang wanita sudah terlanjur hamil.  Apakah pernikahan tersebut sah?  Apakah mereka harus dinikahkan kembali setelah anak mereka lahir?

Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamualaikum

Waaalakumussalam Wr Wb

Saudara Ujang yang dimuliakan Allah swt.

Memang muncul banyak pertanyaan di masyarakat—juga di rubrik ini—tentang pernikahan yang dilakukan seorang wanita yang terlanjur hamil sebelum menikah yang pada umumnya dikarenakan perzinahan yang dilakukannya.

Pergaulan yang serba bebas tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya yang jauh dari rambu-rambu syariah terlebih lagi didukung oleh berbagai sarana yang mudah diakses dan digunakan dalam kemaksiatan maka menjadikan perzinahan sering terjadi dan tidak jarang menghiasi berita-berita di kota-kota besar.

Perzinahan merupakan perbuatan yang sangat buruk dan pelakunya diancam dosa besar oleh Allah swt, firman-Nya,”Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32) Hal itu dikarenakan terlalu banyaknya efek yang ditimbulkan dari perzinahan, baik efek psikologi, sosial maupun moral.

Dilain sisi islam memuliakan pernikahan dan menjadikannya halal dilakukan oleh manusia. Pernikahan adalah sarana bagi seseorang untuk mendapat ketenangan dan ketentraman hidup yang dibutuhkan oleh setiap orang, sebagaimana firman Allah swt :

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya : “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Ruum : 21)

Para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah sah tidaknya prnikahan seorang wanita yang sedang hamil dikarenakan zina :

1. Para ulama Maliki, Hambali dan Abu Yusuf dari madzhab Hanafi mengatakan tidak diperbolehkan pernikahannya sebelum dia melahirkan, tidak dengan lelaki yang menzinahinya atau dengan lelaki yang lainnya. Hal ini dikarenakan keumuman sabda Rasulullah saw,”Seorang wanita yang sedang hamil tidak boleh digauli sehingga dia melahirkan..” (HR. Abu Daud) dan sebagaimana riwayat dari Said al Musayyib bahwa seorang laki-laki telah menikahi seorang wanita dan ketika diketahui bahwa wanita itu sedang hamil dan diberitahukanlah hal ini kepada Nabi saw maka beliau saw pun memisahkan mereka berdua.” (HR. Baihaqi)

2. Para ulama Syafi’i, Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa dibolehkan pernikahan seorang wanita yang sedang hamil karena perzinahan dikarenakan belum terkukuhkannya nasab, sebagaimana sabda Nabi saw,” Anak itu bagi yang memiliki tempat tidur sedang bagi yang berzina tidak memiliki apa-apa.” (HR. Jama’ah kecuali Abu Daud). Tidak disyaratkan taubat untuk kesahan pernikahan seorang wanita pezina menurut jumhur ulama, sebagaimana yang diriwayatkan dari Umar yang pernah memukul seorang laki-laki dan perempuan pezina dan dia menganjurkan untuk mengumpulkan keduanya.

Para ulama Hambali mensyaratkan kesahan akad seorang wanita zina dengan adanya pertaubatan dari wanita itu atas zina yang dilakukannya, sebagimana firman Allah swt :

الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Artinya : “atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An Nuur : 3)

Seorang wanita yang belum bertaubat dari perbuatan itu maka ia masih terdeskreditkan oleh perzinahan dan apabila ia telah bertaubat maka hilanglah pendeskreditan itu, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Seorang yang bertaubat bagai orang yang tidak ada baginya dosa.” (HR. Ibnu majah, Baihaqi)

Didalam fiqih Syafi’i hanya ada satu pendapat bahwa tidak ada mahram pada mani hasil dari zina, hal itu dibuktikan dengan tidak adanya hukum nasab didalam warisan maupun yang lainnya. Maka dari itu akad nikah dari seorang wanita hamil dari berzina adalah sah baik dengan orang yang menzinahinya atau yang lainnya namun dimakruhkan untuk menggaulinya demi menghindari perselisihan dalam hal keharamannya. Ini juga pendapat yang masyhur dari Imam Malik dan salah satu dari dua riwayat Imam Abu Hanifah dan pendapat dari Imam Muhammad bin al Hasan.

Dengan demikian maka akad seorang wanita hamil karena zina adalah sah namun dimakruhkan untuk menggaulinya hingga dia melahirkan apa yang dikandungnya dari hasil perzinahan tersebut, menurut para ulama Syafi’i. Diharamkan menggaulinya, menurut Abu Hanifah dan Muhammad. Sedangkan didalam madzhab Maliki terdapat beberapa pendapat , ada yang mengatakan : diharamkan, ada yang mengatakan : makruh, ada yang mengatakan : boleh dan ada juga yang mengatakan : dianjurkan. Kemudian bayi yang dilahirkan dari hasil zina ini hanya dinasabkan kepada ibunya saja dikarenakan dialah yang mengandungnya dari zina itu dan tidak kepada suaminya. (Buhuts wa Fatawa Islamiyah juz II hal 220 – 221)

Dengan demikian pernikahan seorang wanita yang sedang hamil karena zina ketika seluruh persyaratannya terpenuhi maka ia dianggap sah dan tidak perlu lagi diulangi setelah anak yang dikandung dari hasil perzinahan tersebut terlahir.

Wallahu A’lam